kisah apa lagi yang hendak kau ceritakan kali ini, barista.
tentang hemingway yang tak pernah berpindah meja di cafe itu,
lalu novelnya meraih pulitzer sebab memanfaatkan suasana perang
karena kelihaiannya meracik diksi?
ini sudah beberapa kali kau ceritakan
meski racikan kopimu tetap menggoda selera
nanti, seperti yang sering kuduga, kisahmu
akan menyerempet-nyerempet ke orang orang turki
yang menjadi cikal bakal populernya kopi
kemudian satu persatu pengunjung kedaimu mendekat.
antusias. pasang kuping. menunggu saat saat mendebarkan
saat single origin selesai kau ramu. siap untuk ditenggak
"aromanya lembut. selembut senyum istri-istri pejuang turki
saat menyambut para suami pulang dari jihad," kata salah seorang
pelanggan
senyum perempuan turki itu bukan lembut, tapi teduh! kau protes.
katamu, perang itu panas. panas cuaca dan panas debar dada.
yang dibutuhkan lelaki pejuang adalah keteduhan, bukan kelembutan.
sebagai barista, aku kagum dengan kemampuanmu meramu cerita
pelanggan tergelak, lalu kopi ditenggak.
"kalian masih ingat soal pecah kongsinya koalisi soviet?"
tiba-tiba kau menyinggung singgung kekalahan gorbachev.
kekalahan yang pahit, sepahit espresso
dari remah biji malabar yang baru saja terhidang.
tentu saja pelanggan kedai menebak-tebak,
kemana arah ceritamu.
mereka menunggu, bahkan ada yang rela order lagi.
"buatkan satu gelas moka," seseorang mengacungkan tangan.
ah, kalau moka berarti kita harus pindah ke yaman.
pelabuhan dagang kuno peng-ekspor kopi terkenal seantero dunia.
al-mukha.
"lalu bagaimana dengan keruntuhan soviet?" pelanggan tak
sabar
sebab cara berpikir mereka batil dan kebanyakan vodka, katamu.
harusnya sesekali mereka mencicipi moka
dan juga ikut cara berpikirnya pejuang muslimin.
mustanir.
"bahkan waktu soviet luluh lantak,
muslimin pun tak sedang mustanir.
sudah lebih dulu digerogoti pikirannya
dan akhirnya luluh lantak oleh kemal pasha,"
seperti hari-hari biasanya, kedai kopi berubah jadi arena diskusi
makanya kalian jangan ngopi saja! sana berjuang.
tunjukkan bahwa kita ini benar-benar mustanir.
pengunjung tergelak lagi. kopi ditenggak lagi.
katamu, hemingway mati bunuh diri,
tapi karyanya hidup dan dibangga-banggakan
kaum humanis kepanjangan tangan kapitalis.
soviet pecah belah. pun kapitalis penyebabnya
tapi orang-orang masih membaca leo tolstoy dan aleksei maksimovic
peshkov
lha kita? terus menerus ribut membahas nikmatnya kopi arabica
sana berjuang, buktikan kita benar-benar mustanir
barista mengusir pelanggannya. sudah malam. saatnya pulang
lalu besok siap-siap dengan kisah baru
pelanggan pulang. kedai ditutup
tiba-tiba saja barista rindu kemegahan baghdad, andalusia, juga
islambol
doanya, semoga para peminum kopi mau ikut bersama jaamah ini
yang mustanir. yang mustanir. yang mustanir
Pontianak, 31 Mei 2017
No comments:
Post a Comment