Lelaki itu tak hirau dengan
suasana sekeliling. Usianya kutaksir sudah lebih dari 70 tahun. Sebuah sepeda
yang juga tak kalah tua berdiri setia tepat di depannya. Jaket tebal berwarna
gelap yang sudah terlihat lusuh membungkus tubuhnya, melindungi dari musim yang
kadang memang tidak bersahabat. Badannya
sedikit membungkuk. Entah apakah karena usia, atau karena lelaki itu
khusuk bercengkrama dengan puluhan burung dara yang berebutan dengan remah roti
yang ia taburkan.
Orang-orang berlalu lalang.
Lelaki itu tak hirau. Seorang perempuan remaja berambut pirang panjang baru
saja melewati lelaki tua itu. Tak sedikitpun kepalanya berpaling. Dunia ini
serasa miliknya. Memungut remah-remah roti yang memang sudah ia persiapkan di
dalam kantong plastik yang tergantung di sepedanya, menaburkan remah-remah roti
tersebut, sedetik kemudian puluhan burung dara mengerumuninya. Bahkan ada
seekor dengan warna segelap jaket tebalnya, tak sabar menunggu remah roti jatuh
ke bawah. Burung itu hinggap di pergelangan tangan lelaki. Mematuk-matuk remah
roti yang belum sempat ditabur. Membuat burung-burung yang lain cemburu.
Mencoba merebut singgasana demi menguasai remah roti. Lelaki tua itu tersenyum.
Barangkali saja, dari dalam hatinya dia berkata, “Sabar… sabar…, semuanya pasti
kebagian.”
Aku yang berdiri kurang dari lima
meter dari lelaki tua itu merasa sangat terhibur. Pemandangan lelaki tua dengan
remah roti dan burung dara sudah membuat aku betah berada di kota kecil ini.
Dinginnya musim, seketika aku lupakan. Berbeda dengan lelaki tua yang tak hirau
dengan sekeliling, aku, setelah menjepretkan kameraku ke arahnya beberapa kali
berpindah fokus ke arah-arah yang lain. Toko suvenir berderet rapi di sisi
kanan dan kiri. Toko keju. Café. Klompen berukuran raksasa yang dibiarkan tergeletak
begitu saja. Dan tentu saja para turis yang sibuk memilih-milih suvenir. Yang
sibuk mengabadikan gambar. Yang sibuk mencicipi keju. Yang sibuk membaca peta.
Aku adalah bagian dari turis tersebut di sebuah kota kecil yang membuatku betah
berlama-lama. Kota itu bernama Delft.
Tentu saja dua bangunan abad
pertengahan tak boleh dilewatkan begitu saja ketika berada di Delft. Bangunan
yang menjadi kebanggan kota. Bangunan yang menjadi alasan jutaan manusia modern
datang ke tempat ini. Delft City Hall yang berhadapan dengan Nieuwe Kerk
(Gereja Baru). Di tengah-tengah dua bangunan yang saling berhadapan tersebutlah
orang-orang berlalu lalang. Patung seorang ahli hukum, filosof, teolog,
apologis Kristen, dramawan, dan penyair di Republik Belanda, Hugo Grotius, pun
tak ketinggalan menjadi sasaran blitz kamera. Tak ketinggalan lelaki tua
penabur remah roti dengan sepedanya yang tak juga tak kalah tua.
Delft adalah sebuah kota kecil
yang terletak di provinsi South of Holland. Berada di tengah dua kota besar,
Rotterdam dan Den Haag, Delft sama sekali tidak terkesan seperti kota. Bahkan
seorang kawan dari jejaring sosial yang telah lama tinggal di Delft lebih
senang menyebut dirinya tinggal di kampung Delft, bukan Kota Delft.
Tapi teman satu ini tak salah.
Delft pada awalnya memang sebuah pedesaan. Di awal abad pertengahan, barulah
kemudian pedesaan Delft dikembangkan menjadi sebuah kota dengan mendapat city
charter pada abad ke-13. Kalau kita mau masuk jauh lebih awal, jauh sebelum
abad pertengahan dimulai, jauh sebelum daerah ini disebut sebagai pedesaan,
Delft tak lebih dari sekadar daerah rawa yang basah. Diperkirakan sekitar tahun
1100 kanal-kanal telah digali memanfaatkan sungai alami yang mengalir di sini.
Kanal itu disebut Delf, kemudian berubah menjadi Delft. Kalau kita mengenal
Belanda sebagai negara sejuta kanal, maka Delft bolehlah kiranya dijadikan
ibukota kanal tersebut.
Ya, berjalan kemanapun ditiap
sudut kota, kita akan menjumpai kanal-kanal yang indah dan bersih. Angsa putih
akan menjadi hal yang lazim kita temukan. Kemolekan tubuh unggas ini begitu
luar biasa. menjadi inspirasi penemu gerakan tari yang hari ini kita kenal
sebagai balet.
Sejarah Delft adalah cerita
tersendiri yang tak akan pernah habis untuk dipelajari. City Hall dan Niuewe
Kerk adalah saksi utama. Juga perjuangan dari William van Oranje, pahlawan
paling perkasa di Belanda dengan kegigihannya mengusir pendudukan Spanyol.
Belum lagi cerita tentang keramik yang melegenda. Lihat saja isi dalam toko
suvenir yang berada di kota ini. Penuh dengan keramik. Klompen yang merupakan
sepatu kayu, dibuat dari keramik berbagai ukuran. Kincir angin, dari keramik,
tempelan kulkas dengan berbagai macam desain: sepasang bocah kecil berpakaian
tradsional Belanda yang nyaris (atau sudah) berciuman, si pendiam William van
Oranje, bunga tulip beraneka warna, semuanya terbuat dari keramik. Sejak abad ke 17 keramik dari Delft
(Delftware) sudah diekspor keseluruh pelosok Eropa bahkan ke Asia Timur jauh,
seperti negeri tirai bambu yang pada dasarnya menjadi inspirasi pembuatan
keramik di Delft.
Aku tak pernah puas sebenarnya.
Terlalu banyak hal yang bisa diceritakan dari kota kecil (atau kampung?)
bernama Delft, bahkan walau kita hanya berada di tengah-tengah antara City Hall
dan Nieuwe Kerk. Tapi perjalananku ke Delft hanya perjalanan sehari. Aku harus
berpindah tempat. Setelah mendengarkan dentang lonceng gereja dari Nieuwe Kerk,
kakiku mengayun ke sudut-sudut kota. Menelusuri kanal yang indah menikmati
bangunan-bangunan megah abad pertengahan. Aku sampai di bagian lain dari
sejarah panjang Delft.
Gerbang Timur. Orang Belanda
menyebutnya Oostpoort. Tak terlalu besar bangunan tersebut. Namun terlihat
menawan. Kusempatkan untuk berhenti sejenak untuk menjepretkan kamera ke
bangunan bergaya Brick Gothic yang juga banyak dijumpai di daerah Eropa Utara
ini. Di Delft, Ooospoort adalah satu-satunya pintu gerbang kota yang masih
tersisa. Sementara yang lain dihancurkan pada abad ke-19. Struktur bata yang sangat
menawan, diapit oleh dua menara dengan ujung lancip di atasnya. Aku merasa
seperti berada dalam negeri dongeng. Sebuah kanal terbentang tepat di depan
bangunan ini. Jembatan putih yang dapat
terbuka jika kanal harus dilewati kapal berdiri di depannya. “Cantik.” Mulutku
bergumam kepada diri sendiri.
Terus. Kubiarkan saja kakiku
melewati pintu gerbang timur kota Delft yang menawan tersebut. Bukan hanya
menawan bagiku, namun bagi banyak seniman sejak abad pertengahan sampai hari
ini. Aku jadi teringat pesan seorang teman di tanah air jauh hari sebelum aku
sampai di Belanda, “Kalau kau akan melakukan perjalanan dari Rotterdam menuju
Den Haag, rugi kalau kau tidak singgah dan menikmati keindahan Delft.” Katanya.
Dan hari ini promosi gratis dari temanku tersebut, benar-benar aku wujudkan.
Di Amsterdam sudah terlalu banyak
turis. Terlalu banyak pesta pora. Terlalu banyak ganja. Di Rotterdam, terlalu
banyak bangunan pencakar langit. Di Delft, terlalu banyak keindahan. Keindahan
yang membuat siapa saja menjadi tentram. Ada estetika di sini, yang tak bisa
disamakan dengan kota-kota lainnya di Belanda.
Tiba-tiba saja langkahku
terhenti. Mataku menabrak tulisan yang begitu akrab. Sangat akrab. Sebuah
bangunan berwarna putih. Ada halaman luas di depannya. Musim membuat
pohon-pohon di halaman kehilangan dedaunan. Aku mendekat. Mencoba mengintip ke
dalam. Ah, tetapi bangunan tersebut tutup. Di bagian lain, ada pintu yang lain.
Kudekati. Sama. Tutup. Kenapa? Padahal hasratku begitu besar untuk masuk ke
dalam. Bangunan putih tersebut bertuliskan Museum Nusantara. Tentu saja ada
banyak peninggalan Indonesia di dalamnya. Sayang, aku tak ada kesempatan untuk
masuk. Dan lebih disayangkan lagi, semenjak 6 Januari 2013, Museum Nusantara di
Delft telah benar-benar ditutup dengan alasan financial. Menyedihkan. Ya, di
nusantara, sejarah tak lebih dari makhluk asing.
Kutinggalkan pelataran Museum
Nusantara yang barangkali hari ini juga telah ditinggalkan negara Indonesia
tersebut. Masuk ke pelataran yang lain. Tetumbuhan hijau setinggi lutut
mengular dengan rapi. Seseorang berdiri di tengahnya. Aku tepat berada di
depannya. Lamat-lamat kuperhatikan wajahnya. Tajam kutatap matanya.
Orang inilah yang melakukan
perlawanan luar biasa terhadap kebiadaban Spanyol yang tak memberi ruang bagi
kebebasan beragama dan toleransi. Orang inilah yang membangkitkan semangat
orang-orang Belanda untuk terus melawan. Pahlawan yang tak akan pernah
dilupakan oleh orang Belanda sampai kiamat. Bapak Tanah Air mereka menyebutnya.
William van Oranje namanya. Si pendiam julukannya.
Tepat di hadapanku, patung sang
pangeran benar-benar diam. Namun apa yang telah dilakukannya akan terus
dibicarakan siapa saja yang tinggal, datang, ataupun hanya singgah sebentar di
Belanda. Ini adalah taman dari sebuah biara tempat pangeran William dan
keluarga ‘The Dutch Royal House’. Hari ini biara tersebut berubah fungsi
menjadi museum Het Prinsenhof. Pada 10 Juli 1584, di tangga Het Prinsenhof
inilah William van Oranje dibunuh. Namun kedua putranya, Mauris dan Frederik
Hendrik tak berhenti berperang hingga akhirnya meraih kemenangan. Setelah
kemenangan tersebut, setelah terbebas dari penjajahan, giliran Belanda yang
mengarungi dunia menjajah beberapa tempat, termasuk Indonesia.
Langit pelan-pelan mulai gelap.
Cuaca semakin dingin. Aku harus pergi meninggalkan kota ini. Tapi orang tua dan
remah roti, biru putih keramik, city hall, Niuewe Kerk, kanal yang memesona,
angsa putih, gerbang timur, abad pertengahan, dan tentu saja sejarah panjang
kota ini akan ikut bersamaku. Ikut menumpang kereta, menelusuri kota-kota lain
di Belanda. Ikut menumpang pesawat, terbang 16 jam ke Indonesia. Menemaiku pada
malam-malam tanpa lentera di kamar tidurku. Hingga saat ini, cerita yang tak
akan pernah hilang itu, bisa kalian baca. Kalau ada waktu mampirlah ke sana. Ke
sebuah kota kecil bernama Delft.
No comments:
Post a Comment