Sudah hampir
seminggu saya berada di Madrid. Tinggal di apartemen Sergio Roche Castro dan
kekasihnya Luciana Musumeci, banyak tempat yang telah saya kunjungi di Ibukota
Spanyol tersebut. Sebut saja misalnya berjalan menyusuri area The Royal Palace, istana kerajaan
terbesar dan paling mengesankan di Eropa dengan struktur bangunan yang begitu
indah. Di sekitar Royal Palace,
dengan mudah kita bisa melihat banyak tempat yang tak terlupakan. Madrid nol
kilometer, Plaza Mayor, Plaza de Cibeles,
Plaza de Espana, El Retiro Park, dan masih banyak tempat lainnya.
Daerah-daerah
yang saya sebutkan tadi merupakan wilayah di Madrid yang sarat akan sejarah. Selama
hampir seminggu saya berada di Madrid, banyak pula peristiwa menarik yang saya
alami. Bersepeda menelusuri tepian sungai Manzanares, sungai yang membelah kota
Madrid dimana ratusan tahun lalu, bangsa Moor, orang-orang Islam dari Afrika
Utara membangun markas mereka untuk kemudian menguasai seluruh Spanyol dan juga
sebagian Perancis dan Portugal. Di tepian sungai ini pula dengan jelas saya
melihat Estadio Vicente Calderon.
Stadion markasnya klub sepakbola Atletico Madrid tersebut begitu dekat di depan
mata saya.
Tidak
hanya lokasi-lokasi tua dan sarat sejarah. Wilayah paling modern pun saya lalui
di Madrid. Mulai dari Puerta de Europa towers
atau pintu gerbang Eropa, gedung kembar yang berfungsi sebagai perkantoran.
Berdiri miring seperti mengucapkan “welcome”
kepada siapa saya yang datang ke Madrid. Dari pintu gerbang Eropa ini saya pun
menyusuri daerah modern di Madrid. “Orang-orang kaya di Madrid tinggal di
daerah ini,” kata Sergio yang menemani saya.
Di
sepanjang jalan itu pula saya bertemu dengan bangunan yang telah lama saya
impikan. Bangunan yang selama ini hanya
saya lihat di televisi dengan gegap gempita ribuan manusia. Bangunan yang
membuat saya harus terjaga sampai pagi. Duduk bersama teman-teman di warung
kopi yang menyediakan proyektor. Di dalam bangunan ini ada tim sepokbola
favorit saya. Tim kebanggaan Ibu Kota. Real Madrid. Bangunan ini bernama Santiago Bernabeu. Dan masih belum dapat
saya percaya, bahwa waktu itu saya tepat berada di depannya.
Setelah
puas berlama-lama di Santiago Bernabeu,
saya dan Sergio terus menelusuri jalan raya, hingga akhirnya bendera Spanyol
yang sangat besar. Berkibar-kibar di angkasa menemani musim dingin dengan
gembira. Tak jauh dari bendera raksasa tersebut, berdiri dengan gagah, patung
penemu benua Amerika, Christoporus Colombus.
Dan
banyak lagi tempat di Madrid yang saya kunjungi.
Tapi
perjalanan saya selama di Madrid serasa belum lengkap. Kemana-mana saya hanya
ditemani Sergio. Sedangkan di apartemen tempat saya menginap masih ada seorang
lagi, Luciana. Krisis ekonomi yang melanda Spanyol berdampak buruk bagi Sergio.
Dia kehilangan pekerjaannya. Sementara Luciana, setiap harinya harus bekerja.
Sebelum saya bangun pagi, Luciana sudah pergi. Dan baru kembali ketika langit
di Madrid sudah gelap. Kemudian dia akan merasa sangat lelah karena seharian
bekerja. Kami hanya punya kesempatan berkumpul bersama Luciana beberapa jam di
meja makan.
“Kita
harus menghabiskan waktu bersama di hari minggu nanti,” Kata Luciana suatu hari
saat kami makan malam. Tentu saja saya menyetujuinya. Tapi hendak kemana kita?
“Ada
satu tempat yang belum kamu kunjungi dan harus kamu kunjungi,” Sergio
menimpali, “tempat itu bernama El Rastro.”
“Tempat
apa itu?” saya bertanya.
Kemudian
Sergio menjelaskan bahwa El Rastro
merupakan pasar loak yang dibuka untuk umum setiap hari minggu mulai dari jam sembilan
pagi sampai jam dua siang. Di tempat ini terdapat banyak sekali barang bekas
dan baru mulai dari buku dan majalah tua, perabotan rumah tangga, pakaian,
bahkan barang-barang antik yang usianya sudah ratusan tahun. Setiap hari minggu
tempat ini akan dipenuhi dengan ribuan manusia. Sebagian mereka datang untuk
membeli barang-barang loakan tersebut, sebagian yang lain hanya datang untuk
berjalan-jalan sambil menikmati sensasi berada di kerumunan.
Sensasi
berada di kerumunan. Saya senang mendengarnya. Kemudian menyetujui usulan
tersebut. Cuma Sergio memperingatkan untuk tidak membawa barang-barang berharga
karena ada banyak copet bertebaran di tempat tersebut.
El Rastro adalah pasar jalanan (loak) yang berasal
dari abad pertengahan. Pasar ini dibuka sepanjang tahun setiap hari minggu dan
terletak di sepanjang Plaza De Cascorro
dan de Ribera Curtidores, antara Calle Embajadores dan the Ronda de Toledo. Secara etimologi, El Rastro berarti jejak. Nama El Rastro untuk pasar loak ini
barangkali berasal dari tempat memasak kulit binatang agar menjadi berwarna dan
tahan lama (penyamakan) yang berlokasi di Ribera
de Curtidores. Proses pengangkutan sapi yang dipotong dari tempat penjagalan ke penyamakan
kulit meninggalkan jejak (rastro) darah di sepanjang jalan. Atau ada
juga yang berpendapat bahwa El Rastro berarti “outside” (di
luar). Yang mengacu pada fakta bahwa daerah ini pernah berada di luar daerah
yuridiksi pengadilan walikota.
Terlepas dari dua etimologi
tersebut, hari ini, setiap hari minggu pagi sampai pukul dua siang, El
Rastro adalah kawasan yang dipadati oleh ribuan pengunjung. Dan hari minggu
tersebut saya, Sergio, dan Luciana menjadi bagian dari ribuan pengunjung
tersebut.
Dari apartemen kami menuju stasiun
metro terdekat. Kemudian berhenti di stasiun metro La Latina. Kemudian
tak jauh setelah keluar dari stasiun La Latina, menuju ke arah selatan,
saya menemukan suasana yang berbeda. Sergio tidak berbohong. Jalanan ditutup
untuk kendaraan. Ada ratusan lapak yang berderet sepanjang jalan dengan
berbagai macam barang bekas. Dan kami seperti tak bisa bergerak. Penuh dengan
lautan manusia.
Orang-orang berwajah latin,
orang-orang berkulit hitam, orang-orang asia, orang-orang bermata biru,
orang-orang berambut pirang, dan tak ketinggalan turis-turis asing, berkumpul
menjadi satu. Kami melewati Plaza de Cascorro.
“Di tempat ini ada sekitar 3.500 kios yang menjual
barang antik, pakaian, souvenir, dan berbagai barang bekas lainnya,” Ucap
Sergio. 3.500 kios? Saya terkejut. Sepertinya tempat ini tidak terlalu besar.
Mana mungkin bisa memuat 3.500 kios. Tapi sebelum saya protes, Sergio kembali
menjelaskan bahwa di Plaza de Cascorro
bukan hanya satu lorong jalan saja. Tapi ada banyak persimpangan yang begitu
luas. Persimpangan tersebut terbagi ke dalam beberapa wilayah dengan kelompok
barang-barang tertentu.
Ini luar
biasa. Seumur hidup saya, inilah pertama kalinya saya mendengar bahasa Spanyol
berdengung seperti lebah di udara. Tentu saja bahasa Inggris dan bahasa Eropa
lainnya sempat saya dengar, tapi langsung lenyap dihantam dengunan percakapan
orang-orang Hispanic tersebut.
Di
tengah-tengah Plaza de Cascorro
berdiri patung Eloy Gonzalo, seorang prajurit muda yang menjadi pahlawan
Spanyol pada perang Kuba tahun 1896. Pada peperangan tersebut, memang Spanyol
takluk dengan Amerika Serikat dan harus meninggalkan Kuba. Selain itu Spanyol
juga harus menyerahkan beberapa daerah jajahannya kepada Amerika Serikat
seperti Puerto Rico, Guam, dan Filipina. Namun meskipun Spanyol menderita
kekalahan, sosok Eloy Gonzalo adalah pahlawan yang tak bisa dilupakan begitu
saja. Karena itulah kemudian patungnya berdiri di tengah-tengah Plaza de
Cascorro.
Patung
Eloy Gonzalo memegang gas kaleng dan obor yang mengingatkan Madrilenos (orang-orang Madrid) akan
keberaniannya membakar sebuah bangunan ketika kubu Spanyol terus menerus
dibombardir oleh musuh. Dulu, orang-orang membicarakan Eloy Gonzalo sebagai
pahlawan perang. Hari ini, orang-orang menyebut patung Eloy Gonzalo sebagai meeting point, jika mereka membuat janji
untuk bertemu di pasar loak El Rastro.
Dari
patung Eloy Gonzalo kami bertiga menyusuri pasar loak menuju kawasan Calle Ribera de
Curtidores. Di daerah ini khusus dijual beraneka kerajinan
tangan, barang-barang antik, dan juga beraneka pakaian yang dijahit dengan
tangan. Seorang anak terlihat menangis, merengek-rengek kepada ibunya agar
dibelikan boneka kayu pinokio. Tapi sang ibu sepertinya keberatan. Barangkali
karena ia gagal melakukan tawar-menawar harga dengan si penjual. Akhirnya, anak
tersebut berhasil ditenangkan oleh ayahnya yang menggendong si anak ke
pundaknya.
Saya
tertarik dengan sebuah tas tangan yang bergambar seorang pemimpin komunis
Vietnam, Ho Chi Minh. Berada di tumpukan tas bekas, wajah Ho Chi Minh terlihat
tersenyum sumringah mengenakan topi bergambar bintang merah. Sayang saya tak
punya budget untuk berbelanja. Saya
sempatkan untuk memotret. Lumayanlah, tidak mampu membeli, tapi bisa memiliki
fotonya. Sementara suara dari orang-orang yang bercakap-cakap dengan bahasa
Spanyol terus mendengung seperti ribuan lebah di udara.
Dari
kawasan Calle Ribera de Curtidores,
kami berbelok ke sebuah lorong yang dikenal dengan daerah Calle San Cayetano.
Di lorong ini tidak seramai seperti daerah sebelumnya. Ada banyak lukisan
dipajang di sini dan juga berbagai macam replika karya seni. Di kiri-kanan
lorong terdapat banyak toko seni dan juga toko buku bekas. Menurut Sergio, toko
yang menjual barang-barang seni tersebut tetap buka sepanjang minggu.
Di
daerah ini pula saya mendengar suara gitar Spanyol mengalun begitu merdu.
Tampaknya suara gitar Spanyol itu berasal dari salah sebuah toko seni. Seorang
perempuan duduk di meja kasir yang pintunya terbuka. Seluruh tubuhnya rapat
dibalut jaket tebal, jeans, dan sepatu boot. Tapi tetap saja aku berhasil
mencuri pandang wajahnya yang begitu cantik. “seperti Salma Hayek,” gumam saya
dalam hati.
Tak jauh
dari deretan toko-toko seni tersebut, saya melihat beberapa orang berkulit menggelar
tikar yang di atasnya bertumpuk beraneka barang. Ada kaos kaki, perabotan
antik, pakaian bekas, dan pernak-pernik souvenir lainnya. Luciana bercerita
bahwa orang-orang Negro ini adalah imigran dari Afrika.
Kami
terus menelusuri lorong demi lorong di El
Rastro. Masuk ke wilayah Plaza del General Vara del Rey, terdapat banyak
pakaian bekas, dan juga kios-kios yang berisi barang-barang furniture. Di
daerah Calle Rodas, kembali kami
menjumpai beraneka barang-barang antik. Masuk ke wilayah Campillo terrace barang-barang yang ditawarkan semakin beragam. Ada
perkakas pertukangan, peralatan dapur, pakaian, alat-alat musik, dan juga
majalah-majalah tua.
Tempat ini begitu luas.
Tak cukup dua jam untuk mengitarinya. Dengan kamera kesayangannya, Sergio
tampak sibuk memotret berbagai macam objek. Berada di kerumunan ribuan manusia
sungguh pengalaman menyenangkan bagi saya. Meskipun demikian saya harus tetap
berhati-hati terhadap barang-barang yang saya bawa seperti paspor, dompet, dan
juga telepon seluler. Tak ada yang bisa menduga pencopet berada dimana. Luciana
berkali-kali memeringatkan saya. Tentu saja menjaga barang dari pencopet adalah
hal yang biasa saya lakukan. Di Indonesia, jangankan di tempat-tempat seperti
ini, bahkan di beberapa Mall pun, pencopet berkeliaran.
Hingga akhirnya setelah
berkeliling kesana kemari, kami kembali bertemu dengan patung Eloy Gonzalo.
Tapi kali ini suasananya berbeda seperti dua jam yang lalu. Terlihat
orang-orang berkerumun. Kami mendekat. Di salah satu sisi pagar yang
mengelilingi patung pahlawan Spanyol tersebut, duduk seorang tua dengan meja
yang terhampar berpuluh-puluh gelas kaca. Ajaib. Dengan sedikit sentuhan jari
jemarinya di bibir gelas-gelas kaca tersebut, suara musik yang indah mengalun.
Lelaki itu sedang mengadakan konser yang mampu menyedot perhatian orang-orang.
Suara musik yang keluar dari gelas-gelas kaca tersebut mampu menghipnotis
orang-orang dan juga saya untuk melemparkan koin euro maupun uang kertas ke
dalam kaleng yang terletak di sampingnya. Saya tertegun.
“Waktunya makan siang. Vamos por unas canas! (Mari masuk ke
dalam bar!)” Sergio menarik tangan saya yang masih asik menikmati suara musik
dari gelas-gelas kaca tersebut.
Kemudian kami berjalan
menuju salah satu tempat makan yang terletak tak jauh dari tempat kami berada.
Betapa terkejutnya saya ketika masuk ke dalam tempat tersebut. Ini bukan sebuah
restoran yang besar. Terlihat seperti bar yang berisi berbagai macam makanan
seperti roti, seafood, kentang, salad, dan tentu saja bir. Kursi yang
disediakan sudah penuh. Sebagian orang yang lain berdiri. Dengung bahasa
Spanyol semakin kentara di ruangan tertutup ini.
Pemandangan baru yang
saya temui adalah orang-orang yang berteriak-teriak. Mereka bukan berkelahi.
Melainkan memesan makanan ataupun pelayan yang mencari-cari pelanggannya untuk
mengantarkan makanan. Luar biasa. Di tempat-tempat lain, suara teriakan seperti
itu barangkali bisa saja berujung dengan perkelahian. Tetapi di sini, tidak
sama sekali. Orang-orang Spanyol tersebut terlihat begitu ramah dengan
berteriak. Kami memesan roti, cumi, dan juga salad. Tentu saja ditemani dengan
bir. Agak lama kami menghabiskan waktu di dalam bar tersebut. Sergio sempat
bercakap-cakap dengan pemilik bar yang teriakannya paling keras di antara
orang-orang yang lain. Pemilik bar ini begitu sibuk memerintahkan anak buahnya
untuk mengantarkan pesanan makanan. Dia juga menyuguhkan bir kepada kami.
Sergio memotretnya. Dia tampak senang. Tapi kembali berteriak. Oh, luar biasa
atmosfir di sini.
Keluar dari bar. Hari
sudah semakin siang. Sudah hampir jam dua. Beberapa kios tampak sudah tutup.
Sementara yang lainnya tampak masih sibuk menawarkan barang-barang mereka
kepada para pengunjung. Kami berjalan keluar dari El Rastro. Menyusuri lekuk
kelok lorong-lorong di Madrid. Saya sempatkan menoleh ke belakang. Mengucapkan
selamat tinggal kepada Eloy Gonzalo yang akan selalu berdiri tegar memegang
kaleng gas dan obor. Siap membakar semangat para Madrilenos yang saat ini tengah dilanda krisis ekonomi yang semakin
mencekam.
No comments:
Post a Comment