“Lelaki
tengah malam terkulai di tepi malam. Orang sisa-sisa menangis. Air matanya api.”
Dari
sebuah kamar kecil, lebih kecil dibanding kamar kos mahasiswa paling miskin di
kota Pontianak, suara speaker dari tape tahun delapan puluhan berdentum hebat.
Nyaring mengoyak sore yang seharusnya tentram. Seorang lelaki tua tak hirau
dengan suara musik yang teramat nyaring tersebut. Tampaknya dia sudah terbiasa.
Seperti yang biasa dilakukannya pada sore-sore yang seharusnya tentram. Duduk
bersantai di teras rumah. Tanpa baju sebab lelah sehabis sepanjang hari mencari
daun pisang untuk dijual ke orang-orang. Sibuk dengan tembakau yang
dilintingnya. Kemudian berhasil dibakar lalu menikmati kepulan pertama dari
mulutnya.
Tapi
hal tersebut tidak berlaku bagi sang istri. Melihat suaminya hanya diam saja,
perempuan yang juga tua tersebut mulai naik pitam. Pintu kamar yang terkunci
digedor-gedor seperti orang kesurupan. Mulutnya meracau. Memerintahkan seorang
lelaki muda di dalam kamar untuk mematikan suara musik tersebut. Atau
setidaknya mengecilkan volumenya. Baginya, suara musik yang hingar bingar
tersebut telah merusak ketentraman sore. Perempuan itu masih harus memasak
untuk makan malam. Aktivitas yang seharusnya tak boleh diganggu oleh suara
musik modern yang memekakakkan telinga. Pintu kamar digedor-gedor. Cukup lama.
Tapi tak ada hasil. Perempuan itu menyerah. Akhirnya kembali ke dapur dengan
mulut yang tak berhenti mengomel.
Usiaku
masih terlalu kecil untuk menyaksikan rusaknya sore yang tentram tersebut.
Tentu saja ini bukan pertama kali aku melihatnya. Walaupun tidak terjadi setiap
sore, tapi terlalu sering drama sore hari ini kusaksikan. Iwan fals. Tak hanya
diputar keras-keras melalui tape yang hari ini dipastikan sudah tak beredar
lagi dipasaran. Tapi posternya yang cukup besar juga tertempel di dinding kamar
berukuran lebih kecil dari kos-kosan mahasiswa paling miskin sekalipun.
Beberapa
kali aku mencoba mencuri masuk ke dalam kamar ketika pemiliknya tidak di rumah.
Keperhatikan satu persatu koleksi kaset miliknya yang terkadang berserakan
begitu saja di lantai. Tidak hanya Iwan Fals. Juga ada Slank, Iron Maiden, Bon
Jovi. Ahmad Albar. Dan banyak lagi. Tapi mungkin juga karena terlalu sering aku
melihat poster Iwan di dinding kamarnya. Mungkin juga aku terlalu sering
mendengar Iwan berteriak-teriak dari tape miliknya. Dari semua koleksi kaset
miliknya, Iwan Fals membuatku jatuh hati.
Aku
jadi menikmati suara musik yang diputar keras-keras di sore yang seharusnya
tentram. Di dalam hati, aku seperti membela lelaki itu saat ibunya
mencak-mencak memerintahkan suara musik tersebut dimatikan. Dan aku ikut-ikutan
sedih ketika perempuan tua itu berhasil memenangkan pertarungan dengan masuk ke
dalam kamar dan mematikan suara musik tersebut. Aku tidak rela. Iwan Fals
dimatikan. Tapi bagaimanapun perempuan tua itu adalah penguasa rumah ini,
mendominasi semua peraturan sebab sang suami ternyata lebih banyak diam.
Pelan-pelan
aku mulai mengagumi lelaki itu. Lelaki yang tanpa direncanakan telah
memperkenalkan Iwan Fals kepadaku. Aku semakin ingin merasa akrab dengannya.
Tapi siapa aku? Ah, aku hanya anak kecil yang bahkan belum genap tiga tahun
duduk di bangku Sekolah Dasar. Anak kecil yang tak layak berteman dengannya yang
mulai tumbuh remaja.
Suatu
hari, peristiwa mendebarkan terjadi dalam hidupku. Aku, bersama adik
perempuanku, bersama seorang sepupu sedang bermain di teras rumah. Bapak baru
saja membelikan balon gas yang bisa terbang itu. Namun sebagai anak kecil, aku
tidak rela balon gas tersebut terbang. Ada benang yang diikatkan sehingga aku
tetap bisa mengontrol balon tersebut. Kami sangat gembira. Tertawa
terbahak-bahak. Berlari ke sana kemari. Lelaki tua yang menghisap lintingan tembakau
di teras rumah juga terlihat gembira menyaksikan kami, cucu-cucunya. Tapi
tiba-tiba petaka terjadi.
Benang
di tanganku terlepas. Balon gas terbang. Menabrak langit-langit teras. Angin
sore yang menampar-nampar dahan kelapa di depan rumah, juga menampar-nampar
balon tersebut. Balon itu bergerak perlahan ke tepian. Sebentar lagi balon itu
akan terbebas dari benturan langit-langit rumah, dan akan segera bebas menuju
langit yang sebenarnya. Aku mulai ingin menangis. Tak rela kehilangan.
Kesedihan serta merta menyergap. Mataku berkaca-kaca. Adik dan sepupuku tak
mampu berbuat banyak. Tubuh kami bertiga terlampau kecil untuk menggapainya.
Mulutku terkatup. Ingin berteriak minta tolong, tapi tak ada suara yang keluar.
Mataku pasrah menyaksikan balon tersebut yang semakin bergerak ke pinggiran langit-langit
teras. Dadaku berdebar hebat.
Hingga
akhirnya balon tersebut benar-benar terbebas dari langit-langit teras. Titik
air di mataku jatuh. Aku menangis. Tiba-tiba saja aku merasa tidak perlu untuk
menangis. Dari dalam rumah, seorang lelaki remaja dengan sigap berlari begitu
cepat. Sampai di ujung teras dia melompat begitu tinggi. Tangannya menggapai
benang yang menjuntai. Balon gas yang benar-benar siap untuk pergi tersebut
berhasil diselamatkan. Lelaki itu pahlawanku. Pahlawan yang tak akan pernah aku
lupakan seumur hidupku.
“Kalau
kau bersedih, tidak apa-apa jika ingin menangis. Tapi untuk balon yang ingin
pergi ini, tak ada yang perlu ditangisi. Kalaupun dia harus pergi, biarkan dia
pergi. Tapi kalaupun balon ini ternyata masih berhasil kau kuasai. Rawat dia
dengan baik. Tapi kalau suatu hari nanti dia benar-benar ingin pergi, merelakan
adalah jalan terbaik.”
Lelaki
pahlawan itu menyerahkan balon gas yang tak jadi pergi tersebut kepadaku.
Perkataannya kuingat betul. Di hari-hari selanjutnya balon itu benar-benar
kurawat. Sampai suatu hari gas yang ada dalam dirinya habis. Balon tersebut
kehilangan kesaktiannya untuk terbang. Tapi tetap kurawat. Hingga akhirnya dia
benar-benar pergi meninggalkanku. Balon tersebut jatuh di rerumputan halaman
rumah. Dan pecah begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada aku yang
telah berhari-hari merawatnya. Balon itu pergi. Aku rela.
Lelaki
pahlawan itu adalah pamanku sendiri. Tujuh bersaudara. Dia yang paling bungsu.
Kesemuanya laki-laki. Yang paling tua, bekerja di pemerintahan. Tinggal di
seberang kota. Anak nomor dua. Seorang pengangguran. Kadang menjadi tukang apa
saja. Tukang buat rumah. Tukang cat rumah. Tukang judi juga. Anak nomor tiga,
bekerja di sebuah universitas negeri di kota Pontianak. Menikah dengan seorang
perempuan dari Jawa Barat. Kemudian melahirkan aku. Anak nomor empat tinggal di
luar kota. Nomor lima juga di luar kota. Nomor enam saat itu belum menikah dan
masih tinggal bersama orang tuanya. Bersama adiknya yang bungsu. Nomor tujuh. Yang
telah menyetel keras-keras suara Iwan Fals di sore yang tentram. Yang telah
menjadi pahlawan penyelamat balon gas yang hendak pergi meninggalkanku.
Anak
ketujuh dari tujuh bersaudara yang keseluruhannya laki-laki terssebut bernama
Dudi Suryadi. Aku memanggilnya Paman Dudi. Seperti anak-anak kecil sebaya yang
memiliki idola; Batman, Superman, Megaloman, Spiderman, dan segala macam
superhero lainnya, idolaku tak berubah. Paman Dudi. Tapi perlu kalian tau,
idolaku ini bukan orang kuat baik hati yang dicintai umat manusia seperti yang
kalian sering lihat di televisi. Karakternya sama sekali berbeda.
Dia,
Dudi Suryadi, adalah remaja yang tumbuh dengan kenakalan teramat sangat. Aku
masih ingat ketika di tamat SMP, Dudi tercatat berpindah-pindah dari sekolah
satu ke sekolah lainnya. Dan tak satu SMA pun yang ditempuhnya, berhasil ia
selesaikan. Penggemar Iwan Fals ini sudah merokok ketika dia belum remaja.
Sudah minum alkohol ketika dia masih remaja. Sudah nongkrong bersama
teman-temannya hingga pagi hari ketika masih remaja. Kenakalan luar biasa
inilah yang membuat ibunya, nenekku, tak pernah berhenti untuk mencerewetinya.
Setiap hari. Tak jarang berakhir pertengkaran di antara keduanya. Keenam
saudaranya bingung. Dudi bukanlah anak baik yang bisa menurut begitu saja
ketika dinasehati.
Di
usia remajanya dia sudah menjadi member sebuah gank yang ditakuti di kota
Pontianak. Bongar nama gank tersebut. Singkatan dari Bocah Ngarit. Sepeda ontel
yang biasa digunakan orang-orang untuk mencari rumput, adalah ciri khas gank
ini. Berkelahi dengan anggota gank lain, adalah pekerjaannya. Tahun demi tahun
aku lewati bersama sang idola. Ketika aku mulai tumbuh remaja. Aku mulai
mengikuti gayanya. Aku pernah menemukan di bagian belakang buku tulis
sekolahnya, coret-coretan seperti puisi, aku pun mulai menulis puisi. Aku pun
mulai mendengarkan Iwan Fals. Akupun ikut nongkrong dengan teman-temanku. Aku
juga berkelahi. Merokok. Minum alkohol.
Dudi
Suryadi menjadi inspirasiku. Inspirasi yang tentu saja dosa besar di mata
keluarga. Ketika suatu hari ibuku marah-marah sebab aku pulang ke rumah ketika
sudah pagi, yang dikatakannya, “Jangan kau ikuti jejak pamanmu itu.” Ah, mulut
ibuku sama seperti mulut ibunya paman Dudi. Begitulah, kenakalan Dudi Suryadi membuat
dirinya adalah musuh bersama di antara keluarga kami. Tapi tidak bagiku. Dia
adalah pahlawanku. Pahlawan yang mengajarkan aku untuk tetap terjaga hingga
pagi hari. Bersama lirik-lirik Iwan Fals yang menggetarkan itu.
“Lelaki
tengah malam terkulai di tepi malam.” Iwan Fals meraung-raung di hari pertama
bulan januari. Sepanjang malam, di pinggir jalan, Dudi bersama anggota gank nya
menenggak minuman keras. Membuat markas dari kertas semen yang didesain
sedemikian rupa membentuk seperti sebuah goa. Sarang laba-laba dari tali rapia
juga tak terlewatkan. Suara musik berdentum dentum. Orang-orang berjoget.
Mabuk. Penyambutan tahun baru yang cukup lumrah bagi anak muda Pontianak di
tahun 80an. Terinspirasi dari pamanku ini, aku pun berada di sana. Bersama teman-teman
remaja lainnya. mengepulkan asap rokok. Menenggak alkohol. Orang-orang
Pontianak menyebutnya lonang.
Begitulah,
Paman Dudi menjadi sosok yang berpengaruh besar bagi kehidupanku di hari-hari
berikutnya. Tapi ini adalah rahasia besar dalam hidupku. Mengidolakan seorang
pemabuk seperti Paman Dudi tentu adalah dosa besar di mata keluarga. Tidak, aku
tidak boleh memberitahukan hal ini kepada siapapun. Biarlah Paman Dudi tetap di
hatiku tanpa seorangpun yang tau.
Tamat
SMA, aku hijrah ke Jogjakarta. Menumpang kapal laut milik pemerintah. Membawa
harapan luar biasa dari orang tua di rumah. Kuliah. Untuk pertama kalinya aku
harus tinggal jauh dari keluarga. Berhadapan dengan tugas kampus. Berhadapan
dengan pakaian kotor. Berhadapan dengan uang kiriman yang tak kunjung datang.
Beruntung, aku memiliki paman Dudi di hatiku. Sehingga ketika teman-teman
asrama Kalimantan Barat, tempat singgahku ketika di Jogja, menawariku alkohol,
tentu saja hal itu sudah bukan makhluk asing bagiku. Teguk demi teguk alkohol kunikmati.
Dengan bangga kuceritakan kepada teman-temanku bahwa aku sudah minum alkohol
semenjak masih SMP. Akibatnya apa? Benar, aku ditendang dari asrama Kalbar
sebab alkohol.
Rumah
berikutnya tempatku berteduh adalah kampus. Bernama sanggar teater, aku
tumbuh
menjadi gelandangan remaja di Jogjakarta. Meneruskan apa yang telah dilakukan
paman dudi di buku pelajaran sekolahnya, aku juga menulis puisi. Terus menerus
aku mendengarkan Iwan Fals. Bahkan menyanyikannya bersama teman-teman di
kampus. Kubiarkan rambutku terurai panjang. Saat aku kelaparan, aku tak pernah
takut walaupun orang tua begitu jauh di kampung halaman. Ada paman Dudi di
hatiku. Matanya yang merah. Nafasnya yang memburu. Badannya yang kurus. Mukanya
yang tirus. Lelaki itu membuat aku perkasa dalam kesendirian di Jogjakarta. Ini
adalah perjalanan pertamaku. Ini akan menjadi perjalanan yang teramat panjang.
Ini adalah awal mula kisah perjalanan yang tak pernah berpenghujung.
Hingga
akhirnya, ketika usiaku menginjak 21. Sebuah kabar duka kudengar dari kampung
halaman. Paman Dudi meninggal dunia. Entah apa penyebabnya, tapi seluruh
anggota keluarga memvonis bahwa terlalu banyak alkohol di dalam tubuhnya.
Paru-parunya sudah rusak parah sebab terlalu sering terjaga hingga dini hari.
Dia pengangguran tak berguna. Wajar kalau dia mati muda. Vonis keluarga begitu
kejam. Aku tak pulang saat dia disemayamkan. Yang kulakukan setelah
mendengarkan kabar kematian, pergi berbelanja ke tempat yang sering kudatangi.
Membeli sebuah botol dengan gambar orang tua dengan janggut yang begitu
panjang. Minuman itu bernama Anggur Cap Orang Tua. Orang Jogja menyebutnya AO.
Orang Pontianak memberinya nama, Lonang.
Bukan
persoalan alkohol yang ingin kuceritakan kepada kalian, kawan. Sebab hari ini,
jika kau suruh aku mengenggak alkohol, sebentar saja kepalaku akan
berputar-putar, menderita teramat sangat. Sudah lama minuman itu kutinggalkan.
Bukan pula kegagahan terjaga hingga pagi hari yang jadi topik dari cerita
panjang ini. Bukan. Tapi tentang sebuah perjalanan panjang, melintasi siang dan
malam, menapaki kota ke kota. Negara ke negara. Kabur sejauh-jauhnya. Mencari
makna. Ya, mencari makna. Sebab dalam setiap perjalanan makna itu akan
ditemukan. Dan inilah yang akan kuceritakan. Sebuah perjalanan panjang. Untuk
menemaninya yang telah lama berada di kuburan. Seorang Idola. Seorang Paman.
No comments:
Post a Comment