Saya masih tidur ketika tiba-tiba saja seluler saya berbunyi.
Isinya, “Gile kau ni, dari jual buku, sekarang jadi tukang ojek pulak. Mang
mantap mang kawan kite satu ni.” Tentu saja saya tersenyum membaca SMS demikian
dan segera dapat memakluminya. Bukan hanya saya, tetapi teman kami yang lain,
pun mendapat teguran yang sama. Hatta dituduh mencari penghasilan tambahan
ngojek untuk tambah-tambah uang tabungannya yang sudah dia siapkan sejak
beberapa tahun lalu untuk menikah. Saya dan Hatta, sekali lagi, dapat memaklumi
teguran tersebut. Ya, apalagi penyebabnya kalau bukan facebook. Jejaring sosial
yang terkenal paling provokatif sedunia. Apasaja bisa terjadi di halaman ini.
Termasuk kemudian saya dan Hatta yang kemudian dapat gelar baru dua hari
belakangan, Tukang Ojek.
Kronologis
Perihal cerita tukang ojek di facebook bisa saya ceritakan
kira-kira seperti ini. Hari Senin kemarin saya mengajak dua orang teman, Yudi
dan Hatta untuk berlebaran ke rumah Pak Aswandi. Dekan FKIP Untan yang
tulisannya selalu ada di Pontianak Post setiap hari senin itu. Waktu itu saya
masih di rumah, kampung Arang, ketika saya hendak berangkat, lalu Hatta
mengirimi saya SMS, isinya bahwa saya disuruh mampir di bengkel Vespa tak jauh
dari BLKI sebab Vespanya mogok. Yudhi juga sudah menunggu di sana. Sayapun
mampir. Sambil menunggu Vespa diservice, Saya, Hatta, Yudhi bercakap-cakap. Tak
lama, vespa selesai. Kami bertiga, dengan motor masing-masing meluncur.
Tujuannya ke rumah pak Aswandi, di daerah jalan Danau Sentarum, namun mampir
dulu ke rumah mimpi. Sebab Hatta kebelet mau buang hajat dan Yudhi pengen
sholat Dzuhur. Dari BLKI kami lewat Untan. Eh, tiba-tiba saja motor saya bocor.
Yudhi menemukan tambal ban motor di deretan warung kopi seberang Hotel Merpati.
Menunggu motor ganti ban, kembali kami bertiga bercakap-cakap. Isi
percakapan, tak jauh dari gurauan sesama teman akrab. Yudhi yang pertama
mencandai saya saat dirinya menemukan saya sedang duduk di depan warung kopi
yang tutup (barangkali karena lebaran). Yudhi bilang bahwa posisi duduk saya
sudah pas seperti tukang stempel yang biasanya di pinggir-pinggir jalan.
Tinggal ditambah meja dan peralatan stempel saja, saya sudah layak
dikategorikan sebagai tukang pembuat stempel. Hatta menyetujuinya sambil
tertawa. Tapi tiba-tiba tawa Hatta semakin menjadi-jadi saat menemukan papan
bertuliskan “OJEK” pas di depan saya duduk. Papan itu menempel di atas seng
sebuah warung kopi. Hatta dan Yudhi terpingkal-pingkal, saya yang
dicandai juga ikut tertawa. Gelar tukang stempel yang ditujukan kepada saya
seketika berubah menjadi Tukang Ojek. Yudhilah yang kemudian berinisiatif
mengabadikan profesi baru saya sebagai tukang ojek dalam kamera digitalnya.
Sayang, baterai kameranya habis. Kemudian Yudhi menyeberang jalan, membeli
baterai di minimarket pas di sebelah Hotel Merpati. Sementara Yudhi
menyeberang, Hatta memarkirkan dua motor, motornya sendiri Vespa, dan motor
Yudhi, Win, ingin ikut ambil bagian dalam prosesi pengabadian “Tukang Ojek”.
Maka jadilah dua buah foto yang tak lama kemudian terpampang di dinding
facebook. Hatta yang meng-upload-nya.
1 month earlier
Sebenarnya peristiwa ini bukan terjadi sebulan yang lalu. Tapi
jauh hari sebelum sebulan yang lalu. Saya menulisnya sebulan lebih awal, ya
tanpa maksud apa-apa. Biar genap saja. Biar pas disaat momen bulan puasa. Ya,
jauh hari sebelum 1 month earlier, saya dan Yudhi sedang ngopi di warung kopi
winny. Di sela-sela percakapan, kemudian Yudhi bilang, “Pay ada tempat bagus
untuk online dan tidak terlalu ramai. Masih baru buka. Namanya Cafe Browsing.
Lokasinya bersebelahan dengan Irama Vision jalan gajah mada. Koneksinya juga
bagus.” Benar teman, online di cafe browsing sesuai dengan saran Yudhi cukup
memuaskan. Tempatnya juga tidak terlalu ramai seperti Winny ataupun Corner.
Plang namanya saja Cafe, tapi sebenarnya, fisiknya warung kopi. Walhasil, Cabro
(kami sering menyebutnya yang merupakan kependekan dari Cafe Browsing) kemudian
menjadi tempat favorit kami. Hampir setiap hari kami datang ke tempat tersebut (tulisan
inipun saya bikin di Cabro). Membernya, saya, Hatta, Yudhi, Supriadi (Ucup).
Tak ketinggalan Rul Iswan. Juga Agung trihatmojo. Seperti tak ingat waktu, kami
tahan berlama-lama duduk di Cabro. Yang dilakukan. Online, bercanda, ketawa
ketiwi, hingga lewat tengah malam. Seakan terkesan kurang produktif hari-hari
kami. Tapi jangan salah, disela ketawa-ketiwi kami tentu saja muncul satu dua
gagasan yang lumayan buat tambah-tambah penghasilan. Sampai-sampai karena
seringnya kami berada di tempat ini, kamipun menyebut tempat ini sebagai
“kantor” kami. Hatta, Yudhi, Ruli yang biasa ngantor di winny, pindah kantor di
Cabro.
Hari-hari lewat. Ramadhan tiba. Dimulai dari menunggu buka puasa.
Diakhiri hingga menunggu sahur, kami habiskan waktu di Cabro. Jam 9 – 12 malam,
Hatta pamit, sebab harus menunaikan kewajibannya bekerja di salah satu media
termerah di kota ini. Sekali lagi, member paling sering, Saya, Hatta, Yudhi,
dan Ucup. Lalu apakah kami menjadi bosan? Sama sekali tidak. Atau barangkali
belum bosan. Nah, ketawa-ketiwi yang sering kami lakukan berempat ini kemudian
berbuah rindu. Rindu dengan teman-teman yang lain. Rindu dengan peristiwa yang
pernah terjadi di masa lalu. Satu per satu nama teman-teman bermunculan dari
mulut kami.
Sebut misalnya, Amrin Zuraidi Rawansyah. Sebelum dia memutuskan
untuk menikah dan menjalani cita-cita tertinggi orang pribumi, PNS, di
pedalaman Kalbar, lelaki asal sanggau ini termasuk salah seorang yang sering
berkumpul bersama-sama kami. Selain seorang PNS (Ah, saya tak akan pernah
berhenti mencintai sahabat satu ini, dan, ah, saya tak akan pernah berhenti
membenci profesi yang sedang dijalaninya), Amrin juga seorang penulis fiksi.
Satu buku kumpulan cerpen tunggalnya terbit. Satu buku kumpulan cerpen
bersamanya terbit. Gagasan-gagasan yang keluar dari mulutnya tak jarang
nyeleneh, namun begitu cerdas. Kalau sedang “menceramahi” teman-teman muda yang
tertarik dalam dunia kesenian, tiga hari tiga malam pun dia sanggup. Saya
menyebutnya Bapak Pamong. Sebab dia sanggup ngemong para remaja, khususnya di
STKIP-PGRI untuk diarahkannya menjadi orang-orang kreatif. Kepada Amrin, kami
rindu. Kepada Amrin, persitiwa-peristiwa lucu yang terjadi di facebook, sering
kami tujukan.
Apakah hanya itu teman kami? Tentu saja tidak. Sungguh, sama
seperti orang-orang Indonesia lainnya, kami punya banyak teman di Kalimantan
Barat ini. Teman-teman yang sering membuat kami bangga bisa berkumpul bersama
mereka. Teman-teman yang sangat produktif, sangat kreatif. Sangat cerdas. Lama
kami tidak bertemu dengan teman-teman tersebut. Deny Sofian, lelaki yang betapa
gagahnya mendokumentasikan segala macam peristiwa dengan kameranya. Beny
Sulastiyo, Bapak Marketing Kalimantan Barat, Lim Sahih, Seniman pijit tak
tertandingi, Pak Sugeng Hendratno, yang kalau motret sambil merem saja hasilnya
udah bagus. Alexander Mering, penulis fiksi mantap, penulis fakta markotap.
Bang Don, bang Edi Kumal, Yofita. Ali 13, aktivis sosialis yang nongkrongin up
link. Lalu kami juga punya teman baru, Bang Beni disain. Disain grafisnya
aujubilahlah pokoknya. Siapa lagi? Banyak. Ada banyak teman kami. Ada banyak
tempat kami belajar. Ya, Saya, Hatta,Ucup dan Yudhi, sepanjang hidup di
kalimantan barat ini, banyak sekali belajar dengan teman-teman sekaligus bapak
ibu guru tersebut. Mereka orang-orang hebat di daerah ini.
Lalu di cafe browsing jalan gajah mada, kami berempat yang sering
menghabiskan waktu bersama, diam-diam memiliki kerinduan yang sama. Barangkali
susah untuk mengumpulkan teman-teman sekaligus para guru tersebut dalam satu
waktu. Tapi kami tau bagaimana caranya mengungkapkan rindu. Foto Tukang Ojek di
seberang hotel merpati itu salah satunya. Facebook medianya. Ya, kami sangat
rindu. Lalu ketika banyak orang saling berkirim kartu lebaran digital, SMS,
jabat tangan dihari lebaran, Kami juga ingin. Di dinding facebook ada foto
tukang ojek, di hati kami ada kerinduan yang teramat sangat. Dan kali ini,
ijinkan kami berucap maaf.
Buat kawan kami ucup, yang sehari sebelum peristiwa “tukang ojek”
menjadi bulan-bulanan Hatta, Atma, Bob, Saya, Yudhi, dan teman-teman lainnya,
kami minta maaf. Bukankah memang begitu cara kita berbagi sejak dulu? Yang
kemudian menjadikan kita semakin hari semakin akrab. Kami mencintaimu, melebihi
cintanya si malam yang suci (alamak, ngape jadi belebeh macam ini ni?) pokonye
cup, jangan merajuk. Orang merajuk itu jodohnye jaoh. Hahahaha.
14 September 2010
14 September 2010
Selamat Lebaran
Maafkan Kami
Pay Jarot Sujarwo
Hatta Budi Kurniawan
Muhammad Revolt Youdinov
Supri Adi
No comments:
Post a Comment