“Buku dan motivator. Mau tau
siapa teman paling setia, tidak cerewet, gampang ditemui, sekaligus guru nan
bijak dan sabar? Dialah BUKU! 1. Buku kertas. 2. Buku diri. 3. Buku Alam”
(Sender: dr. Bumbunan. (+6281352xxxxxx). Sent: 24.01.2008: 18:29:57.)
Kalimat di atas adalah sebuah pesan singkat (SMS) yang dikirim oleh salah seorang dokter di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kalimantan Barat yang terletak di pinggiran Kota Singkawang. Dokter yang mengirimi saya SMS ini bernama Bumbunan Sitorus. Seorang lelaki dari Sumatra Utara yang saya kenal cukup bersemangat ketika berbicara kepada siapa saja, terlebih saat berdiskusi tentang buku dan motivasi pengembangan diri.
Pada mulanya saya menemukan “dokter gila” satu ini di sebuah acara dialog interaktif di TVRI Kalbar, yang membahas tema buku dan motivator. Tanggal acara tersebut saya lupa. Yang jelas dalam acara tersebut, Dr. Bumbunan yang berkesempatan menjadi pembicara menjelaskan betapa buku merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup kita, bahkan – seperti bunyi SMS yang dikirimkan kepada saya – merupakan sahabat yang paling setia, tidak cerewet, dan sabar yang mampu memotivasi siapa saja yang mau berteman dengannya.
Sebagai orang yang juga berkecimpung dengan dunia buku, tentunya saya tertarik untuk mengambil kursi dan meletakkannya persis di depan televisi, menyaksikan acara tersebut, menyimak kata- demi kata dan petuah bijak yang dikutipnya dari banyak buku yang dibaca khususnya motivasi dan pengembangan diri. Satu hal yang saya ingat dalam menonton acara tersebut adalah semangat yang luar biasa yang dimiliki seorang Bumbunan Sitorus. Barangkali karena dia seorang Batak yang terkenal tegas kalau berbicara. Atau alasan yang lain adalah, semangat berapi-apinya memang muncul karena betapa buku telah mampu menjadi motivatornya yang paling ampuh.
Begitulah, pada kesempatan dialog interaktif kepada pemirsa, saya pun mengambil gagang telpon. Berhasil tersambungkan. Diawali dengan memperkenalkan diri, saya pun menyampaikan ketertarikan saya kepada sosok Dr. Bumbunan. Melalui telpon, saya katakan bahwa selama ini saya juga memiliki program memotivasi para remaja dalam dunia tulis menulis. Program motivasi tersebut saya usung di sekolah-sekolah (SMP dan SMA) di Kalimantan Barat, sementara ini baru di Pontianak dan Singkawang, dengan nama Kampanye Baca Tulis, mewakili sebuah lembaga penerbitan independent yang saya kelola sendiri bernama Pijar Publishing. Di dalam kelas, ketika saya mengkampanyekan baca tulis, sekaligus juga mencari teman-teman remaja yang mau menulis dan mempublikasikannya dalam bentuk buku.
Tak disangka tak dinyana. Ketika moderator mempersilahkan sang dokter mengomentari telpon dari saya, beliau mengatakan bahwa sebelum ini sudah pernah membaca buku yang saya tulis, yakni Kumpulan Puisi berjudul di west borneo, kembara cinta ini kuceritakan. Dan betapa terkejutnya saya ketika mendengar pernyataan bahwa “dokter gila” ini bahkan sempat mencari saya lewat alamat yang tertera di dalam buku tersebut. Cuma sayangnya waktu itu tidak ketemu. Saya tidak tahu persis alasan beliau kenapa mencari saya. Yang saya dengar waktu itu di TVRI Kalbar bahwa dr. Bumbunan ingin mengajak saya bermitra. Mitra apa? Saya tidak tahu.
Saya juga kaget bahwa ternyata selama ini dokter yang telah memiliki dan membaca lebih dari 1000 judul buku ini juga rutin mengikuti perkembangan Perjalanan Sastra yang dilakukan Pijar Publishing ke sekolah-sekolah melalui media cetak (terima kasih bapak ibu wartawan. Hehe)
Dialog interaktif di TVRI Kalbar berakhir. Kembali saya memencet nomor telpon yang tadi menghubungkan saya dengan dr. Bumbunan. Tapi gagal. Mungkin sudah diputus oleh operator. Tidak putus asa, saya menelpon salah satu reporter TVRI yang saya kenal demi mendapatkan nomor HP sang dokter. Tapi sayang, teman saya ini tidak tahu nomornya. Begitulah, pada hari itu, saya hanya berhasil mencatat nama dr. Bumbunan Sitorus di memori HP saya tentunya dengan harapan bahwa suatu hari Tuhan mengizinkan sebuah pertemuan antara saya, seorang yang masih belajar menulis dan mengelola sebuah lembaga penerbitan independent di Kota Pontianak, dengan seorang dokter jiwa, yang telah membaca dan memiliki lebih dari 1000 buku, seorang motivator sukses diberbagai pelatihan dan seminar, seorang pecinta bahasa Inggris yang mengantarkannya berkeliling ke berbagai negara, seorang Sumatra Utara yang di keningnya menempel Rajawali yang tengah mengepak perkasa.
Cukup lama saya berdiam diri di kursi tanpa memerhatikan acara televisi tepat di depan saya. Yang ada dalam kepala adalah rasa takjub atas sosok dokter yang sehari-harinya bekerja di sebuah Rumah Sakit Jiwa, namun masih punya banyak waktu untuk mensuport, memotivasi setiap lapisan masyarakat yang masih belum menemukan potensi dalam jiwanya. Potensi yang dapat ditemukan apabila kita banyak membaca.
Ah, tak perlulah berlama-lama menyesali kegagalan mendapatkan nomor HP sang dokter karena sesungguhnya saya punya PR penting yang harus terus dikerjakan, yakni terus mengkampanyekan baca tulis di sekolah-sekolah yang belum saya kunjungi. Kebetulan ada buku yang baru saja saya terbitkan, yakni kumpulan puisi karya siswa SMA Santo Ignasius Singkawang dan SMA Santo Paulus Pontianak yang pada waktu itu masih menumpuk rapi di sudut kamar. Masih harus memiliki energi ekstra untuk mempromosikannya.
Cerita dipersingkat. Setelah mengunjungi SMP Immanuel Pontianak, 16-22 Januari 2007 lalu, keesokan harinya (23/1) saya bertolak ke Singkawang. Melanjutkan perjalanan sastra, mengkampanyekan baca tulis, memotivasi para remaja di kota Amoy tersebut untuk juga terlibat dalam dunia kepenulisan. Sebuah dunia bertabur kata-kata yang menjadikan sejarah tampak begitu berharga.
Sampai di Singkawang, orang pertama yang saya temui adalah Nano Basuki, Guru Bahasa Indonesia SMA Santo Ignasius Singkawang, yang juga ikut berperan dalam proses penerbitan buku terbaru Pijar Publishing. Di tangan Nano Basuki inilah, siswa-siswa Santo Ignasius Singkawang menjadi lebih apresiatif dengan dunia sastra. Oleh Nano, saya diantar ke SMP Pengabdi Singkawang, bertemu langsung dengan Kepala Sekolah, Suster Cornelia, yang kemudian mempersilahkan saya masuk ke kelas-kelas di SMP Pengabdi bertepatan dengan pelajaran Bahasa Indonesia selama dua hari, kamis-jum’at (24-25/1-2008).
Hari pertama berjalan lancar. Tidak jauh berbeda dengan pengalaman saya memotivasi remaja di sekolah-sekolah sebelumnya, di SMP Pengabdi lumayan banyak siswa yang belum menyadari betapa berharganya hidup ini jika dilewati dengan membaca dan menulis. Beruntung masih ada beberapa siswa yang meng-SMS saya selepas acara yang menyatakan akan memulai untuk menulis catatan harian. Beberapa yang lain juga menanyakan tentang bagaimana proses mengirimkan karya ke media massa.
Kamis siang, usai dari SMP Pengabdi, saya kembali teringat dengan lelaki dari Sumatra Utara bernama Bumbunan Sitorus yang saya temukan di kotak televisi chanel Kalimantan Barat beberapa waktu lalu. Hal ini saya ceritakan ke Nano Basuki, dengan maksud semoga Nano mau mengantar saya ke RSJ, mencari sang dokter, atau minimal bisa mendapatkan nomor kontaknya.
“Bagaimana kalau siang ini kita ke SMP Nyarungkop? Mungkin “Kunjungan Sastra” bisa diterima di sana. Setelah itu kita sekalian ke RSJ.” Ajak Nano yang membuat hati saya begitu riang.
Tak menunggu waktu lama, saya, Nano, dan Febri (salah seorang siswa di SMA Ignasius yang bersedia mengantar kami dengan mobilnya) meluncur ke Nyarungkop. Mampir di SMP Nyarungkup sebentar, bertemu dengan guru Bahasa Indonesia, membikin janji, kemudian berangkat ke RSJ yang lokasinya tidak terlalu jauh.
Tidak membutuhkan waktu lama, kami pun sampai. Turun dari mobil, kami langsung menuju selasar Rumah Sakit, disambut ramah oleh seorang lelaki yang mungkin bekerja di sana.
“Kami mencari dr. Bumbunan Sitorus.” Kata saya. Oh My God, lelaki tersebut bingung. Apakah dia tidak mengenal sang dokter? Ah, rasanya tidak mungkin saya salah alamat. Jelas betul saya dengar di TVRI Kalbar beberapa waktu lalu bahwa dr. Bumbunan bekerja di RSJ Kalbar. Saya jelaskan kepadanya bahwa waktu itu saya menonton TVRI Kalbar. Ada dr. Bumbunan di acara tersebut. Dan katanya beliau bekerja di Rumah Sakit ini.
Lelaki itu menyuruh kami menunggu sebentar. Menuju ke arah dua orang lelaki yang sedang bercakap-cakap di sisi selasar Rumah Sakit namun agak ke dalam. Dalam masa menunggu, saya pikir saya kembali tidak menemukan dr. Bumbunan, meskipun saya sudah berada di tempat beliau bekerja. Tapi seperti yang diajarkan oleh banyak buku motivasi yang saya baca, positive thingking adalah jalan terbaik untuk menghindari kekecewaan. Demikianlah, saya pun ber-positive thingking-ria. Toh kalaupun saya tidak bisa bertemu dengan dr. Bumbunan pada kunjungan ke Singkawang kali ini, masih ada harapan semoga saja saya bisa mendapatkan nomor kontaknya, atau alamat rumah beliau baik di Singkawang maupun di Pontianak.
Tak lama, seorang lelaki menghanpiri kami bertiga: Saya, Nano, dan Febri. Dari kejauhan, langkah lelaki itu cukup tegap. Parasnya tegas. Ada aura yangsulit diceritakan memancar dari wajahnya. Di keningnya seolah-olah menempel rajawali yang tengah mengepak perkasa. Wajah inilah yang saya temukan di TVRI Kalbar beberapa waktu lalu. Logat Bataknya tak bisa berbohong. Dengan gaya sok kenal, sok dekat, sok akrab, saya jabat tangannya,”Dokter Bumbunan? Saya Pay, yang waktu itu menelpon di acara Dokter di TVRI Kalbar.”
Apa yang terjadi? Lelaki dengan rajawali yang menempel di keningnya ini ternyata lebih sok kenal, sok dekat, sok akrab menyambut jabat tangan saya. Sungguh perkenalan yang luar biasa.
“Saya mencarimu waktu itu, Pay. Saya pikir kamu menelpon kembali ke TVRI seusai acara.” Katanya penuh semangat sambil masih menjabat tangan saya.
“Saya telpon kembali kok Dok, tapi sudah ga nyambung lagi. Mungkin sudah diputus oleh operator.” Jawab saya.
Kemudian lelaki yang belum saya kenal banyak ini mengajak kami bertiga jalan-jalan mengelilingi tempat ia bekerja. Laksana guide di banyak tempat wisata, sang dokter dengan rinci menjelaskan satu persatu seluk beluk Rumah Sakit. Tentu saja dengan logat Batak yang begitu khas: tegas dan ramah! Setelah mengelilingi RSJ, kami dibawa ke ruang kerjanya. Di ruangan inilah peristiwa berharga itu terjadi.
Sebuah awal mula dari perkenalan yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Tanpa diminta atau pun ditanya, dr. Bumbunan tiba-tiba bercerita tentang proses perjalanan hidupnya. Tampaknya dia cukup bersemangat menerima kami. Mungkin bukan dengan kami saja paras ceria di wajahnya terpancar. Tapi kepada siapa saja. Terlebih kepada mereka yang mau mengakrabi dunia buku sehingga mampu menemukan identitas diri setelah banyak membaca, merenungkan, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Ya, dengan gegap gempita sang dokter bercerita. Bahwa telah lebih dari 1000 judul buku yang dibaca dan dimilikinya, dimana dari buku-buku tersebutlah dirinya yang semula pemalu menjadi termotivasi dan selalu dalam keadaan percaya diri jika berbicara dengan publik.
“Orang-orang banyak membaca buku-buku dari luar negeri setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Beruntung saya mencintai dan menguasai Bahasa Inggris, sehingga saya memiliki kesempatan membaca buku-buku berharga tersebut dalam versi aslinya jauh hari sebelum buku-buku tersebut diterjemahkan dan beredar luas di Indonesia.” Katanya.
Seketika saya teringat dengan para remaja di sekolah-sekolah yang pernah saya kunjungi. Dengan bangganya para remaja ini mengacungkan tangan dan menjawab “SAYA!” ketika ditanya, di dalam kelas ini siapa yang TIDAK suka membaca dan menulis? Betapa mirisnya hari ini. Lebih miris lagi ketika pertanyaan saya lanjutkan dengan, siapa di dalam kelas ini yang tidak suka menulis buku harian? “SAYA!” lebih dari ¾ dari keseluruhan siswa di dalam kelas yang mengacungkan tangannya.
“Kenapa tidak suka menulis buku harian?”
“Malas!!!” Teriak mereka penuh semangat.
Gila! Globalisasi, kapitalisme, atau apapun namanya telah berhasil membuat satu generasi di Borneo Barat ini begitu konsumtif dan semakin jauh dari budaya baca tulis. Saya menduga, hal ini juga akibat keluarga di rumah yang jarang atau bahkan tidak pernah memperkenalkan budaya membaca dan menulis kepada anak-anak mereka.
Dalam cerita “seru” yang disampaikan dr. Bumbunan, juga disampaikan bahwa seandainya saja setiap keluarga membiasakan bertukar hadiah dalam banyak moment perayaan dengan buku, mungkin kondisi masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih cerdas dari sekarang. “Coba perhatikan di sekeliling kita,” lanjutnya, “Hampir tidak pernah kita jumpai orang tua yang mengajak anaknya ke perpustakaan atau pun toko buku. Mereka lebih senang melihat anak-anaknya berlompat girang, berlari ke sana ke mari di pusat-pusat perbelanjaan.” Saya terhenyak mendengarnya. Seraya berdoa, semoga ketika saya punya istri dan anak kelak, perpustakaan masih belum tutup.
“Karena buku pula, saya banyak teman di seluruh dunia.” Kata dokter yang ketika disuruh menyebutkan siapa dirinya, dijawab dengan: I AM.
Kalau ada kalimat bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian, maka dari pertemuan singkat saya dengan rajawali yang terbang dari Sumatra Utara ini, saya juga punya saran buat teman-teman remaja di seantero Borneo Barat ini, bahwa membaca akan mengantarkan kita menuju keabadian.
Ya, pertemuan kami cukup singkat di kamis siang itu. Sungguh, sebenarnya saya ingin berlama-lama. Tapi beginilah nasib orang yang ditumpangi, harus manut dengan agenda orang yang menumpangi. Febri ada acara dan kami harus meluncur kembali ke Kota Singkawang.
Sebelum pulang, saya sempat menghadiahi sang motivator dengan 3 buku: Kumpulan cerpen berjudul Ranjang yang saya tulis, kumpulan puisi karya siswa Ignasius dan Paulus, dan satu lagi embrio buku saya yang sudah selesai namun belum sempat diterbitkan.
Kami bertiga pamit. Di dalam mobil kami bertiga berdecak kagum dengan sosok sang dokter sekaligus motivator yang di lemari pribadinya terdapat lebih dari 1000 judul buku yang telah ia baca.
Malam tiba. Udara kota Singkawang terasa lebih dingin dari biasanya. Saya memutuskan untuk bersantai di warung kopi sambil menikmati lalu lalang kendaraan serta keramahan kota Amoy ini. Tak lama setelah saya memesan segelas kopi susu, HP saya berbunyi. SMS dari dr. Bumbunan yang isinya saya tulis di awal cerita ini. SMS itu saya balas dengan ucapan terima kasih. Saya juga mengatakan bahwa hari ini saya telah menemukan buku yang begitu berharga. Buku itu berjudul: Bumbunan Sitorus: Lelaki dengan Rajawali yang Menempel di Keningnya.
Tak lama berselang, kembali saya menerima SMS dari sang Rajawali. Isinya: “Wonderful! Especially d short story all is amazing story with suspense. Sudah selesai 3 buku saya baca. Thx Pay! U’R wonderful!”
Kami pun berbalas SMS. Dan salah satu SMS darinya adalah sebuah saran untuk meneruskan SMS tersebut ke 5 orang yang begitu spesial. Isinya: Be still... n know that u are wonderful... send this to 5 special people& u will see a miracle 2morrow morning. Please don’t ignore. Just do it or just try!”
Ya, SMS itupun saya teruskan ke orang-orang special. Dan saya teruskan juga ke koran ini. Semoga pesan singkat dari Rajawali yang terbang dari Sumatra Utara dan sekarang tengah hinggap di Borneo Barat ini bisa dibaca lebih dari 5 orang yang begitu wonderful!
Singkawang, 25 Januari 2008
No comments:
Post a Comment