Lelaki itu tak hirau dengan
suasana sekeliling. Usianya kutaksir sudah lebih dari 70 tahun. Sebuah sepeda
yang juga tak kalah tua berdiri setia tepat di depannya. Jaket tebal berwarna
gelap yang sudah terlihat lusuh membungkus tubuhnya, melindungi dari musim yang
kadang memang tidak bersahabat. Badannya
sedikit membungkuk. Entah apakah karena usia, atau karena lelaki itu
khusuk bercengkrama dengan puluhan burung dara yang berebutan dengan remah roti
yang ia taburkan.
Orang-orang berlalu lalang.
Lelaki itu tak hirau. Seorang perempuan remaja berambut pirang panjang baru
saja melewati lelaki tua itu. Tak sedikitpun kepalanya berpaling. Dunia ini
serasa miliknya. Memungut remah-remah roti yang memang sudah ia persiapkan di
dalam kantong plastik yang tergantung di sepedanya, menaburkan remah-remah roti
tersebut, sedetik kemudian puluhan burung dara mengerumuninya. Bahkan ada
seekor dengan warna segelap jaket tebalnya, tak sabar menunggu remah roti jatuh
ke bawah. Burung itu hinggap di pergelangan tangan lelaki. Mematuk-matuk remah
roti yang belum sempat ditabur. Membuat burung-burung yang lain cemburu.
Mencoba merebut singgasana demi menguasai remah roti. Lelaki tua itu tersenyum.
Barangkali saja, dari dalam hatinya dia berkata, “Sabar… sabar…, semuanya pasti
kebagian.”