Pengembara Muslim | writer - traveler - coffee drinker

catatan perjalanan dari seseorang yang telah menyerahkan hidupnya untuk Islam

  • Home
  • Buku Saya
  • Works
  • Features
  • Tentang Saya

PERTEMUAN SINGKAT DENGAN BUDI P. HATEES

Pay Jarot Sujarwo Monday, 10 February 2014 No Comments
Sungai kapuas punye cerite
Bile kite minom aeknye
Biarpon pegi jaoh kemane
Sunggoh susah nak melupekannye

(Salah satu bait Lagu Air Kapuas, Ciptaan Paul Putra)Kapuas. Itu nama sungai terpanjang di Indonesia. Sungai yang sarat dengan sejarah. Fakta maupun legenda. Banyak juga cerita. Pemukiman. Nilai tradisi melayu. Sarana transportasi penyelundupan kayu. Rupa-rupa polusi air. Meriam karbit di malam lebaran. Tempat para muslim dan muslimah mengambil wudhu. Kapuas. Itu nama sungai terpanjang di Indonesia. Setiap orang berhak menjadikan sungai kapuas sebagai cerita tersendiri dalam hidupnya. Ya. Setiap orang. Termasuk aku. Tempat dimana aku kecil kerap menceburkan diri bersama bocah-bocah melayu telanjang lainnya. Tempat dimana aku kecil rela layanganku putus dan jatuh ke sana. Tempat di mana aku remaja menuliskan sajak-sajak cinta. Tempat dimana akhir-akhir ini aku sering mengecipakkan kaki telanjang ke airnya sambil menunggu makanan maupun minuman yang kupesan di salah satu cafe terapung. 

“Kau sering ke sini?” lelaki itu bertanya kepadaku.


“Cukup sering.” Kujuga menjelaskan kepadanya kalau malam minggu cafe terapung ini ramai dikunjungi remaja-remaja Pontianak. Kukatakan juga bahwa cafe ini adalah salah satu tempat yang paling sering kugunakan untuk mewawancarai beberapa remaja Pontianak yang pada akhirnya melahirkan buku Pontianak “teenager” Under Cover. 

“Tempat yang cukup inspiratif.” Katanya setelah melihat sekeliling, menerawang jauh ke tengah sungai yang gelap, kemudian duduk menyandar di kayu yang memagari cafe yang didesain menyerupai kapal. Bukan menyerupai. Tapi memang kapal yang pada akhirnya didesain menjadi cafe. 

“Ini adalah kali pertama aku ke Kalimantan. Dan ketika kau ajak ke sini, seketika aku teringat Palembang.” Ucap lelaki itu lagi.

Lelaki itu. Dari mana aku harus memulai cerita ini? Kronologisnya begini kira-kira:

Waktu itu pertengahan Juli 2008. Aku sedang berada di Singkawang. Sedang berkeliling dari sekolah satu ke sekolah lainnya, meneruskan program yang akan terus berjalan, menggagas masyarakat Kalimantan Barat cerdas yang dimulai dari kegemaran membaca dan menulis sejak dini. Dan segmen yang kupilih adalah remaja. Ya, aku punya program yang tidak akan berakhir yakni Kampanye Baca Tulis bagi remaja Kalimantan Barat. Dan waktu itu, untuk sekian kalinya aku mampir ke kota seribu klenteng, Singkawang.

Di sebuah warnet di ujung jalan Diponegoro Singkawang, aku membaca sebuah offline message di box Yahoo Messager (YM), “Kawan, aku tahu alamat e-mailmu dari Yatno Wibowo.” Cuma itu yang tertulis. Tapi cukup lama kuperhatikan teks sebaris tersebut. Sebelumnya, kuceritakan dulu perihal nama yang disebutkan dalam pesan singkat itu. Yatno Wibowo, adalah seorang kawan yang mengajarkanku banyak hal ketika kami sama-sama masih di Jogja. Aktivis pergerakan. Sering menjadi jendral dalam banyak demonstrasi. Juga seorang aktivis Kebudayaan. Juga seorang penyair. Juga seorang Abang yang cukup bijak ketika berteriak-teriak di forum diskusi. Aku sempat satu rumah dengannya beberapa waktu. Tepatnya, aku menumpang dan akhirnya nge-kos di markas tempat Bowo dan kawan-kawan lain berkumpul. Markas Solidaritas Buruh. Markas Forum Kebudayaan Rakyat Yogyakarta. 

Yatno Wibowo adalah keturunan Jawa yang berasal dari Lampung. Tahun 2004 kami sama-sama meninggalkan Jogja. Dia pulang ke Lampung, aku bertolak ke Jakarta. Sejak itu kami jarang komunikasi. Hingga suatu hari (Desember 2004), Bowo, sapaan akrabnya, mengirimiku sebuah SMS. “Kawan, puisimu terbit di Lampung Post.” Aku percaya dengan SMS nya itu, sebab kira-kira dua minggu sebelumnya aku memang mengirimkan beberapa judul puisiku ke alamat email salah seorang redaktur di Lampung Post, Budi P. Hatees, setelah mendapatkan alamatnya dari Mas Teguh Winarsho AS. Kubalas SMS dari Bowo yang isinya meminta kliping koran yang memuat puisiku tersebut dikirim ke Jakarta.

Perihal pemuatan puisiku di Lampung Post, aku sama sekali tidak pernah menduga sebelumnya. Apalagi, bukan rahasia lagi, cukup sulit untuk menembus karya-karya yang kita tulis ke koran-koran berkualitas. Bahkan ada pemeo yang mengatakan bahwa, kalau tidak kenal dengan sang redaktur (baca, eksekutor), jangan harap tulisan kita bisa terbit. Dan Lampung Post adalah koran yang terbukti telah melahirkan banyak sastrawan nasional. Dan aku sama sekali belum pernah mengenal sang eksekutor, yang dari mas Teguh Winarsho AS, cerpenis muda asal Jogjakarta yang namanya mencuat di langit sastra Jakarta sekitar tahun 2003-2005, kuketahui bernama Budi P Hatees. Tentu saja penggila sastra di Indonesia tidak asing dengan nama yang terakhir kusebutkan. Lelaki kelahiran Tapanuli Selatan tahun 1972 ini sejak awal 90-an sudah malang melintang di dunia sastra dan Jurnalistik di Jakarta. Karya-karyanya pun termasuk karya-karya yang tidak bisa diremehkan. Bahkan sewaktu baru-baru belajar menulis di Jogja, nama Budi P Hatees adalah salah satu nama sastrawan yang masuk dalam daftar yang menginspirasi diriku.

Begitulah, sastrawan yang sekaligus menjabat sebagai Redaktur Sastra Lampung Post di tahun 2004 akhirnya memutuskan untuk menerbitkan puisi yang kukirim. Tanpa prosesi KKN seperti yang sudah lumrah terjadi.


2005 ku pulang ke Pontianak. Dan tetap bersyukur karena sampai hari ini masih beraktivitas sastra di tanah tempat ari-ari terpendam ini. Meski ku akui betapa aku rindu gesekan-gesekan dengan kawan-kawan lama. Betapa aku rindu bermalam-malam memilih diksi terbaik dan pada akhirnya dibantai habis-habisan dalam pengadilan puisi antar teman-teman dekat di bawah bulan purnama. Kembali aku harus tetap bersyukur, bahwa meski minim bergesek dengan para penggiat sastra di Kalbar, aku masih bisa akrab dengan para remaja di daerah ini untuk sekadar memotivasi mereka supaya mengakrabi dunia baca tulis. Sampai hari ini dan semoga sampai kapanpun.



Masih di dalam warnet ujung jalan Diponegoro Singkawang, aku punya alasan kenapa memperhatikan cukup lama kalimat singkat yang tertera di offline message YM milikku. Tak lain dan tak bukan karena pesan itu dikirimkan oleh seorang lelaki bernama Budi P Hatees. “Kawan, aku tau alamat emailmu dari Y. Wibowo (Budi P Hatees)” Begitu kalimat lengkap yang kubaca. Tapi tak perlulah memperpanjang waktu untuk merenungi pesan itu. Sampai kapanpun juga kalimat itu tetap tidak akan berubah. Cuma aku tidak habis pikir, kenapa pesan itu bisa sampai kepadaku. 



Kubalas pesan itu, kutanyakan kabarnya, apakah masih di Lampung Post, aku juga menyertakan nomor HP dan alamat blogku. Keesokan harinya kembali aku ke warnet. Ya, internet sudah menjadi salah satu kebutuhan dalam hidupku. Dan kupikir dia akan membalas kembali pesanku. Misalnya dengan memberi tahu kenapa tiba-tiba dia mengirimiku pesan. Tapi tak ada balasan. Keesokan harinya, juga tak ada balasan. Esoknya lagi, kembali tak berbalas. Ah, sudahlah. Pikirku. Barangkali waktu itu dia sedang mengigau tentang Pontianak dan igauannya itu diceritakannya kepada Bowo dan Bowo memberitahu alamat emailku. Toh, aku sudah meninggalkan nomor HP, jika Budi P Hatees ternyata tidak mengigau dan ingin menghubungiku kembali.



Awal Agustus, dari Singkawang aku kembali meluncur ke Pontianak. Kepada kawan-kawan, aku sempat bilang bahwa aku akan lama di Singkawang karena harus menyelesaikan novel yang sedang kutulis menyoal masyarakat Tionghoa di Singkawang. Tapi aku harus pulang sebentar ke Pontianak, karena harus mempersiapkan peluncuran buku terbaru Pijar Publishing, antologi puisi 3 Merawat Kata yang ditulis bersama: aku, Bruder Gerardus Weruin, dan Nano Basuki. Persiapan teknis pun kulakukan. Karena aku tidak punya waktu banyak, jadi terkesan agak buru-buru. Mencari tempat peluncuran buku, loby narasumber, sebar undangan, dan perkara teknis lainnya.



Hingga suatu hari, ketika siang di garis khatulistiwa terasa begitu panas, sebuah pesan singkat masuk di HP ku, “Kawan, aku di kotamu (Budi P Hatees),” What? Apa pulak ini? Setelah tak ada kabar lanjutan pasca offline message di YM, sekarang dia kembali mengirimiku pesan dan mengatakan bahwa sedang berada di Pontianak. Tentu saja aku terkejut. Kuingat-ingat kembali, apakah ada agenda sastra di Pontianak yang menghadirkan salah satu pembicara nasional bernama Budi P Hatees? Aku yakin tidak ada. Apakah teman-teman pers di Pontianak mengundang Budi P Hatees dalam salah satu acara? Juga tidak ada. Meskipun sering lupa menyimpan kunci motor, tapi aku berani memastikan bahwa ingatanku masih normal. Terus? Tak mau dirundung penasaran, ku telpon nomor yang mengirimiku pesan tersebut.



“Halo Pay. Aku di Pontianak sekarang.” Lelaki yang belum pernah kukenal sebelumnya itu memiliki suara yang cukup berat. Dialek Bataknya begitu kental. 



“Posisinya sekarang dimana, Bang?” tanyaku.



“Baru sampai, sekarang masih di Bandara.”



“Berapa lama di Pontianak.”



“Sekitar seminggu.”



“Mampirlah Bang, rumahku dekat bandara.”



“Habis ini aku langsung meluncur ke Sanggau.”



“Dalam rangka apa, Bang?”



”Adikku dapat orang Sanggau, dan dia akan menikah di sana.”



Ya, ampun. Akhirnya aku tau alasannya kenapa ada pesan di YM beberapa waktu lalu. Tak ada sangkut pautnya dengan agenda sastra rupanya. Sama sekali pikiranku meleset. Pembicaraan berakhir, namun sempat kutawarkan untuk ngopi bareng jika ada waktu suatu hari nanti. Tawaran itu disetujui.



Empat hari berselang. Kembali sastrawan Lampung sekaligus salah satu sastrawan Indonesia tersebut menelponku. 



“Pay, besok kami sekeluarga ke Pontianak. Ku bisa minta tolong carikan hotel? Tiga kamar. Yang standar saja.”



Kusanggupi permintaannya. Dan juga ada kesepakatan bahwa kita akan bertemu ketika nanti dari Sanggau, dia sampai di Pontianak. Dan kesepakatan itu terjadi. Kujemput Budi P. Hatees di tempatnya menginap, Wisma Nusantara. Sehari sebelumnya, aku menulis pesan kepada Udo Z Karzi, sastrawan Lampung lainnya yang saat ini bekerja sebagai jurnalis di salah satu media massa di Pangkalan Bun. Kukatakan bahwa Budi P. Hatees di Pontianak. Kapan Bang Udo menyusul? Dibalas, suatu hari dia juga akan ke Pontianak. Sampai di Wisma Nusantara, kutelpon sang sastrawan. Mungkin karena kelamaan menunggu, sementara mereka sekeluarga sudah tak kuat menahan lapar, beranjak menuju tempat makan. Dan yang dituju adalah Tapaz Resto, di istana buah jalan Gajah Mada. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, kurang dari lima menit aku sampai di Istana Buah. Di sinilah pertemuan itu terjadi. Kami saling tatap. Kami saling jabat. Kupanggil dia Abang. Karena selain usianya jauh lebih tua, dia juga lelaki dari Sumatra lebih tepatnya memiliki nenek moyang orang Batak yang sama sekali tidak pas jika dipanggil Mas.



“Yuk, kita ke atas. Kukenalkan dengan keluargaku.”



Kami naik ke lantai dua. Cukup ramai. Kusalami satu per satu. Termasuk sepasang suami istri yang ditangannya masih membekas inai melayu pertanda belum lama melangsungkan pernikahan. Ritual perkenalan selesai. Setelah itu Budi P. Hatees pamit dengan keluarganya.



“Lho kenapa tidak gabung saja di sini?” tanya salah seorang.



“Aku pengen mencari yang lebih khas.” Ucapnya sambil tersenyum renyah, seraya mengajakku meninggalkan rombongan yang sudah siap menyantap makan malam.

Yang lebih khas? Dan yang lebih khas di Pontianak dan sangat khas, adalah kapuas. Sungai terpanjang. Yang punya banyak cerita. Legenda, nilai-nilai tradisi, bahkan sampai polusi dan transportasi kayu selundupan.

Membukukan Pontianak

Cafe terapung itu bernama Pak We, dari jalan Imam Bonjol, masuk lewat Gang Bansir II. Kendaraan cuma sampai ujung gang. Jalan aspal terakhir. Setelah itu gertak (jembatan yang terbuat dari kayu). Tak jauh dari ujung Gang Bansir II sebuah cafe yang cukup diminati “hang-outer” di Pontianak, disitulah kemudian aku dan Budi P. Hatees duduk, memesan minuman, dan bercakap-cakap perkara banyak hal.


“Bowo cerita banyak tentangmu.” Katanya mengawali percakapan. Kalimat wajar yang keluar dari dua orang yang berkenalan lewat perantara orang lain. Dan orang lain ini bernama Yatno Wibowo yang langsung di telepon oleh tokoh kita kali ini.



“Halo Bowo, sekarang aku di Pontianak dan sedang bersama Pay.” Loudspeaker di HP itu diaktifkan. Membuat aku juga dapat mendengar apa yang dipercakapkan. Dua orang kawan ini bercanda sekadarnya. Budi P Hatees juga mengatakan bahwa dirinya sekarang berada di pinggir Kapuas. 



“Bilang sama Pay, suruh dia bikin forum menyambut kedatangan seorang sastrawan.” Ucap Bowo sambil tertawa. Yang mendengar juga tertawa. Termasuk aku, juga tertawa.



“Ini ada Pay, bicaralah kau padanya.” HP diberikan kepadaku.



“Halo Pak Bowo,” sapaku. Kemudian kami saling bertanya kabar. Kabar yang disertai dengan kerinduan. Kapan-kapan mampirlah ke Lampung, kata Bowo. Kapan-kapan datanglah ke Pontianak, jawabku. Lalu kami bercanda. Pembicaraan tidak berlangsung lama. Kembali HP kuserahkan kepada yang punya. Off. Dan aku dan Budi kembali bercakap-cakap.



“Perkenalan yang dahsyat dan berharga.” Gumamku dalam hati. Aku merasa perlu menggumamkan kalimat tersebut bukan karena lelaki yang kuhadapi sekarang adalah salah satu Sastrawan negara ini. Sementara aku cuma seorang pemula didunia tulis menulis dan berniat untuk tetap setia dengan dunia ini sampai kapanpun. Bukan pula karena beliau redaktur yang pernah meloloskan puisi yang kutulis hingga akhirnya bisa terbit di koran tempat dia bekerja waktu itu. Bukan-bukan itu. Tapi setelah sekian lama, setelah kerinduan akan “gesekan” dengan teman-teman seprofesi, peristiwa itu pada akhirnya kembali terjadi di sini. Terlebih banyak hal yang kemudian menjadi pelajaran berharga dariku yang keluar dari ucapan-ucapannya. 



Cerita dimulai tentang lelaki bernama Yatno Wibowo, yang menjadi “mak comblang” antara kami ketika dia memutuskan pergi dari Jogja. Menurut Budi, ketika Bowo tiba di Lampung, dia menjadi kawan yang begitu akrab. Kegiatan-kegiatan tentang kebudayaan dan pergerakan banyak terselenggara berkat tangan mereka berdua, tentunya juga ada tangan-tangan lain, dan salah satunya Udo Z Karzi yang saat ini bekerja sebagai jurnalis di Pangkalan Bun. Di Lampung, persoalan politik sastra ataupun “pertempuran” sastrawan tua-muda, “pertempuran” berbagai macam isme dalam sastra, sastrawan jurusan koran-internet, dan polemik-polemik lain seperti yang biasa terjadi di pulau Jawa dan entah kapan berakhir, ternyata juga terjadi. 



“Yang jelas, apapun jenis “pertempuran” itu, selama tetap membuat iklim berkreativitas berjalan dengan baik, rasanya tidaklah masalah.” Katanya. Lelaki dari Tapanuli Selatan ini juga mengakatan bahwa dirinya bersama teman-teman seperjuangan yang lain mendirikan Yayasan yang consern bergerak di bidang kebudayaan. Selain itu, dalam bidang jurnalistik dia juga mengelola “Bengkel Jurnalistik” yang memotivasi anak-anak muda Lampung dalam bidang kepenulisan fakta. Dan bengkel ini berjalan dengan efektif. Tidak hanya di segmen kawula muda, kesadaran masyarakat Lampung akan dunia baca tulis, membuat provinsi dimana gunung krakatau itu bersemayam, tetap memiliki identitas.



“Bahkan ada seorang guru BP yang bukunya sudah diterbitkan Grasindo. Padahal guru itu hanya menuliskan kembali curhat para murid yang ditanganinya.” Ucapan sastrawan satu ini membuatku semakin menyadari, bahwa pekerjaan menulis adalah pekerjaan sederhana dan tidak perlu proses yang bertele-tele.



“Tapi kenapa masyarakat kita masih banyak yang enggan membaca, Bang?” tanyaku. Lelaki itu meraih bungkus Dji Sam Soe. Memandang ke tengah sungai sebentar, menyelipkan kretek di celah bibirnya, menyalakan api, menarik pelan asapnya, lalu menghembuskannya kembali keluar juga secara perlahan. Sambil bersandar di pagar pembatas cafe apung, kembali Budi P Hatees melanjutkan ceritanya.



Masalahnya adalah image tentang bahan bacaan di Indonesia yang masih belum bisa diterima masyarakat banyak. Buku dianggap sebagai barang mahal yang hanya layak dikonsumsi oleh orang-orang berkelas. Buku juga dianggap tidak merakyat. Belum lagi penguasa negara ini tidak senang jika rakyat menjadi cerdas. Diperparah dengan permainan rekan-rekan penerbit yang banyak merugikan penulis hanya gara-gara menomorsatukan sesuatu yang bernama bisnis.



Padahal buku sama sekali tidak seperti itu. Di dunia bagian barat, buku sudah menjadi kebutuhan pokok, karena kesadaran masyarakatnya sudah benar-benar tumbuh yang menganggap bahwa buku merupakan sumber pengetahuan yang menjadi jendela untuk memandang dunia yang lebih luas. Sementara pembaca Indonesia, Budi P Hatees masih asik bercerita, ah, pembaca Indonesia adalah pembaca yang aneh. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa buku tak lebih dari media hiburan saja, bukan merupakan sumber pengetahuan. Tak jauh berbeda dengan film. Coba kita liat, di Indonesia film “Beautiful Mind” sebuah karya fiksi ilmiah kurang digemari masyarakat, padahal di film tersebut banyak pengetahuan yang bisa dijadikan pelajaran berharga. 



“Lalu bagaimana menyikapinya?”



Persoalannya hanya diurusan siasat. Bagaimana menyiasati fenomena ini dengan bijak sehingga mampu mendorong masyarakat untuk sadar akan betapa pentingnya membaca dan menulis. Kalau penerbit-penerbit besar punya siasat sendiri memasarkan buku-bukunya yang meskipun dengan harga yang mahal tetapi tetap ramai diminati, kita layak bersyukur sekarang di Jakarta, terlebih di Jogja, sudah banyak penerbit-penerbit alternatif yang lebih transparan dengan penulis, dan juga membuka toko-toko buku alternatif dengan harga yang jauh lebih murah. Toko-toko buku itu bisa berada di trotoar, di bawah pohon rindang, di pojokan kampus, di halte bis, ataupun dimana saja. Sekarang juga sudah banyak diterbitkan buku-buku yang terkesan remeh temeh, namun pada dasarnya sarat dengan berbagai pengetahuan. Salah satunya buku yang ditulis guru BP di Lampung. Hanya dengan judul, misalnya “Bapakku Galak Sekali” dan berisi curahan hati para siswa, buku itu memiliki angka penjualan yang bagus.



“Bagaimana dengan aktivitasmu sendiri?” Kali ini sastrawan yang menjadi juri Krakatau Award tahun 2006 bersama Isbedy Stiawan ZS dan Acep ZamZam Noor tersebut giliran bertanya kepadaku.



Kuceritakan bahwa selama ini aku kesepian. Beberapa kali memang terlibat perbincangan, formal maupun tidak formal, bersama teman-teman penggiat sastra di Pontianak, tapi pembicaraan yang sering terjadi jarang sekali merambah ke permasalahan mengupas karya. Kukatakan juga kepadanya, bahwa aku sempat takut proses kreatifku akan berhenti karena jarang “bergesek” dengan teman-teman penulis sastra (atau di Pontianak tidak ada generasi penerus yang menggeluti sastra?). Untuk itu pulalah aku intens memotivasi teman-teman remaja di daerah ini, setidaknya sekaligus memotivasi diriku pribadi agar tetap dapat setia menekuni dunia tulis menulis. Jangankan mengalami masalah polemik berkarya yang dulu waktu di Jogja sering kualami, sekadar curhat tentang kualitas karya saja, di Pontianak jarang sekali terjadi. Ya, aku merasa masih tetap optimis, dengan kemampuan ala kadarnya yang kumiliki ini, karena sampai hari ini dikelilingi para remaja yang punya semangat yang juga mempengaruhi semangatku. Berkarya sampai mati. Terlalu heroik ya? Ah, tidak juga.



“Apa yang menjadi masalah sehingga iklim kepenulisan di daerah ini tidak berjalan seperti yang diharapkan? Padahal banyak sekali yang dapat ditulis di bumi borneo ini.” Pertanyaan itu sepertinya serius ditujukan kepadaku. Tapi kujawab dengan nada becanda.



“Entahlah. Mungkin karena Kota ini bervisi pusat dagang dan jasa. Bukan pusat kebudayaan yang abadi dari karya tulis.” Aku tersenyum. Pertanda malu. Budi juga tersenyum entah apa tandanya. 



Ya, banyak yang bisa ditulis di Pontianak dan tentang Pontianak. Apa saja. Kembali Budi P. Hatees bercerita. Kenapa masyarakat suatu daerah memiliki kesadaran membaca yang rendah, salah satu penyebabnya dikarenakan mereka jarang menemukan bahan-bahan bacaan yang berkaitan langsung dengan daerahnya. Lelaki dengan rokok Dji Sam Soe itu menceritakan tentang apa yang dilakukannya di Lampung bersama teman-teman lainnya.

“Kita bertekad menjadikan Lampung itu sebagai lautan buku, atau bahasa lainnya adalah membukukan Lampung.” Katanya melanjutkan. 


Setiap lini kehidupan masyarakat Lampung bisa dituliskan dalam bentuk buku. Dan tentunya sarat dengan pengetahuan dan secara otomatis membuat masyarakat Lampung sendiri tertarik untuk membacanya. Kearifan lokal adalah sesuatu yang tidak pernah habis untuk dituliskan. Mulai dari tradisi masyarakat adat, keberadaan pendatang, kekayaan alam, kebijakan pemerintah, modernisasi, pendidikan, apapun. Di sini pencerahan itu pelan-pelan akan terjadi. Dan seluruh segmen juga harus disentuh. Hingga ke wilayah kekuasaan.

Budi menceritakan bahwa kawan kami, si mak comblang, Bowo, pada akhirnya memutuskan untuk terjun langsung ke dunia politik praktis, karena dia berpendapat bahwa hanya kekuasaan yang benar yang mampu merubah persepsi masyarakat tentang konteks kebudayaan yang benar. Bukan kebudayaan yang sering dikebiri banyak pihak. Tentu saja tak seorang pun berhak mencegah apa yang telah diputuskan Bowo. Itu hak setiap orang, meski kita sama-sama tau bahwa dunia politik di negara ini penuh dengan kebusukan, tapi tentu saja aku ikut mendoakan keputusan Bowo untuk menggeluti dunia politik adalah keputusan yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.


Di Jogja, entah berapa tahun lalu, aku pernah bertanya kepada Bowo, ingin menjadi apa dirinya suatu hari nanti.



“Manusia ditakdirkan untuk menjadi pemimpin. Begitulah diriku suatu hari kelak.” Sungguh jawaban yang cukup diplomatis dari seorang penggiat kebudayaan sekaligus aktivis pergerakan. 



Budi melanjutkan ceritanya perihal membukukan Lampung. Bersama Bowo, dirinya mengaku pernah menangani tiga orang calon Bupati di daerah berbeda. Dengan biaya kampanye yang cukup murah namun sangat efektif.



“Berapa biaya kampanye yang Bapak perlukan?”



“Sekian ratus juta.” Jawab si calon Bupati.



“Cukup separuhnya saja, kita bisa membuat Bapak jauh lebih populer bahkan memenangkan pertarungan dalam pilkada.”



Dan separuh dari biaya kampanye yang dimaksudkan tersebut tak lain dan tak bukan digunakan untuk menuliskan beberapa judul buku. Tidak membeli halaman di media massa untuk dipajang foto-foto dengan senyum yang kaku, melainkan menuliskan artikel untuk terbit di beberapa rubrik yang tersedia. Dan itu sangat murah. Bahkan nyaris tanpa biaya. Artikel-artikel yang kemudian tersebar di berbagai koran ini kemudian dikumpulkan dan terbit menjadi buku. Sekali lagi. Cukup murah. Dan berdampak perubahan image di masyarakat bahwa si calon adalah tokoh yang cerdas. Dan buku yang yang dihasilkan cukup riil sebagai media pencerdasan. Jauh lebih efektif daripada sekadar memajang baliho besar-besar, spanduk, bendera, umbul-umbul, dengan beraneka rupa dan warna yang lebih sering mengganggu kenyamanan pengguna jalan. 



“Dan terbukti tiga calon yang kita tangani itu, pada akhirnya meraih kemenangan.” Ucap Budi P. Hatees. 



Seketika isi kepalaku melayang ke pinggir-pinggir jalan di Kota Pontianak yang semakin hari semakin sesak dipenuhi dengan gambar-gambar tokoh dengan senyum yang terlihat kaku. Ya, sangat kaku. Berlomba-lomba memamerkan diri dengan berupa-rupa desain yang bukannya malah memperindah, tetapi bikin sepet mata yang memandang. Seketika isi kepalaku melayang-layang ke slogan-slogan yang terpajang di berbagai warna spanduk yang bukannya membuat simpati, malahan sebaliknya. Bisa jadi pesimisme sedang berlangsung di kepalaku dalam rangka agenda pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung di kota ini. Namun bukan berarti harapan untuk menjadikan masyarakat Pontianak jauh lebih cerdas juga ikut-ikutan hilang. Sama sekali tidak.



“Apa yang harus kulakukan di Kota Pontianak ini dengan kondisi yang seperti ini?” Tanyaku.



“Apa lagi kalau bukan membukukan Pontianak?” Singkat jawabannya. Namun cukup dalam menikam dada.



Aku percaya bahwa daerah ini adalah daerah yang kaya. Kapuas, hutan, keberagaman masyarakatnya, banyak hal yang bisa abadi dalam buku. Dan hal itu jika benar-benar terjadi, tanpa dipaksa pun, dengan sendirinya akan membangkitkan gairah masyarakat untuk membaca. Persoalan masyarakat adat yang terpinggirkan, adalah persoalan yang paling banyak diminati. Bukan berarti masyarakat pinggiran ini harus dieksploitasi dengan berbagai kepentingan seperti yang sering dilakukan banyak penguasa di berbagai sudut negara ini, melainkan dengan membukukan saudara-saudara kita yang terpinggirkan akan membuat banyak kalangan kemudian menjadi sadar bahwa keberagaman, tradisi, kearifan lokal, adalah hal yang mutlak dipertahankan.



“Membukukan Pontianak. Bukan hal yang rumit. Ya. Mencerdaskan masyarakat di daerah ini jauh lebih simple dari pada berpikir ke kotak mana harus memindahkan raja, ketika di skak oleh kuda yang dikepung pion-pion catur.” Demikian aku membatin. 



Budi P. Hatees terus bercerita banyak hal. Tapi perkara “Membukukan Pontianak” adalah perkara yang paling membekas dalam dada. Sangat membekas.



Sastrawan nasional yang baru saja menghadiri pernikahan adiknya di Kabupaten Sanggau ini juga sempat menanyakan beberapa nama sastrawan dari daerah ini. Kusebutkan beberapa nama yang kuketahui. Jujur, aku tidak tau banyak tentang perkembangan sejarah sastra di borneo barat ini. Entah apakah aku yang malas mencari tau, atau tidak ada yang memberi tau secara mendetil, atau tidak ada dokumen otentik yang dapat diakses dengan mudah perkara sejarah kesusastraan Kalimantan Barat. Tidak bermaksud menyalahkan generasi-generasi sastra terdahulu, tapi persoalan regenerasi sastra di daerah ini adalah persoalan yang perlu disikapi dengan serius. Kalau tidak, bukan mustahil anak-anak baru yang lahir dan dibesarkan di Kalbar sama sekali tidak mengenal kakek neneknya yang telah mengabadikan buah pemikiran dalam bentuk tulisan yang berpengaruh pada perkembangan moral masyarakatnya. 



Kuceritakan kepada Budi bahwa semenjak Odhy’s dan Yudhiswara sudah meninggal, hampir pasti bahwa Kalbar kehilangan kritikus sastra yang menjembatani karya dengan masyarakatnya.



“Apa, Odhy’s dan Yudhiswara sudah meninggal?” Pertanyaan itu menggambarkan rasa keterkejutan. 



“Ya, sudah meninggal.” Jawabku. 



Mantan redaktur di Lampung Post ini mengaku mengenal dua orang sastrawan yang telah menjadi almarhum dan sempat mengharumkan nama Kalbar di kancah sastra nasional bahkan internasional. Kemudian lelaki ini bercerita bahwa proses kreatif Odhy’s dalam dunia sastra nasional dimulai pada era 80-an. Waktu itu karyanya dimuat di majalah Swadesi. Budi P. Hatees juga menceritakan tentang nama-nama sastrawan lainnya seperti Yudhiswara dan Yusak Ananda yang karya-karyanya juga diperhitungkan oleh para sastrawan nasional.



“Bahkan untuk Pak Yusak, atas nama Forum Lingkar Pena (FLP), kita pernah mempersembahkan (menerbitkan) buku untuk beliau yang penjualannya diserahkan langsung kepada Yusak Ananda. Kira-kira waktu itu tahun 2003, aku lupa persisnya. Yang jelas, kabarnya penjualan buku tersebut cukup baik di Kalimantan Barat?”



“Apa?” Kalimat itu tidak kuucapkan. Hanya kugumamkan dalam hati. Aku terkejut sekaligus malu mendengar penjelasan darinya. Terkejut, karena selama ini aku memang belum tau. Malu, karena hal itu kuketahui dari orang Sumatra yang berdomisli di Sumatra dan mengaku baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Sementara para sastrawan Kalbar sendiri? Mungkin saja cerita ini sudah diketahui banyak orang, tapi sangat mungkin juga cerita ini hanya mengalir dari warung kopi satu ke warung kopi yang lain. Lalu menguap begitu saja seperti nikotin yang telah menjelma asap dan mengepul dari mulut lalu hilang bersama udara malam. Ya, semenjak meninggalnya Odhy’s dan Yudhiswara, belum pernah aku membaca buku yang ditulis oleh orang Kalbar mengenai biografi sastrawan penting daerah ini.



Untuk pak Yusak Ananda, aku masih bisa menghirup nafas lega, karena belum lama teman-teman praktisi sastra bersama Balai Bahasa Kalimantan Barat memberikan anugrah sastra kepada beliau. Penghargaan yang banyak mendapatkan riuh tepuk tangan pada waktu itu. Dengan jumlah nominal uang yang lumayan besar. Tapi kemudian aku berpikir, bahwa penghargaan dengan nominal uang yang cukup besar itu tak lama lagi akan menguap begitu saja, digantikan oleh cerita-cerita baru mengenai perkembangan generasi penerus di Pontianak yang sudah mulai lupa dengan identitasnya.



Seandainya saja, penghargaan dengan simbol uang itu juga diiringi dengan upaya mengumpulkan kembali karya-karya pak Yusak yang tercecer di banyak tempat, lalu menerbitkannya kembali ke dalam bentuk buku dan sampai di bangku-bangku sekolah dan dibaca siswa-siswi yang berpendidikan di Kalimantan Barat. Akan muncul kebanggaan tersendiri dari anak-anak asli tanah ini, jauh lebih bangga ketimbang berhasil mendeklamasikan puisi “Kerawang-Bekasi” Chairil Anwar yang sama sekali mereka tak tau dari mana asal usulnya. Bukan berarti Chairil Anwar tidak penting diperkenalkan kepada siswa sejak dini, sebab bagaimanapun juga si “binatang jalang” itu adalah tonggak sejarah perkembangan sastra di negara ini. Namun, akan jauh lebih berharga jika orang-orang seperti Yusak Ananda, Odhy’s, Yudhiswara, Munawar Kalahan, dan nama-nama lainnya di Kalimantan Barat ini juga dapat tempat di hati para siswa. Mereka akan jauh lebih bergairah dengan dunia membaca, dan jauh lebih berhasrat untuk mengikuti jejak penerusnya sebagai penulis. Dan secara otomatis akan membuat kualitas manusia di daerah ini jauh lebih berkembang. Dan pada dasarnya hal itu dapat dilakukan dengan mudah dengan biaya yang cukup murah! Penulisan tanda seru di akhir kalimat barusan bukan tanpa disengaja.

Aku dan Bang Budi P. Hatees terus bercerita tentang banyak hal. Sangat banyak. Hingga jarum di arloji yang berotasi pelan-pelan mengingatkan bahwa malam sudah cukup larut. Langitpun kehilangan bintang-bintang. Pelan-pelan juga tetes-tetes air jatuh. Barangkali juga mencoba mengingatkan. Bahwa banyak hal yang harus dilakukan dikemudian hari daripada larut dalam pembicaraan-pembicaraan. Ya, kami memutuskan untuk beranjak. 


“Kapan-kapan kalau ada undangan dari Lampung ataupun Medan, kau mau datang kan?” Tanya Budi P. Hatees kepadaku. Aku mengangguk dan menanyakan hal yang sama



“Kapan-kapan kalau ada undangan dari Pontianak, Abang kembali mau datang kan?” 



“Aku akan sering ke sini. Tidak perlu diundang pun, aku akan sering ke sini.” Jawabnya pasti. Padahal aku sama sekali tidak bercerita tentang mitos air kapuas yang kalau diminum oleh siapapun, akan membuat si peminum darimanapun dia berasal, tidak akan pernah melupakan kota Khatulistiwa ini. Dan selama percakapan beberapa jam aku dengannya, tak sedikitpun aku melihat dia meraup air sungai dengan telapak tangannya dan memindahkan ke kerongkongannya. Ya, Budi P. Hatees tidak pernah meminum air kapuas, setidaknya sepanjang pertemuanku dengannya dia tidak melakukan itu. Dia juga tidak menanyakan tentang mitos air kapuas yang dipercaya banyak orang tersebut. Kecuali mengomentari bahwa banyak sampah yang mengikuti arus dari hulu ke hilir. Ah, sungai yang menjadi kebanggaan masyarakat daerah ini ternyata tak segan memperlihatkan tubuh kotornya kepada pendatang sekalipun. Tapi kenapa seorang sastrawan sekelas Budi P. Hatees mengaku akan sering berkunjung kembali? Mungkin kalau kalimat itu diteruskannya, kira-kira berbunyi seperti ini:



“Sebab banyak hal di Pontianak yang selama ini luput, padahal penuh potensi jika ada yang menuliskannya dan mengabadikannya dalam bentuk buku.”



Kuantar kembali sastrawan yang akan pulang ke daerahnya keesokan harinya tersebut ke tempat mereka sekeluarga menginap. Sebelum berpisah, kuhadiahi dia dengan tiga judul buku: Kumpulan Puisi 3 Merawat Kata, yang kutulis bersama 2 orang guru bahasa Indonesia di Kalimantan Barat ini, Pontianak “teenager” Under Cover, dan buku kumpulan cerpen berjudul Wanita Penjaga Api yang ditulis seorang kawan bernama Amrin Zuraidi Rawansyah.



“Senang bertemu denganmu Pay.” Katanya mengakhiri pembicaraan


“Sangat senang sekali banget bertemu denganmu Bang,” Kataku tapi tak didengar olehnya sebab kalimat itu kuucapkan saat motorku sudah meluncur membelah jalan saat Pontianak terlihat begitu gelap.


***



Hari berjalan seperti biasanya. Pertemuan dengan Budi P. Hatees malam tadi rasanya tak akan menjadi apa-apa jika hanya akan menjadi sebuah kenangan. Bukankah Dorothea Rosa Herliany pernah bilang bahwa kenangan adalah racun? Begitulah, sejak aku tidak mau larut dalam kenangan. Sejak pagi aku kembali berebut kesibukan dengan orang-orang Pontianak yang semakin sibuk. Kesibukanku hari ini masih sama dengan kesibukan di hari kemarin. Berkeliling dari sekolah satu ke sekolah yang lain, mengantarkan undangan peluncuran buku dan sarasehan pengajaran sastra yang akan dihelat sabtu, 16 Agustus 2008 mendatang. 



Dari pagi sampai siang. Sampai matahari melewati puncak kepala. HP ku berbunyi



“Pay, terima kasih ya. Kami sekeluarga pamit pulang.” Suara itu sangat kental dialek Bataknya. Ya, lelaki dari Tapanuli Selatan yang mewarnai dunia baca tulis di Lampung yang mengucapkannya. Dia bilang bahwa sekarang sedang dalam perjalanan ke Bandara. Ucapan terima kasih juga kusampaikan kepadanya.



“Terima kasih Bang. Kembali atau tidak dirimu di tanah ini, akan banyak buku yang terbit. Akan banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya membaca dan menulis. Akan banyak perubahan yang jauh lebih berkualitas ketimbang pembangunan fisik yang membuat orang melupakan identitas.”




Begitulah kalimat yang tak terucap. Namun mengakar menjadi niat dan tekad. Dahsyat dan berharga!



Pontianak, 12 Agustus 2008 
Pay Jarot Sujarwo

You May Also Like

  • Previous You are viewing Last Post
Posted by Pay Jarot Sujarwo at 11:37:00
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

No comments:

Post a Comment

Newer Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Blogroll

Author

Like Us

Labels

backpacker belanda catatan kembara catatan perjalanan champa delft islam komunis madrid traveling catatan pernajalan melayu traveling vietnam yukngaji

Popular Posts

  • Backpacker Anti Mainstream | Pol Pot Sudah Mati
    Matanya liar. Mengincar para pejalan kaki. Sesekali ia memanjangkan leher. Menoleh ke belakang. Berpaling ke kiri juga ke kanan. Ia menem...
  • SMS DARI BUMBUNAN SITORUS
    “Buku dan motivator. Mau tau siapa teman paling setia, tidak cerewet, gampang ditemui, sekaligus guru nan bijak dan sabar? Dialah BUKU! 1...
  • Kisah Barista
    Puisi Pay Jarot Sujarwo kisah apa lagi yang hendak kau ceritakan kali ini, barista. tentang hemingway yang tak pernah berpindah meja d...
  • PAMAN DUDI
    “Lelaki tengah malam terkulai di tepi malam. Orang sisa-sisa menangis. Air matanya api.” Dari sebuah kamar kecil, lebih kecil dibanding...
  • Islamic Trip, Malaysia, Vietnam, Kamboja, 6 Hari 5 Malam, 6,5 Juta Saja
    Bismillahirrahmanirrahiim Islamic Trips South East Asia (Asia Tenggara) Kuala Lumpur | Ho Chi Minh | Phnom Penh | Kampong Champ | Kuchi...
  • Uighur
    oleh Pay Jarot Sujarwo Pertama kali mengetahui tentang Uighur, saat saya membaca catatan perjalanan Agustinus Wibowo. Perjalanan tersebu...
  • Belajar Sejarah
    Sewaktu SMA, saya tidak suka dengan pelajaran sejarah. Saya pikir banyak orang bernasib sama dengan saya. Waktu itu (saya lulus 1996-1999...
  • Pengakuan: Aku Mengenalnya. Aku Membaca Tulisannya. Namanya Amrin
    Aku terhenyak. Seperti orang terkapar. Mungkin benar terkapar. Tak berdaya. Selain memandang sekitar. Ada banyak lukisan. Ada banyak nyam...
  • Melayu Champa; Tak Ada Bom, Tak ada Pembunuhan
    Pay Jarot Sujarwo Catatan Kembara Vietnam Malam sebelum keberangkatan, saya berdiskusi sepanjang malam dengan seorang teman. Seorang k...
  • Pol Pot is Dead
    His eyes stared wildly, lurking for the walkers. Sometimes he craned his neck, twisted it back, left, right. He saw a man standing in a c...

THE BLOG THEME

jarotsujarwo@yahoo.com

jarotsujarwo@gmail.com


Tel. 081256918507 (whatsApp)

Pin BlackBerry: 25B5DAFD

Twitter: @jarotsujarwo

Flickr

Popular Posts

  • Islamic Trip, Malaysia, Vietnam, Kamboja, 6 Hari 5 Malam, 6,5 Juta Saja
  • PERTEMUAN SINGKAT DENGAN BUDI P. HATEES
  • SMS DARI BUMBUNAN SITORUS
  • PAMAN DUDI
  • Taqorrub ilallah
Created by - Way2themes - | Distributed By Gooyaabi Templates
  • HOME
  • CONTACT