Judul di atas barangkali terlalu berlebihan,
menginat nama-nama acara serupa yang sudah ada dan eksis hingga ke dunia
internasional, sebut saja Ubud Writers and Readers Festival dan Makassar International
Writers Festival. Di Bali pesta penulis
yang menghadirkan ratusan penulis berkualitas tingkat dunia dan Indonesia ini
sudah dihelat selama sembilan tahun berturut-turut dan sebentar lagi pada
pertengahan Oktober 2013 akan menggelar pestanya yang ke sepuluh. Begitu juga
di Makassar, meskipun baru dimulai tahun 2011 lalu, namun gaungnya, konten
kegiatan, penulis-penulis yang hadir, tak bisa dipandang sebelah mata. Tidak
hanya tempat bertemunya para penulis dan pembaca, dua event berkaliber internasional
itu secara signifikan bahkan berpengaruh terhadap sektor pariwisata, baik di
Bali dan Makassar. Lalu bagaimana dengan Kalimantan Barat?
Di Indonesia, secara umum, bisa jadi untuk
perhelatan dunia kepenulisan Kalimantan Barat masih belum diperhitungkan. Tidak
hanya jumlah penulis dan karya yang diterbitkan, persoalan kualitas karya pun,
Kalimantan Barat masih harus belajar banyak dengan daerah-daerah lainnya yang
telah lebih dulu maju dan berkembang. Namun bukan berarti di daerah ini tidak
ada sama sekali aktivitas kepenulisan. Bahkan beberapa penulis daerah ini
pelan-pelan, buku-bukunya sudah mulai menghiasi toko buku di segenap penjuru
Indonesia sebab terbit di beberapa penerbit nasional.
Munculnya gairah kepenulisan di Kalimantan Barat
satu dekade terakhir, semenjak meninggalnya penulis senior Odhy’s dan Yudiswara
merupakan angin segar sekaligus harapan bahwa iklim kepenulisan di daerah ini
bisa bersaing dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia bahkan merambah di
dunia internasional mengingat akses untuk ke Malaysia, Brunei, Singapura lebih
mudah. Apabila komunikasi antar penulis di masing-masing Negara tersebut bisa
tetap dirawat tak menutup kemungkinan buku-buku penulis Kalimantan Barat bisa
dibaca masyarakat dari Negara tetangga baik yang berbahasa Indonesia, maupun
berbahasa Inggris. Meskipun masih ada beberapa PR yang masih harus dilakukan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan masyarakat Kalimantan Barat di dunia
kepenulisan.
Beberapa PR tersebut di antaranya adalah
meningkatkan minat baca masyarakat Kalimantan Barat terhadap karya-karya yang
ditulis oleh pengarang yang berasal dari daerah ini serta peran kritikus dalam
menjembatani antara pengarang, karya, serta pembaca.
Tak dapat dipungkiri beberapa tahun belakangan
bermunculan penulis-penulis muda dari Kalimantan Barat yang karyanya
diterbitkan oleh penerbit-penerbit nasional. Sebut saja misalnya, Lonyenk Rap,
penulis asal Mempawah yang dalam satu tahun enam judul bukunya diterbitkan di
penerbit-penerbit mayor dan tersebar di seluruh Indonesia. Nama yang lain,
Delia Angela, Sidik Nugroho, Irin Sintriana, Riani Kasih, Catz Link Tristan,
Bernard Batubara, Retni SB. Bahkan penulis Bernard Batubara tidak hanya
menerbitkan buku-buku sastra berkualitas, namun salah satu karyanya sudah
diadaptasi ke dalam bentuk film dan ditayangkan di bioskop-bioskop seluruh
Indonesia. Retni SB juga tak kalah menggetarkan. Bermula dari menang lomba
penulisan tingkat nasional, novel-novelnya kemudian diterbitkan oleh penerbit
besar seperti Gramedia dan Mizan dengan total buku sampai hari ini berjumlah
tujuh buah. Serta nama-nama lain yang
tak bisa saya sebutkan satu persatu. Pertanyaannya kemudian adalah, sejauh mana
karya-karya penulis Kalimantan Barat tersebut diapresiasi oleh masyarakat
Kalimantan Barat sendiri?
Saya pribadi telah mengunjungi lebih dari 70 SMA
dan sederajat serta Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh kota/kabupaten di
daerah ini dalam rangka memotivasi minat baca tulis. Dalam setiap kunjungan
yang saya lakukan saya selalu bertanya kepada para remaja tersebut tentang
sejauh mana mereka mengenal para penulis lokal. Jawabannya, hampir seluruhnya
menjawab tidak kenal. Para remaja di provinsi ini lebih mengenal nama-nama
seperti JK Rowling ataupun Andrea Hirata dan juga Raditya Dika. Padahal tidak sedikit
penulis-penulis di daerah ini yang menulis karya-karya yang bergenre remaja.
Selain memang karena minat baca masyarakat di
Kalimantan Barat, khususnya para remaja masih rendah, persoalan yang lain bisa
jadi disebabkan karena para penulis sendiri merasa tidak memiliki kewajiban
untuk memperkenalkan karya-karyanya di “rumah”nya sendiri. Tentu saja ini bukan
kesalahan para penulis. Penerbit-penerbit besar di pulau Jawa telah memiliki
sistim penjualan yang rapi dengan jalur distribusi yang memanjakan penulis.
Para penulis ini cukup mengirimkan karya, terbit, bukunya tersebar di seluruh
Indonesia, kemudian mendapatkan royalti secara berkala. Berikutnya menulis lagi
royalti lagi.
Beruntung di provinsi ini juga memiliki beberapa
penulis lokal yang menerbitkan karya-karyanya sendiri dalam bentuk indie dan
tak berhenti mengkampanyekan minat baca tulis sekaligus mempromosikan karya
yang mereka tulis. Sekadar menyebutkan beberapa nama: Fredy, Nano Basuki, Amrin
Zuraidi Rawansyah, Budi Rahman, Nur Iskandar, Alexander Mering, Yophie Tiara, Gunta
Wirawan, penulis muda yang tergabung dalam Club Menulis STAIN, dan masih ada
beberapa nama yang lain. Para penulis lokal ini begitu gencar dengan cara
mereka masing-masing membangun kesadaran masyarakat di tingkat lokal untuk
membaca. Alexander Mering misalnya, menjelajah dari kampung ke kampung di
pedalaman dengan agenda jurnalisme kampung. Begitu juga dengan Nur Iskandar.
Penulis kreatif ini selalu punya program inovatif yang mampu merangsang
orang-orang Kalbar untuk membaca. Fredy, adalah penulis yang digemari para
remaja. Amrin Zuraidi Rawansyah, dari Sanggau untuk Kalimantan Barat,
karya-karya tulisnya menjadi tulisan favorit masyarakat Kalimantan Barat yang
berinteraksi di media sosial
Menimbang beberapa hal tersebut di atas, tidak ada
cara lain selain meningkatkan komunikasi antar sesama penulis, baik mereka yang
berkaliber nasional maupun yang masih bertahap lokal. Sebab label nasional atau
lokal bukanlah menjadi penjamin terhadap kualitas karya.
Menyoal masalah kualitas karya, tidak bisa tidak
peran kritikus sangat diperlukan. Masalahnya kemudian, apakah di daerah ini
sudah memiliki kritikus yang benar-benar mampu menjadi jembatan antar karya dan
pembacanya? Jawabannya belum ada. Kalaupun ada para akademisi, ataupun peneliti
yang selama ini menyuntuki karya-karya di Kalimantan Barat, masih sebatas tugas
profesi di instansi masing-masing namun belum benar-benar menyentuh ke
masyarakat secara luas.
Padahal jika para akademisi maupun peneliti bahasa
dan sastra ini mau bekerja lebih keras sedikit, akan membuka peluang semakin
meningkatnya daya apresiasi masyarakat Kalimantan Barat terhadap karya-karya
yang ditulis oleh penulis yang berasal dari Kalimantan Barat pula. Sebab
bagaimanapun juga tanpa kritikus, penulis, karya, juga pembaca, seperti
menciptakan dunia mereka masing-masing yang tidak mengenal satu sama lain di
“rumah”nya sendiri, Kalimantan Barat.
Realitas yang
terjadi di atas kemudian menjadi landasan kenapa kemudian festival
kepenulisan menjadi perlu dan mendesak untuk diselenggarakan di daerah ini.
Persoalan nama, teknis, serta konten kegiatan saya pikir itu hanya perkara
teknis yang bisa disusun kemudian. Yang terpenting adalah bagaimana kegiatan
ini mampu menjadi media komunikasi efektif untuk menumbuhsuburkan geliat
kepenulisan serta budaya membaca di Kalimantan Barat. Barangkali festival
kepenulisan ini masih belum sanggup sejajar dengan kegiatan serupa seperti di
Bali, Makassar, serta daerah-daerah lainnya. Namun bukankah tak ada kata
terlambat untuk berbuat dan memberikan kontribusi positif bagi daerah ini?
Sehingga ke depannya akan berpengaruh bagi kadar intelektualitas masyarakat
yang tak melulu hanya pasrah dibohongi dalam setiap penyelenggaraan event besar
bertajuk Pemilihan Kepada Daerah.
Semoga
amiiinnn semoga bisa terlaksana suatu hari nanti dan semoga saya bisa ikut menjadi bagian kecil darinya *hope :)
ReplyDeletewawww pasti bakal seru
ReplyDeleteApe agik Bang, buatlah kegiatannya. Kalau nak nunggu orang laen bile2 gak :-)
ReplyDelete