Aku terhenyak. Seperti orang terkapar. Mungkin benar
terkapar. Tak berdaya. Selain memandang sekitar. Ada banyak lukisan. Ada banyak
nyamuk. Tapi aku sudah tak peduli dengan nyamuk. Tubuhku begitu lelah. Di
dinding tidak ada jam yang menempel. Aku lihat benda yang melingkar di
pergelangan tanganku. Ada angka digital 4:42 AM. Teramat lelah. Nama Amrin
menempel di kepala.
Ada beberapa alasan yang masuk akal kenapa nama Amrin
menempel di kepalaku saat ayam jago sudah sejak tadi berbunyi-bunyi. Lokasinya
di gallery lukisan. Aku sendirian. Alasan pertama, sebentar lagi aku akan
menerbitkan buku kumpulan cerpen Amrin. Alasan kedua, tentang fenomena
munculnya banyak penulis buku di kotaku. Sudah. Dua alasan saja. Jangan
banyak-banyak. Nanti aku dituduh sebagai orang yang punya banyak alasan.
Amrin. Mahasiswa semester banyak di STKIP PGRI Pontianak.
Tapi waktu pertama bertemu dia tidak mengaku sebagai mahasiswa. Dia bawa naskah
cerpen yang belum selesai. Ditunjukkannya kepadaku. Aku tak suka membaca naskah
yang belum selesai. Angkuh aku pada waktu itu. Amrin pada tahun-tahun
berikutnya juga menganggapku angkuh saat pertemuan pertama. Mukanya ramah.
Kalau bicara cepat. Kalau mendengar hikmat. Kalau begadang dahsyat. Di dalam
tasnya selalu saja ada karya yang ia tulis. Bisa puisi. Bisa cerpen.
Selanjutnya kami sering berbagi cerita. Tentang sastra.
Betapa angkuhnya aku pada waktu itu. Menenteng predikat baru pulang dari Jogja.
Menulis banyak karya sastra. Terbit di Koran-koran pulau Jawa. Suka mencibir
sastra di kotaku. Betapa sederhananya Amrin. Tak pernah ke Jawa. Lahir dari
kampung bernama Sanggau. Pindah-pindah tempat sekolah. Sering menulis cerpen.
Juga puisi. Punya pacar yang suka marah-marah kalau dia terlalu lama nongkrong
di Taman Budaya.
Aku memutuskan untuk suka dengan Amrin. Setelah pada
akhirnya aku membaca puisi dan cerpen yang dia tulis. Puisi dan cerpen yang
sudah jadi. Aku, yang berpredikat begitu angkuh karena baru pulang dari Jawa,
tiba-tiba dibuat terperangah. Dulu internet masih belum musim. Lagi pula di
internet yang lagi tren adalah gambar-gambar telanjang. Toko buku besar juga
belum ada. Tapi dari mana Amrin membaca karya-karya berkualitas? Buktinya
tulisannya punya kualitas. Deskripnya bikin aku hanyut. Gagasannya bikin aku
takut. Jangan-jangan aku yang angkuh tak ada apa-apanya. Jangan-jangan pulau
Jawa tak ada apa-apanya. Benar. Amrin. Orang Sanggau ini. Yang suka berkelahi
dengan pacarnya. Punya karya yang tak bisa dianggap remeh orang-orang dari
Jawa.
Kami. Aku dan Amrin. Menjadi akrab. Sangat akrab. Internet
masih belum musim. Kami sering janjian bertemu. Aku bawa tulisan-tulisanku yang
angkuh. Amrin bawa tulisan-tulisannya yang tentram. Tapi tulisan-tulisan yang
tentram itu liar. Liat. Bohong kalau banyak orang bilang di Kalimantan itu cuma
ada Korrie Layun Rampan. Sumpah dan sungguh. Orang yang bilang itu hanya orang
yang belum kenal dengan Amrin.
.jpg)
No comments:
Post a Comment