Bile kite minom aeknye
Biarpon pegi jaoh kemane
Sunggoh susah nak melupekannye
(Salah satu bait Lagu Air Kapuas, Ciptaan Paul Putra)Kapuas. Itu nama sungai terpanjang di Indonesia. Sungai yang sarat dengan sejarah. Fakta maupun legenda. Banyak juga cerita. Pemukiman. Nilai tradisi melayu. Sarana transportasi penyelundupan kayu. Rupa-rupa polusi air. Meriam karbit di malam lebaran. Tempat para muslim dan muslimah mengambil wudhu. Kapuas. Itu nama sungai terpanjang di Indonesia. Setiap orang berhak menjadikan sungai kapuas sebagai cerita tersendiri dalam hidupnya. Ya. Setiap orang. Termasuk aku. Tempat dimana aku kecil kerap menceburkan diri bersama bocah-bocah melayu telanjang lainnya. Tempat dimana aku kecil rela layanganku putus dan jatuh ke sana. Tempat di mana aku remaja menuliskan sajak-sajak cinta. Tempat dimana akhir-akhir ini aku sering mengecipakkan kaki telanjang ke airnya sambil menunggu makanan maupun minuman yang kupesan di salah satu cafe terapung.
“Kau sering ke sini?” lelaki itu bertanya kepadaku.
“Cukup sering.” Kujuga menjelaskan kepadanya
kalau malam minggu cafe terapung ini ramai dikunjungi remaja-remaja Pontianak.
Kukatakan juga bahwa cafe ini adalah salah satu tempat yang paling sering
kugunakan untuk mewawancarai beberapa remaja Pontianak yang pada akhirnya
melahirkan buku Pontianak “teenager” Under Cover.
“Tempat yang cukup inspiratif.” Katanya setelah
melihat sekeliling, menerawang jauh ke tengah sungai yang gelap, kemudian duduk
menyandar di kayu yang memagari cafe yang didesain menyerupai kapal. Bukan
menyerupai. Tapi memang kapal yang pada akhirnya didesain menjadi cafe.
“Ini adalah kali pertama aku ke Kalimantan. Dan
ketika kau ajak ke sini, seketika aku teringat Palembang.” Ucap lelaki itu
lagi.
Lelaki itu. Dari mana aku harus memulai cerita
ini? Kronologisnya begini kira-kira:
Waktu itu pertengahan Juli 2008. Aku sedang berada di
Singkawang. Sedang berkeliling dari sekolah satu ke sekolah lainnya, meneruskan
program yang akan terus berjalan, menggagas masyarakat Kalimantan Barat cerdas
yang dimulai dari kegemaran membaca dan menulis sejak dini. Dan segmen yang
kupilih adalah remaja. Ya, aku punya program yang tidak akan berakhir yakni
Kampanye Baca Tulis bagi remaja Kalimantan Barat. Dan waktu itu, untuk sekian
kalinya aku mampir ke kota seribu klenteng, Singkawang.
Di sebuah warnet di ujung jalan Diponegoro
Singkawang, aku membaca sebuah offline message di box Yahoo Messager (YM),
“Kawan, aku tahu alamat e-mailmu dari Yatno Wibowo.” Cuma itu yang tertulis.
Tapi cukup lama kuperhatikan teks sebaris tersebut. Sebelumnya, kuceritakan
dulu perihal nama yang disebutkan dalam pesan singkat itu. Yatno Wibowo, adalah
seorang kawan yang mengajarkanku banyak hal ketika kami sama-sama masih di
Jogja. Aktivis pergerakan. Sering menjadi jendral dalam banyak demonstrasi.
Juga seorang aktivis Kebudayaan. Juga seorang penyair. Juga seorang Abang yang
cukup bijak ketika berteriak-teriak di forum diskusi. Aku sempat satu rumah
dengannya beberapa waktu. Tepatnya, aku menumpang dan akhirnya nge-kos di markas
tempat Bowo dan kawan-kawan lain berkumpul. Markas Solidaritas Buruh. Markas
Forum Kebudayaan Rakyat Yogyakarta.
Yatno Wibowo adalah keturunan Jawa yang berasal
dari Lampung. Tahun 2004 kami sama-sama meninggalkan Jogja. Dia pulang ke
Lampung, aku bertolak ke Jakarta. Sejak itu kami jarang komunikasi. Hingga
suatu hari (Desember 2004), Bowo, sapaan akrabnya, mengirimiku sebuah SMS.
“Kawan, puisimu terbit di Lampung Post.” Aku percaya dengan SMS nya itu, sebab
kira-kira dua minggu sebelumnya aku memang mengirimkan beberapa judul puisiku
ke alamat email salah seorang redaktur di Lampung Post, Budi P. Hatees, setelah
mendapatkan alamatnya dari Mas Teguh Winarsho AS. Kubalas SMS dari Bowo yang
isinya meminta kliping koran yang memuat puisiku tersebut dikirim ke Jakarta.
Perihal pemuatan puisiku di Lampung Post, aku
sama sekali tidak pernah menduga sebelumnya. Apalagi, bukan rahasia lagi, cukup
sulit untuk menembus karya-karya yang kita tulis ke koran-koran berkualitas.
Bahkan ada pemeo yang mengatakan bahwa, kalau tidak kenal dengan sang redaktur
(baca, eksekutor), jangan harap tulisan kita bisa terbit. Dan Lampung Post
adalah koran yang terbukti telah melahirkan banyak sastrawan nasional. Dan aku
sama sekali belum pernah mengenal sang eksekutor, yang dari mas Teguh Winarsho
AS, cerpenis muda asal Jogjakarta yang namanya mencuat di langit sastra Jakarta
sekitar tahun 2003-2005, kuketahui bernama Budi P Hatees. Tentu saja penggila
sastra di Indonesia tidak asing dengan nama yang terakhir kusebutkan. Lelaki
kelahiran Tapanuli Selatan tahun 1972 ini sejak awal 90-an sudah malang
melintang di dunia sastra dan Jurnalistik di Jakarta. Karya-karyanya pun
termasuk karya-karya yang tidak bisa diremehkan. Bahkan sewaktu baru-baru
belajar menulis di Jogja, nama Budi P Hatees adalah salah satu nama sastrawan
yang masuk dalam daftar yang menginspirasi diriku.
Begitulah, sastrawan yang sekaligus menjabat sebagai
Redaktur Sastra Lampung Post di tahun 2004 akhirnya memutuskan untuk
menerbitkan puisi yang kukirim. Tanpa prosesi KKN seperti yang sudah lumrah
terjadi.
2005 ku pulang ke Pontianak. Dan tetap bersyukur
karena sampai hari ini masih beraktivitas sastra di tanah tempat ari-ari
terpendam ini. Meski ku akui betapa aku rindu gesekan-gesekan dengan
kawan-kawan lama. Betapa aku rindu bermalam-malam memilih diksi terbaik dan
pada akhirnya dibantai habis-habisan dalam pengadilan puisi antar teman-teman
dekat di bawah bulan purnama. Kembali aku harus tetap bersyukur, bahwa meski
minim bergesek dengan para penggiat sastra di Kalbar, aku masih bisa akrab
dengan para remaja di daerah ini untuk sekadar memotivasi mereka supaya
mengakrabi dunia baca tulis. Sampai hari ini dan semoga sampai kapanpun.
Masih di dalam warnet ujung jalan Diponegoro
Singkawang, aku punya alasan kenapa memperhatikan cukup lama kalimat singkat
yang tertera di offline message YM milikku. Tak lain dan tak bukan karena pesan
itu dikirimkan oleh seorang lelaki bernama Budi P Hatees. “Kawan, aku tau
alamat emailmu dari Y. Wibowo (Budi P Hatees)” Begitu kalimat lengkap yang
kubaca. Tapi tak perlulah memperpanjang waktu untuk merenungi pesan itu. Sampai
kapanpun juga kalimat itu tetap tidak akan berubah. Cuma aku tidak habis pikir,
kenapa pesan itu bisa sampai kepadaku.
Kubalas pesan itu, kutanyakan kabarnya, apakah
masih di Lampung Post, aku juga menyertakan nomor HP dan alamat blogku.
Keesokan harinya kembali aku ke warnet. Ya, internet sudah menjadi salah satu
kebutuhan dalam hidupku. Dan kupikir dia akan membalas kembali pesanku.
Misalnya dengan memberi tahu kenapa tiba-tiba dia mengirimiku pesan. Tapi tak
ada balasan. Keesokan harinya, juga tak ada balasan. Esoknya lagi, kembali tak
berbalas. Ah, sudahlah. Pikirku. Barangkali waktu itu dia sedang mengigau
tentang Pontianak dan igauannya itu diceritakannya kepada Bowo dan Bowo
memberitahu alamat emailku. Toh, aku sudah meninggalkan nomor HP, jika Budi P
Hatees ternyata tidak mengigau dan ingin menghubungiku kembali.
Awal Agustus, dari Singkawang aku kembali
meluncur ke Pontianak. Kepada kawan-kawan, aku sempat bilang bahwa aku akan
lama di Singkawang karena harus menyelesaikan novel yang sedang kutulis menyoal
masyarakat Tionghoa di Singkawang. Tapi aku harus pulang sebentar ke Pontianak,
karena harus mempersiapkan peluncuran buku terbaru Pijar Publishing, antologi
puisi 3 Merawat Kata yang ditulis bersama: aku, Bruder Gerardus Weruin, dan
Nano Basuki. Persiapan teknis pun kulakukan. Karena aku tidak punya waktu
banyak, jadi terkesan agak buru-buru. Mencari tempat peluncuran buku, loby
narasumber, sebar undangan, dan perkara teknis lainnya.
Hingga suatu hari, ketika siang di garis
khatulistiwa terasa begitu panas, sebuah pesan singkat masuk di HP ku, “Kawan,
aku di kotamu (Budi P Hatees),” What? Apa pulak ini? Setelah tak ada kabar
lanjutan pasca offline message di YM, sekarang dia kembali mengirimiku pesan
dan mengatakan bahwa sedang berada di Pontianak. Tentu saja aku terkejut.
Kuingat-ingat kembali, apakah ada agenda sastra di Pontianak yang menghadirkan
salah satu pembicara nasional bernama Budi P Hatees? Aku yakin tidak ada.
Apakah teman-teman pers di Pontianak mengundang Budi P Hatees dalam salah satu
acara? Juga tidak ada. Meskipun sering lupa menyimpan kunci motor, tapi aku
berani memastikan bahwa ingatanku masih normal. Terus? Tak mau dirundung
penasaran, ku telpon nomor yang mengirimiku pesan tersebut.
“Halo Pay. Aku di Pontianak sekarang.” Lelaki
yang belum pernah kukenal sebelumnya itu memiliki suara yang cukup berat.
Dialek Bataknya begitu kental.
“Posisinya sekarang dimana, Bang?” tanyaku.
“Baru sampai, sekarang masih di Bandara.”
“Berapa lama di Pontianak.”
“Sekitar seminggu.”
“Mampirlah Bang, rumahku dekat bandara.”
“Habis ini aku langsung meluncur ke Sanggau.”
“Dalam rangka apa, Bang?”
”Adikku dapat orang Sanggau, dan dia akan menikah
di sana.”
Ya, ampun. Akhirnya aku tau alasannya kenapa ada
pesan di YM beberapa waktu lalu. Tak ada sangkut pautnya dengan agenda sastra
rupanya. Sama sekali pikiranku meleset. Pembicaraan berakhir, namun sempat
kutawarkan untuk ngopi bareng jika ada waktu suatu hari nanti. Tawaran itu
disetujui.
Empat hari berselang. Kembali sastrawan Lampung
sekaligus salah satu sastrawan Indonesia tersebut menelponku.
“Pay, besok kami sekeluarga ke Pontianak. Ku bisa
minta tolong carikan hotel? Tiga kamar. Yang standar saja.”
Kusanggupi permintaannya. Dan juga ada
kesepakatan bahwa kita akan bertemu ketika nanti dari Sanggau, dia sampai di
Pontianak. Dan kesepakatan itu terjadi. Kujemput Budi P. Hatees di tempatnya
menginap, Wisma Nusantara. Sehari sebelumnya, aku menulis pesan kepada Udo Z Karzi,
sastrawan Lampung lainnya yang saat ini bekerja sebagai jurnalis di salah satu
media massa di Pangkalan Bun. Kukatakan bahwa Budi P. Hatees di Pontianak. Kapan Bang Udo menyusul? Dibalas, suatu hari
dia juga akan ke Pontianak. Sampai di Wisma Nusantara, kutelpon sang sastrawan.
Mungkin karena kelamaan menunggu, sementara mereka sekeluarga sudah tak kuat
menahan lapar, beranjak menuju tempat makan. Dan yang dituju adalah Tapaz
Resto, di istana buah jalan Gajah Mada. Karena jarak yang tidak terlalu jauh,
kurang dari lima menit aku sampai di Istana Buah. Di sinilah pertemuan itu
terjadi. Kami saling tatap. Kami saling jabat. Kupanggil dia Abang. Karena
selain usianya jauh lebih tua, dia juga lelaki dari Sumatra lebih tepatnya
memiliki nenek moyang orang Batak yang sama sekali tidak pas jika dipanggil
Mas.
“Yuk, kita ke atas. Kukenalkan dengan
keluargaku.”
Kami naik ke lantai dua. Cukup ramai. Kusalami
satu per satu. Termasuk sepasang suami istri yang ditangannya masih membekas
inai melayu pertanda belum lama melangsungkan pernikahan. Ritual perkenalan
selesai. Setelah itu Budi P. Hatees pamit dengan keluarganya.
“Lho kenapa tidak gabung saja di sini?” tanya
salah seorang.
“Aku pengen mencari yang lebih khas.” Ucapnya
sambil tersenyum renyah, seraya mengajakku meninggalkan rombongan yang sudah
siap menyantap makan malam.
Yang lebih khas? Dan yang lebih khas di Pontianak dan
sangat khas, adalah kapuas. Sungai terpanjang. Yang punya banyak cerita.
Legenda, nilai-nilai tradisi, bahkan sampai polusi dan transportasi kayu
selundupan.
Membukukan
Pontianak
Cafe terapung itu bernama Pak We, dari jalan Imam Bonjol,
masuk lewat Gang Bansir II. Kendaraan cuma sampai ujung gang. Jalan aspal
terakhir. Setelah itu gertak (jembatan yang terbuat dari kayu). Tak jauh dari
ujung Gang Bansir II sebuah cafe yang cukup diminati “hang-outer” di Pontianak,
disitulah kemudian aku dan Budi P. Hatees duduk, memesan minuman, dan
bercakap-cakap perkara banyak hal.
“Bowo cerita banyak tentangmu.” Katanya mengawali
percakapan. Kalimat wajar yang keluar dari dua orang yang berkenalan lewat
perantara orang lain. Dan orang lain ini bernama Yatno Wibowo yang langsung di
telepon oleh tokoh kita kali ini.
“Halo Bowo, sekarang aku di Pontianak dan sedang
bersama Pay.” Loudspeaker di HP itu diaktifkan. Membuat aku juga dapat
mendengar apa yang dipercakapkan. Dua orang kawan ini bercanda sekadarnya. Budi
P Hatees juga mengatakan bahwa dirinya sekarang berada di pinggir Kapuas.
“Bilang sama Pay, suruh dia bikin forum menyambut
kedatangan seorang sastrawan.” Ucap Bowo sambil tertawa. Yang mendengar juga
tertawa. Termasuk aku, juga tertawa.
“Ini ada Pay, bicaralah kau padanya.” HP
diberikan kepadaku.
“Halo Pak Bowo,” sapaku. Kemudian kami saling
bertanya kabar. Kabar yang disertai dengan kerinduan. Kapan-kapan mampirlah ke
Lampung, kata Bowo. Kapan-kapan datanglah ke Pontianak, jawabku. Lalu kami bercanda.
Pembicaraan tidak berlangsung lama. Kembali HP kuserahkan kepada yang punya.
Off. Dan aku dan Budi kembali bercakap-cakap.
“Perkenalan yang dahsyat dan berharga.” Gumamku
dalam hati. Aku merasa perlu menggumamkan kalimat tersebut bukan karena lelaki
yang kuhadapi sekarang adalah salah satu Sastrawan negara ini. Sementara aku
cuma seorang pemula didunia tulis menulis dan berniat untuk tetap setia dengan
dunia ini sampai kapanpun. Bukan pula karena beliau redaktur yang pernah
meloloskan puisi yang kutulis hingga akhirnya bisa terbit di koran tempat dia
bekerja waktu itu. Bukan-bukan itu. Tapi setelah sekian lama, setelah kerinduan
akan “gesekan” dengan teman-teman seprofesi, peristiwa itu pada akhirnya
kembali terjadi di sini. Terlebih banyak hal yang kemudian menjadi pelajaran
berharga dariku yang keluar dari ucapan-ucapannya.
Cerita dimulai tentang lelaki bernama Yatno
Wibowo, yang menjadi “mak comblang” antara kami ketika dia memutuskan pergi
dari Jogja. Menurut Budi, ketika Bowo tiba di Lampung, dia menjadi kawan yang
begitu akrab. Kegiatan-kegiatan tentang kebudayaan dan pergerakan banyak
terselenggara berkat tangan mereka berdua, tentunya juga ada tangan-tangan
lain, dan salah satunya Udo Z Karzi yang saat ini bekerja sebagai jurnalis di
Pangkalan Bun. Di Lampung, persoalan politik sastra ataupun “pertempuran”
sastrawan tua-muda, “pertempuran” berbagai macam isme dalam sastra, sastrawan
jurusan koran-internet, dan polemik-polemik lain seperti yang biasa terjadi di
pulau Jawa dan entah kapan berakhir, ternyata juga terjadi.
“Yang jelas, apapun jenis “pertempuran” itu,
selama tetap membuat iklim berkreativitas berjalan dengan baik, rasanya
tidaklah masalah.” Katanya. Lelaki dari Tapanuli Selatan ini juga mengakatan
bahwa dirinya bersama teman-teman seperjuangan yang lain mendirikan Yayasan
yang consern bergerak di bidang kebudayaan. Selain itu, dalam bidang
jurnalistik dia juga mengelola “Bengkel Jurnalistik” yang memotivasi anak-anak
muda Lampung dalam bidang kepenulisan fakta. Dan bengkel ini berjalan dengan
efektif. Tidak hanya di segmen kawula muda, kesadaran masyarakat Lampung akan
dunia baca tulis, membuat provinsi dimana gunung krakatau itu bersemayam, tetap
memiliki identitas.
“Bahkan ada seorang guru BP yang bukunya sudah
diterbitkan Grasindo. Padahal guru itu hanya menuliskan kembali curhat para
murid yang ditanganinya.” Ucapan sastrawan satu ini membuatku semakin
menyadari, bahwa pekerjaan menulis adalah pekerjaan sederhana dan tidak perlu
proses yang bertele-tele.
“Tapi kenapa masyarakat kita masih banyak yang
enggan membaca, Bang?” tanyaku. Lelaki itu meraih bungkus Dji Sam Soe.
Memandang ke tengah sungai sebentar, menyelipkan kretek di celah bibirnya,
menyalakan api, menarik pelan asapnya, lalu menghembuskannya kembali keluar
juga secara perlahan. Sambil bersandar di pagar pembatas cafe apung, kembali
Budi P Hatees melanjutkan ceritanya.
Masalahnya adalah image tentang bahan bacaan di
Indonesia yang masih belum bisa diterima masyarakat banyak. Buku dianggap
sebagai barang mahal yang hanya layak dikonsumsi oleh orang-orang berkelas.
Buku juga dianggap tidak merakyat. Belum lagi penguasa negara ini tidak senang
jika rakyat menjadi cerdas. Diperparah dengan permainan rekan-rekan penerbit
yang banyak merugikan penulis hanya gara-gara menomorsatukan sesuatu yang
bernama bisnis.
Padahal buku sama sekali tidak seperti itu. Di
dunia bagian barat, buku sudah menjadi kebutuhan pokok, karena kesadaran
masyarakatnya sudah benar-benar tumbuh yang menganggap bahwa buku merupakan
sumber pengetahuan yang menjadi jendela untuk memandang dunia yang lebih luas.
Sementara pembaca Indonesia, Budi P Hatees masih asik bercerita, ah, pembaca
Indonesia adalah pembaca yang aneh. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa
buku tak lebih dari media hiburan saja, bukan merupakan sumber pengetahuan. Tak
jauh berbeda dengan film. Coba kita liat, di Indonesia film “Beautiful Mind”
sebuah karya fiksi ilmiah kurang digemari masyarakat, padahal di film tersebut
banyak pengetahuan yang bisa dijadikan pelajaran berharga.
“Lalu bagaimana menyikapinya?”
Persoalannya hanya diurusan siasat. Bagaimana
menyiasati fenomena ini dengan bijak sehingga mampu mendorong masyarakat untuk
sadar akan betapa pentingnya membaca dan menulis. Kalau penerbit-penerbit besar
punya siasat sendiri memasarkan buku-bukunya yang meskipun dengan harga yang
mahal tetapi tetap ramai diminati, kita layak bersyukur sekarang di Jakarta,
terlebih di Jogja, sudah banyak penerbit-penerbit alternatif yang lebih
transparan dengan penulis, dan juga membuka toko-toko buku alternatif dengan
harga yang jauh lebih murah. Toko-toko buku itu bisa berada di trotoar, di
bawah pohon rindang, di pojokan kampus, di halte bis, ataupun dimana saja.
Sekarang juga sudah banyak diterbitkan buku-buku yang terkesan remeh temeh,
namun pada dasarnya sarat dengan berbagai pengetahuan. Salah satunya buku yang
ditulis guru BP di Lampung. Hanya dengan judul, misalnya “Bapakku Galak Sekali”
dan berisi curahan hati para siswa, buku itu memiliki angka penjualan yang
bagus.
“Bagaimana dengan aktivitasmu sendiri?” Kali ini
sastrawan yang menjadi juri Krakatau Award tahun 2006 bersama Isbedy Stiawan ZS
dan Acep ZamZam Noor tersebut giliran bertanya kepadaku.
Kuceritakan bahwa selama ini aku kesepian.
Beberapa kali memang terlibat perbincangan, formal maupun tidak formal, bersama
teman-teman penggiat sastra di Pontianak, tapi pembicaraan yang sering terjadi
jarang sekali merambah ke permasalahan mengupas karya. Kukatakan juga
kepadanya, bahwa aku sempat takut proses kreatifku akan berhenti karena jarang
“bergesek” dengan teman-teman penulis sastra (atau di Pontianak tidak ada
generasi penerus yang menggeluti sastra?). Untuk itu pulalah aku intens
memotivasi teman-teman remaja di daerah ini, setidaknya sekaligus memotivasi
diriku pribadi agar tetap dapat setia menekuni dunia tulis menulis. Jangankan
mengalami masalah polemik berkarya yang dulu waktu di Jogja sering kualami,
sekadar curhat tentang kualitas karya saja, di Pontianak jarang sekali terjadi.
Ya, aku merasa masih tetap optimis, dengan kemampuan ala kadarnya yang kumiliki
ini, karena sampai hari ini dikelilingi para remaja yang punya semangat yang
juga mempengaruhi semangatku. Berkarya sampai mati. Terlalu heroik ya? Ah,
tidak juga.
“Apa yang menjadi masalah sehingga iklim
kepenulisan di daerah ini tidak berjalan seperti yang diharapkan? Padahal
banyak sekali yang dapat ditulis di bumi borneo ini.” Pertanyaan itu sepertinya
serius ditujukan kepadaku. Tapi kujawab dengan nada becanda.
“Entahlah. Mungkin karena Kota ini bervisi pusat
dagang dan jasa. Bukan pusat kebudayaan yang abadi dari karya tulis.” Aku
tersenyum. Pertanda malu. Budi juga tersenyum entah apa tandanya.
Ya, banyak yang bisa ditulis di Pontianak dan
tentang Pontianak. Apa saja. Kembali Budi P. Hatees bercerita. Kenapa
masyarakat suatu daerah memiliki kesadaran membaca yang rendah, salah satu
penyebabnya dikarenakan mereka jarang menemukan bahan-bahan bacaan yang
berkaitan langsung dengan daerahnya. Lelaki dengan rokok Dji Sam Soe itu
menceritakan tentang apa yang dilakukannya di Lampung bersama teman-teman
lainnya.
“Kita bertekad menjadikan Lampung itu sebagai lautan buku,
atau bahasa lainnya adalah membukukan Lampung.” Katanya melanjutkan.
Setiap lini kehidupan masyarakat Lampung bisa
dituliskan dalam bentuk buku. Dan tentunya sarat dengan pengetahuan dan secara
otomatis membuat masyarakat Lampung sendiri tertarik untuk membacanya. Kearifan
lokal adalah sesuatu yang tidak pernah habis untuk dituliskan. Mulai dari
tradisi masyarakat adat, keberadaan pendatang, kekayaan alam, kebijakan
pemerintah, modernisasi, pendidikan, apapun. Di sini pencerahan itu pelan-pelan
akan terjadi. Dan seluruh segmen juga harus disentuh. Hingga ke wilayah
kekuasaan.
Budi menceritakan bahwa kawan kami, si mak comblang, Bowo,
pada akhirnya memutuskan untuk terjun langsung ke dunia politik praktis, karena
dia berpendapat bahwa hanya kekuasaan yang benar yang mampu merubah persepsi
masyarakat tentang konteks kebudayaan yang benar. Bukan kebudayaan yang sering
dikebiri banyak pihak. Tentu saja tak seorang pun berhak mencegah apa yang
telah diputuskan Bowo. Itu hak setiap orang, meski kita sama-sama tau bahwa
dunia politik di negara ini penuh dengan kebusukan, tapi tentu saja aku ikut
mendoakan keputusan Bowo untuk menggeluti dunia politik adalah keputusan yang
mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Di Jogja, entah berapa tahun lalu, aku pernah
bertanya kepada Bowo, ingin menjadi apa dirinya suatu hari nanti.
“Manusia ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.
Begitulah diriku suatu hari kelak.” Sungguh jawaban yang cukup diplomatis dari
seorang penggiat kebudayaan sekaligus aktivis pergerakan.
Budi melanjutkan ceritanya perihal membukukan
Lampung. Bersama Bowo, dirinya mengaku pernah menangani tiga orang calon Bupati
di daerah berbeda. Dengan biaya kampanye yang cukup murah namun sangat efektif.
“Berapa biaya kampanye yang Bapak perlukan?”
“Sekian ratus juta.” Jawab si calon Bupati.
“Cukup separuhnya saja, kita bisa membuat Bapak
jauh lebih populer bahkan memenangkan pertarungan dalam pilkada.”
Dan separuh dari biaya kampanye yang dimaksudkan
tersebut tak lain dan tak bukan digunakan untuk menuliskan beberapa judul buku.
Tidak membeli halaman di media massa untuk dipajang foto-foto dengan senyum
yang kaku, melainkan menuliskan artikel untuk terbit di beberapa rubrik yang
tersedia. Dan itu sangat murah. Bahkan nyaris tanpa biaya. Artikel-artikel yang
kemudian tersebar di berbagai koran ini kemudian dikumpulkan dan terbit menjadi
buku. Sekali lagi. Cukup murah. Dan berdampak perubahan image di masyarakat
bahwa si calon adalah tokoh yang cerdas. Dan buku yang yang dihasilkan cukup
riil sebagai media pencerdasan. Jauh lebih efektif daripada sekadar memajang
baliho besar-besar, spanduk, bendera, umbul-umbul, dengan beraneka rupa dan
warna yang lebih sering mengganggu kenyamanan pengguna jalan.
“Dan terbukti tiga calon yang kita tangani itu,
pada akhirnya meraih kemenangan.” Ucap Budi P. Hatees.
Seketika isi kepalaku melayang ke pinggir-pinggir
jalan di Kota Pontianak yang semakin hari semakin sesak dipenuhi dengan
gambar-gambar tokoh dengan senyum yang terlihat kaku. Ya, sangat kaku.
Berlomba-lomba memamerkan diri dengan berupa-rupa desain yang bukannya malah
memperindah, tetapi bikin sepet mata yang memandang. Seketika isi kepalaku
melayang-layang ke slogan-slogan yang terpajang di berbagai warna spanduk yang
bukannya membuat simpati, malahan sebaliknya. Bisa jadi pesimisme sedang
berlangsung di kepalaku dalam rangka agenda pemilihan kepala daerah yang akan
berlangsung di kota ini. Namun bukan berarti harapan untuk menjadikan
masyarakat Pontianak jauh lebih cerdas juga ikut-ikutan hilang. Sama sekali
tidak.
“Apa yang harus kulakukan di Kota Pontianak ini
dengan kondisi yang seperti ini?” Tanyaku.
“Apa lagi kalau bukan membukukan Pontianak?”
Singkat jawabannya. Namun cukup dalam menikam dada.
Aku percaya bahwa daerah ini adalah daerah yang
kaya. Kapuas, hutan, keberagaman masyarakatnya, banyak hal yang bisa abadi
dalam buku. Dan hal itu jika benar-benar terjadi, tanpa dipaksa pun, dengan
sendirinya akan membangkitkan gairah masyarakat untuk membaca. Persoalan
masyarakat adat yang terpinggirkan, adalah persoalan yang paling banyak
diminati. Bukan berarti masyarakat pinggiran ini harus dieksploitasi dengan
berbagai kepentingan seperti yang sering dilakukan banyak penguasa di berbagai
sudut negara ini, melainkan dengan membukukan saudara-saudara kita yang
terpinggirkan akan membuat banyak kalangan kemudian menjadi sadar bahwa
keberagaman, tradisi, kearifan lokal, adalah hal yang mutlak dipertahankan.
“Membukukan Pontianak. Bukan hal yang rumit. Ya.
Mencerdaskan masyarakat di daerah ini jauh lebih simple dari pada berpikir ke
kotak mana harus memindahkan raja, ketika di skak oleh kuda yang dikepung
pion-pion catur.” Demikian aku membatin.
Budi P. Hatees terus bercerita banyak hal. Tapi
perkara “Membukukan Pontianak” adalah perkara yang paling membekas dalam dada.
Sangat membekas.
Sastrawan nasional yang baru saja menghadiri
pernikahan adiknya di Kabupaten Sanggau ini juga sempat menanyakan beberapa
nama sastrawan dari daerah ini. Kusebutkan beberapa nama yang kuketahui. Jujur,
aku tidak tau banyak tentang perkembangan sejarah sastra di borneo barat ini.
Entah apakah aku yang malas mencari tau, atau tidak ada yang memberi tau secara
mendetil, atau tidak ada dokumen otentik yang dapat diakses dengan mudah
perkara sejarah kesusastraan Kalimantan Barat. Tidak bermaksud menyalahkan
generasi-generasi sastra terdahulu, tapi persoalan regenerasi sastra di daerah
ini adalah persoalan yang perlu disikapi dengan serius. Kalau tidak, bukan
mustahil anak-anak baru yang lahir dan dibesarkan di Kalbar sama sekali tidak
mengenal kakek neneknya yang telah mengabadikan buah pemikiran dalam bentuk
tulisan yang berpengaruh pada perkembangan moral masyarakatnya.
Kuceritakan kepada Budi bahwa semenjak Odhy’s dan
Yudhiswara sudah meninggal, hampir pasti bahwa Kalbar kehilangan kritikus
sastra yang menjembatani karya dengan masyarakatnya.
“Apa, Odhy’s dan Yudhiswara sudah meninggal?”
Pertanyaan itu menggambarkan rasa keterkejutan.
“Ya, sudah meninggal.” Jawabku.
Mantan redaktur di Lampung Post ini mengaku
mengenal dua orang sastrawan yang telah menjadi almarhum dan sempat
mengharumkan nama Kalbar di kancah sastra nasional bahkan internasional.
Kemudian lelaki ini bercerita bahwa proses kreatif Odhy’s dalam dunia sastra
nasional dimulai pada era 80-an. Waktu itu karyanya dimuat di majalah Swadesi.
Budi P. Hatees juga menceritakan tentang nama-nama sastrawan lainnya seperti
Yudhiswara dan Yusak Ananda yang karya-karyanya juga diperhitungkan oleh para
sastrawan nasional.
“Bahkan untuk Pak Yusak, atas nama Forum Lingkar
Pena (FLP), kita pernah mempersembahkan (menerbitkan) buku untuk beliau yang
penjualannya diserahkan langsung kepada Yusak Ananda. Kira-kira waktu itu tahun
2003, aku lupa persisnya. Yang jelas, kabarnya penjualan buku tersebut cukup
baik di Kalimantan Barat?”
“Apa?” Kalimat itu tidak kuucapkan. Hanya
kugumamkan dalam hati. Aku terkejut sekaligus malu mendengar penjelasan
darinya. Terkejut, karena selama ini aku memang belum tau. Malu, karena hal itu
kuketahui dari orang Sumatra yang berdomisli di Sumatra dan mengaku baru
pertama kali menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Sementara para sastrawan
Kalbar sendiri? Mungkin saja cerita ini sudah diketahui banyak orang, tapi
sangat mungkin juga cerita ini hanya mengalir dari warung kopi satu ke warung
kopi yang lain. Lalu menguap begitu saja seperti nikotin yang telah menjelma
asap dan mengepul dari mulut lalu hilang bersama udara malam. Ya, semenjak
meninggalnya Odhy’s dan Yudhiswara, belum pernah aku membaca buku yang ditulis
oleh orang Kalbar mengenai biografi sastrawan penting daerah ini.
Untuk pak Yusak Ananda, aku masih bisa menghirup
nafas lega, karena belum lama teman-teman praktisi sastra bersama Balai Bahasa
Kalimantan Barat memberikan anugrah sastra kepada beliau. Penghargaan yang
banyak mendapatkan riuh tepuk tangan pada waktu itu. Dengan jumlah nominal uang
yang lumayan besar. Tapi kemudian aku berpikir, bahwa penghargaan dengan
nominal uang yang cukup besar itu tak lama lagi akan menguap begitu saja,
digantikan oleh cerita-cerita baru mengenai perkembangan generasi penerus di
Pontianak yang sudah mulai lupa dengan identitasnya.
Seandainya saja, penghargaan dengan simbol uang
itu juga diiringi dengan upaya mengumpulkan kembali karya-karya pak Yusak yang
tercecer di banyak tempat, lalu menerbitkannya kembali ke dalam bentuk buku dan
sampai di bangku-bangku sekolah dan dibaca siswa-siswi yang berpendidikan di
Kalimantan Barat. Akan muncul kebanggaan tersendiri dari anak-anak asli tanah
ini, jauh lebih bangga ketimbang berhasil mendeklamasikan puisi
“Kerawang-Bekasi” Chairil Anwar yang sama sekali mereka tak tau dari mana asal
usulnya. Bukan berarti Chairil Anwar tidak penting diperkenalkan kepada siswa
sejak dini, sebab bagaimanapun juga si “binatang jalang” itu adalah tonggak
sejarah perkembangan sastra di negara ini. Namun, akan jauh lebih berharga jika
orang-orang seperti Yusak Ananda, Odhy’s, Yudhiswara, Munawar Kalahan, dan
nama-nama lainnya di Kalimantan Barat ini juga dapat tempat di hati para siswa.
Mereka akan jauh lebih bergairah dengan dunia membaca, dan jauh lebih berhasrat
untuk mengikuti jejak penerusnya sebagai penulis. Dan secara otomatis akan
membuat kualitas manusia di daerah ini jauh lebih berkembang. Dan pada dasarnya
hal itu dapat dilakukan dengan mudah dengan biaya yang cukup murah! Penulisan
tanda seru di akhir kalimat barusan bukan tanpa disengaja.
Aku dan Bang Budi P. Hatees terus bercerita tentang banyak
hal. Sangat banyak. Hingga jarum di arloji yang berotasi pelan-pelan mengingatkan
bahwa malam sudah cukup larut. Langitpun kehilangan bintang-bintang.
Pelan-pelan juga tetes-tetes air jatuh. Barangkali juga mencoba mengingatkan.
Bahwa banyak hal yang harus dilakukan dikemudian hari daripada larut dalam
pembicaraan-pembicaraan. Ya, kami memutuskan untuk beranjak.
“Kapan-kapan kalau ada undangan dari Lampung
ataupun Medan, kau mau datang kan?” Tanya Budi P. Hatees kepadaku. Aku
mengangguk dan menanyakan hal yang sama
“Kapan-kapan kalau ada undangan dari Pontianak,
Abang kembali mau datang kan?”
“Aku akan sering ke sini. Tidak perlu diundang
pun, aku akan sering ke sini.” Jawabnya pasti. Padahal aku sama sekali tidak
bercerita tentang mitos air kapuas yang kalau diminum oleh siapapun, akan
membuat si peminum darimanapun dia berasal, tidak akan pernah melupakan kota
Khatulistiwa ini. Dan selama percakapan beberapa jam aku dengannya, tak
sedikitpun aku melihat dia meraup air sungai dengan telapak tangannya dan
memindahkan ke kerongkongannya. Ya, Budi P. Hatees tidak pernah meminum air kapuas,
setidaknya sepanjang pertemuanku dengannya dia tidak melakukan itu. Dia juga
tidak menanyakan tentang mitos air kapuas yang dipercaya banyak orang tersebut.
Kecuali mengomentari bahwa banyak sampah yang mengikuti arus dari hulu ke
hilir. Ah, sungai yang menjadi kebanggaan masyarakat daerah ini ternyata tak
segan memperlihatkan tubuh kotornya kepada pendatang sekalipun. Tapi kenapa
seorang sastrawan sekelas Budi P. Hatees mengaku akan sering berkunjung
kembali? Mungkin kalau kalimat itu diteruskannya, kira-kira berbunyi seperti
ini:
“Sebab banyak hal di Pontianak yang selama ini
luput, padahal penuh potensi jika ada yang menuliskannya dan mengabadikannya
dalam bentuk buku.”
Kuantar kembali sastrawan yang akan pulang ke
daerahnya keesokan harinya tersebut ke tempat mereka sekeluarga menginap.
Sebelum berpisah, kuhadiahi dia dengan tiga judul buku: Kumpulan Puisi 3
Merawat Kata, yang kutulis bersama 2 orang guru bahasa Indonesia di Kalimantan
Barat ini, Pontianak “teenager” Under Cover, dan buku kumpulan cerpen berjudul
Wanita Penjaga Api yang ditulis seorang kawan bernama Amrin Zuraidi Rawansyah.
“Senang bertemu denganmu Pay.” Katanya mengakhiri
pembicaraan
“Sangat senang sekali banget bertemu denganmu Bang,”
Kataku tapi tak didengar olehnya sebab kalimat itu kuucapkan saat motorku sudah
meluncur membelah jalan saat Pontianak terlihat begitu gelap.
***
Hari berjalan seperti biasanya. Pertemuan dengan
Budi P. Hatees malam tadi rasanya tak akan menjadi apa-apa jika hanya akan
menjadi sebuah kenangan. Bukankah Dorothea Rosa Herliany pernah bilang bahwa
kenangan adalah racun? Begitulah, sejak aku tidak mau larut dalam kenangan.
Sejak pagi aku kembali berebut kesibukan dengan orang-orang Pontianak yang
semakin sibuk. Kesibukanku hari ini masih sama dengan kesibukan di hari
kemarin. Berkeliling dari sekolah satu ke sekolah yang lain, mengantarkan
undangan peluncuran buku dan sarasehan pengajaran sastra yang akan dihelat
sabtu, 16 Agustus 2008 mendatang.
Dari pagi sampai siang. Sampai matahari melewati
puncak kepala. HP ku berbunyi
“Pay, terima kasih ya. Kami sekeluarga pamit
pulang.” Suara itu sangat kental dialek Bataknya. Ya, lelaki dari Tapanuli
Selatan yang mewarnai dunia baca tulis di Lampung yang mengucapkannya. Dia
bilang bahwa sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandara. Ucapan terima kasih
juga kusampaikan kepadanya.
“Terima kasih Bang. Kembali atau tidak dirimu di
tanah ini, akan banyak buku yang terbit. Akan banyak masyarakat yang sadar akan
pentingnya membaca dan menulis. Akan banyak perubahan yang jauh lebih
berkualitas ketimbang pembangunan fisik yang membuat orang melupakan
identitas.”
Begitulah kalimat yang tak terucap. Namun
mengakar menjadi niat dan tekad. Dahsyat dan berharga!
Pontianak, 12 Agustus 2008

No comments:
Post a Comment