Pengembara Muslim | writer - traveler - coffee drinker

catatan perjalanan dari seseorang yang telah menyerahkan hidupnya untuk Islam

  • Home
  • Buku Saya
  • Works
  • Features
  • Tentang Saya

PAMAN DUDI

Pay Jarot Sujarwo Tuesday, 11 February 2014 No Comments
“Lelaki tengah malam terkulai di tepi malam. Orang sisa-sisa menangis. Air matanya api.”

Dari sebuah kamar kecil, lebih kecil dibanding kamar kos mahasiswa paling miskin di kota Pontianak, suara speaker dari tape tahun delapan puluhan berdentum hebat. Nyaring mengoyak sore yang seharusnya tentram. Seorang lelaki tua tak hirau dengan suara musik yang teramat nyaring tersebut. Tampaknya dia sudah terbiasa. Seperti yang biasa dilakukannya pada sore-sore yang seharusnya tentram. Duduk bersantai di teras rumah. Tanpa baju sebab lelah sehabis sepanjang hari mencari daun pisang untuk dijual ke orang-orang. Sibuk dengan tembakau yang dilintingnya. Kemudian berhasil dibakar lalu menikmati kepulan pertama dari mulutnya.

Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi sang istri. Melihat suaminya hanya diam saja, perempuan yang juga tua tersebut mulai naik pitam. Pintu kamar yang terkunci digedor-gedor seperti orang kesurupan. Mulutnya meracau. Memerintahkan seorang lelaki muda di dalam kamar untuk mematikan suara musik tersebut. Atau setidaknya mengecilkan volumenya. Baginya, suara musik yang hingar bingar tersebut telah merusak ketentraman sore. Perempuan itu masih harus memasak untuk makan malam. Aktivitas yang seharusnya tak boleh diganggu oleh suara musik modern yang memekakakkan telinga. Pintu kamar digedor-gedor. Cukup lama. Tapi tak ada hasil. Perempuan itu menyerah. Akhirnya kembali ke dapur dengan mulut yang tak berhenti mengomel.


Usiaku masih terlalu kecil untuk menyaksikan rusaknya sore yang tentram tersebut. Tentu saja ini bukan pertama kali aku melihatnya. Walaupun tidak terjadi setiap sore, tapi terlalu sering drama sore hari ini kusaksikan. Iwan fals. Tak hanya diputar keras-keras melalui tape yang hari ini dipastikan sudah tak beredar lagi dipasaran. Tapi posternya yang cukup besar juga tertempel di dinding kamar berukuran lebih kecil dari kos-kosan mahasiswa paling miskin sekalipun.

Beberapa kali aku mencoba mencuri masuk ke dalam kamar ketika pemiliknya tidak di rumah. Keperhatikan satu persatu koleksi kaset miliknya yang terkadang berserakan begitu saja di lantai. Tidak hanya Iwan Fals. Juga ada Slank, Iron Maiden, Bon Jovi. Ahmad Albar. Dan banyak lagi. Tapi mungkin juga karena terlalu sering aku melihat poster Iwan di dinding kamarnya. Mungkin juga aku terlalu sering mendengar Iwan berteriak-teriak dari tape miliknya. Dari semua koleksi kaset miliknya, Iwan Fals membuatku jatuh hati.

Aku jadi menikmati suara musik yang diputar keras-keras di sore yang seharusnya tentram. Di dalam hati, aku seperti membela lelaki itu saat ibunya mencak-mencak memerintahkan suara musik tersebut dimatikan. Dan aku ikut-ikutan sedih ketika perempuan tua itu berhasil memenangkan pertarungan dengan masuk ke dalam kamar dan mematikan suara musik tersebut. Aku tidak rela. Iwan Fals dimatikan. Tapi bagaimanapun perempuan tua itu adalah penguasa rumah ini, mendominasi semua peraturan sebab sang suami ternyata lebih banyak diam.

Pelan-pelan aku mulai mengagumi lelaki itu. Lelaki yang tanpa direncanakan telah memperkenalkan Iwan Fals kepadaku. Aku semakin ingin merasa akrab dengannya. Tapi siapa aku? Ah, aku hanya anak kecil yang bahkan belum genap tiga tahun duduk di bangku Sekolah Dasar. Anak kecil yang tak layak berteman dengannya yang mulai tumbuh remaja.

Suatu hari, peristiwa mendebarkan terjadi dalam hidupku. Aku, bersama adik perempuanku, bersama seorang sepupu sedang bermain di teras rumah. Bapak baru saja membelikan balon gas yang bisa terbang itu. Namun sebagai anak kecil, aku tidak rela balon gas tersebut terbang. Ada benang yang diikatkan sehingga aku tetap bisa mengontrol balon tersebut. Kami sangat gembira. Tertawa terbahak-bahak. Berlari ke sana kemari. Lelaki tua yang menghisap lintingan tembakau di teras rumah juga terlihat gembira menyaksikan kami, cucu-cucunya. Tapi tiba-tiba petaka terjadi.

Benang di tanganku terlepas. Balon gas terbang. Menabrak langit-langit teras. Angin sore yang menampar-nampar dahan kelapa di depan rumah, juga menampar-nampar balon tersebut. Balon itu bergerak perlahan ke tepian. Sebentar lagi balon itu akan terbebas dari benturan langit-langit rumah, dan akan segera bebas menuju langit yang sebenarnya. Aku mulai ingin menangis. Tak rela kehilangan. Kesedihan serta merta menyergap. Mataku berkaca-kaca. Adik dan sepupuku tak mampu berbuat banyak. Tubuh kami bertiga terlampau kecil untuk menggapainya. Mulutku terkatup. Ingin berteriak minta tolong, tapi tak ada suara yang keluar. Mataku pasrah menyaksikan balon tersebut yang semakin bergerak ke pinggiran langit-langit teras. Dadaku berdebar hebat.

Hingga akhirnya balon tersebut benar-benar terbebas dari langit-langit teras. Titik air di mataku jatuh. Aku menangis. Tiba-tiba saja aku merasa tidak perlu untuk menangis. Dari dalam rumah, seorang lelaki remaja dengan sigap berlari begitu cepat. Sampai di ujung teras dia melompat begitu tinggi. Tangannya menggapai benang yang menjuntai. Balon gas yang benar-benar siap untuk pergi tersebut berhasil diselamatkan. Lelaki itu pahlawanku. Pahlawan yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

“Kalau kau bersedih, tidak apa-apa jika ingin menangis. Tapi untuk balon yang ingin pergi ini, tak ada yang perlu ditangisi. Kalaupun dia harus pergi, biarkan dia pergi. Tapi kalaupun balon ini ternyata masih berhasil kau kuasai. Rawat dia dengan baik. Tapi kalau suatu hari nanti dia benar-benar ingin pergi, merelakan adalah jalan terbaik.”

Lelaki pahlawan itu menyerahkan balon gas yang tak jadi pergi tersebut kepadaku. Perkataannya kuingat betul. Di hari-hari selanjutnya balon itu benar-benar kurawat. Sampai suatu hari gas yang ada dalam dirinya habis. Balon tersebut kehilangan kesaktiannya untuk terbang. Tapi tetap kurawat. Hingga akhirnya dia benar-benar pergi meninggalkanku. Balon tersebut jatuh di rerumputan halaman rumah. Dan pecah begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada aku yang telah berhari-hari merawatnya. Balon itu pergi. Aku rela.

Lelaki pahlawan itu adalah pamanku sendiri. Tujuh bersaudara. Dia yang paling bungsu. Kesemuanya laki-laki. Yang paling tua, bekerja di pemerintahan. Tinggal di seberang kota. Anak nomor dua. Seorang pengangguran. Kadang menjadi tukang apa saja. Tukang buat rumah. Tukang cat rumah. Tukang judi juga. Anak nomor tiga, bekerja di sebuah universitas negeri di kota Pontianak. Menikah dengan seorang perempuan dari Jawa Barat. Kemudian melahirkan aku. Anak nomor empat tinggal di luar kota. Nomor lima juga di luar kota. Nomor enam saat itu belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya. Bersama adiknya yang bungsu. Nomor tujuh. Yang telah menyetel keras-keras suara Iwan Fals di sore yang tentram. Yang telah menjadi pahlawan penyelamat balon gas yang hendak pergi meninggalkanku.

Anak ketujuh dari tujuh bersaudara yang keseluruhannya laki-laki terssebut bernama Dudi Suryadi. Aku memanggilnya Paman Dudi. Seperti anak-anak kecil sebaya yang memiliki idola; Batman, Superman, Megaloman, Spiderman, dan segala macam superhero lainnya, idolaku tak berubah. Paman Dudi. Tapi perlu kalian tau, idolaku ini bukan orang kuat baik hati yang dicintai umat manusia seperti yang kalian sering lihat di televisi. Karakternya sama sekali berbeda.

Dia, Dudi Suryadi, adalah remaja yang tumbuh dengan kenakalan teramat sangat. Aku masih ingat ketika di tamat SMP, Dudi tercatat berpindah-pindah dari sekolah satu ke sekolah lainnya. Dan tak satu SMA pun yang ditempuhnya, berhasil ia selesaikan. Penggemar Iwan Fals ini sudah merokok ketika dia belum remaja. Sudah minum alkohol ketika dia masih remaja. Sudah nongkrong bersama teman-temannya hingga pagi hari ketika masih remaja. Kenakalan luar biasa inilah yang membuat ibunya, nenekku, tak pernah berhenti untuk mencerewetinya. Setiap hari. Tak jarang berakhir pertengkaran di antara keduanya. Keenam saudaranya bingung. Dudi bukanlah anak baik yang bisa menurut begitu saja ketika dinasehati.

Di usia remajanya dia sudah menjadi member sebuah gank yang ditakuti di kota Pontianak. Bongar nama gank tersebut. Singkatan dari Bocah Ngarit. Sepeda ontel yang biasa digunakan orang-orang untuk mencari rumput, adalah ciri khas gank ini. Berkelahi dengan anggota gank lain, adalah pekerjaannya. Tahun demi tahun aku lewati bersama sang idola. Ketika aku mulai tumbuh remaja. Aku mulai mengikuti gayanya. Aku pernah menemukan di bagian belakang buku tulis sekolahnya, coret-coretan seperti puisi, aku pun mulai menulis puisi. Aku pun mulai mendengarkan Iwan Fals. Akupun ikut nongkrong dengan teman-temanku. Aku juga berkelahi. Merokok. Minum alkohol.

Dudi Suryadi menjadi inspirasiku. Inspirasi yang tentu saja dosa besar di mata keluarga. Ketika suatu hari ibuku marah-marah sebab aku pulang ke rumah ketika sudah pagi, yang dikatakannya, “Jangan kau ikuti jejak pamanmu itu.” Ah, mulut ibuku sama seperti mulut ibunya paman Dudi. Begitulah, kenakalan Dudi Suryadi membuat dirinya adalah musuh bersama di antara keluarga kami. Tapi tidak bagiku. Dia adalah pahlawanku. Pahlawan yang mengajarkan aku untuk tetap terjaga hingga pagi hari. Bersama lirik-lirik Iwan Fals yang menggetarkan itu.

“Lelaki tengah malam terkulai di tepi malam.” Iwan Fals meraung-raung di hari pertama bulan januari. Sepanjang malam, di pinggir jalan, Dudi bersama anggota gank nya menenggak minuman keras. Membuat markas dari kertas semen yang didesain sedemikian rupa membentuk seperti sebuah goa. Sarang laba-laba dari tali rapia juga tak terlewatkan. Suara musik berdentum dentum. Orang-orang berjoget. Mabuk. Penyambutan tahun baru yang cukup lumrah bagi anak muda Pontianak di tahun 80an. Terinspirasi dari pamanku ini, aku pun berada di sana. Bersama teman-teman remaja lainnya. mengepulkan asap rokok. Menenggak alkohol. Orang-orang Pontianak menyebutnya lonang.

Begitulah, Paman Dudi menjadi sosok yang berpengaruh besar bagi kehidupanku di hari-hari berikutnya. Tapi ini adalah rahasia besar dalam hidupku. Mengidolakan seorang pemabuk seperti Paman Dudi tentu adalah dosa besar di mata keluarga. Tidak, aku tidak boleh memberitahukan hal ini kepada siapapun. Biarlah Paman Dudi tetap di hatiku tanpa seorangpun yang tau.

Tamat SMA, aku hijrah ke Jogjakarta. Menumpang kapal laut milik pemerintah. Membawa harapan luar biasa dari orang tua di rumah. Kuliah. Untuk pertama kalinya aku harus tinggal jauh dari keluarga. Berhadapan dengan tugas kampus. Berhadapan dengan pakaian kotor. Berhadapan dengan uang kiriman yang tak kunjung datang. Beruntung, aku memiliki paman Dudi di hatiku. Sehingga ketika teman-teman asrama Kalimantan Barat, tempat singgahku ketika di Jogja, menawariku alkohol, tentu saja hal itu sudah bukan makhluk asing bagiku. Teguk demi teguk alkohol kunikmati. Dengan bangga kuceritakan kepada teman-temanku bahwa aku sudah minum alkohol semenjak masih SMP. Akibatnya apa? Benar, aku ditendang dari asrama Kalbar sebab alkohol.

Rumah berikutnya tempatku berteduh adalah kampus. Bernama sanggar teater, aku
tumbuh menjadi gelandangan remaja di Jogjakarta. Meneruskan apa yang telah dilakukan paman dudi di buku pelajaran sekolahnya, aku juga menulis puisi. Terus menerus aku mendengarkan Iwan Fals. Bahkan menyanyikannya bersama teman-teman di kampus. Kubiarkan rambutku terurai panjang. Saat aku kelaparan, aku tak pernah takut walaupun orang tua begitu jauh di kampung halaman. Ada paman Dudi di hatiku. Matanya yang merah. Nafasnya yang memburu. Badannya yang kurus. Mukanya yang tirus. Lelaki itu membuat aku perkasa dalam kesendirian di Jogjakarta. Ini adalah perjalanan pertamaku. Ini akan menjadi perjalanan yang teramat panjang. Ini adalah awal mula kisah perjalanan yang tak pernah berpenghujung.

Hingga akhirnya, ketika usiaku menginjak 21. Sebuah kabar duka kudengar dari kampung halaman. Paman Dudi meninggal dunia. Entah apa penyebabnya, tapi seluruh anggota keluarga memvonis bahwa terlalu banyak alkohol di dalam tubuhnya. Paru-parunya sudah rusak parah sebab terlalu sering terjaga hingga dini hari. Dia pengangguran tak berguna. Wajar kalau dia mati muda. Vonis keluarga begitu kejam. Aku tak pulang saat dia disemayamkan. Yang kulakukan setelah mendengarkan kabar kematian, pergi berbelanja ke tempat yang sering kudatangi. Membeli sebuah botol dengan gambar orang tua dengan janggut yang begitu panjang. Minuman itu bernama Anggur Cap Orang Tua. Orang Jogja menyebutnya AO. Orang Pontianak memberinya nama, Lonang.

Bukan persoalan alkohol yang ingin kuceritakan kepada kalian, kawan. Sebab hari ini, jika kau suruh aku mengenggak alkohol, sebentar saja kepalaku akan berputar-putar, menderita teramat sangat. Sudah lama minuman itu kutinggalkan. Bukan pula kegagahan terjaga hingga pagi hari yang jadi topik dari cerita panjang ini. Bukan. Tapi tentang sebuah perjalanan panjang, melintasi siang dan malam, menapaki kota ke kota. Negara ke negara. Kabur sejauh-jauhnya. Mencari makna. Ya, mencari makna. Sebab dalam setiap perjalanan makna itu akan ditemukan. Dan inilah yang akan kuceritakan. Sebuah perjalanan panjang. Untuk menemaninya yang telah lama berada di kuburan. Seorang Idola. Seorang Paman.


Pay Jarot Sujarwo

You May Also Like

Posted by Pay Jarot Sujarwo at 14:51:00
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

No comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Blogroll

Author

Like Us

Labels

backpacker belanda catatan kembara catatan perjalanan champa delft islam komunis madrid traveling catatan pernajalan melayu traveling vietnam yukngaji

Popular Posts

  • SMS DARI BUMBUNAN SITORUS
    “Buku dan motivator. Mau tau siapa teman paling setia, tidak cerewet, gampang ditemui, sekaligus guru nan bijak dan sabar? Dialah BUKU! 1...
  • Backpacker Anti Mainstream | Pol Pot Sudah Mati
    Matanya liar. Mengincar para pejalan kaki. Sesekali ia memanjangkan leher. Menoleh ke belakang. Berpaling ke kiri juga ke kanan. Ia menem...
  • Melayu Champa; Tak Ada Bom, Tak ada Pembunuhan
    Pay Jarot Sujarwo Catatan Kembara Vietnam Malam sebelum keberangkatan, saya berdiskusi sepanjang malam dengan seorang teman. Seorang k...
  • Pol Pot is Dead
    His eyes stared wildly, lurking for the walkers. Sometimes he craned his neck, twisted it back, left, right. He saw a man standing in a c...
  • Kisah Barista
    Puisi Pay Jarot Sujarwo kisah apa lagi yang hendak kau ceritakan kali ini, barista. tentang hemingway yang tak pernah berpindah meja d...
  • Perjumpaan
    Hal yang menggembirakan dalam perjalanan adalah perjumpaan. Kau baca saja kisah heroik Agustinus Wibowo menelusuri negeri-negeri berakhi...
  • PAMAN DUDI
    “Lelaki tengah malam terkulai di tepi malam. Orang sisa-sisa menangis. Air matanya api.” Dari sebuah kamar kecil, lebih kecil dibanding...
  • Islamic Trip, Malaysia, Vietnam, Kamboja, 6 Hari 5 Malam, 6,5 Juta Saja
    Bismillahirrahmanirrahiim Islamic Trips South East Asia (Asia Tenggara) Kuala Lumpur | Ho Chi Minh | Phnom Penh | Kampong Champ | Kuchi...
  • Taqorrub ilallah
    Seandainya kita hidup di masa kejayaan Islam, tentu tidak perlu bersusah payah menghitung kurs mata uang yang harus ditukarkan jika in...
  • PERTEMUAN SINGKAT DENGAN BUDI P. HATEES
    Sungai kapuas punye cerite Bile kite minom aeknye Biarpon pegi jaoh kemane Sunggoh susah nak melupekannye (Salah satu bait Lagu ...

THE BLOG THEME

jarotsujarwo@yahoo.com

jarotsujarwo@gmail.com


Tel. 081256918507 (whatsApp)

Pin BlackBerry: 25B5DAFD

Twitter: @jarotsujarwo

Flickr

Popular Posts

  • Islamic Trip, Malaysia, Vietnam, Kamboja, 6 Hari 5 Malam, 6,5 Juta Saja
  • PERTEMUAN SINGKAT DENGAN BUDI P. HATEES
  • SMS DARI BUMBUNAN SITORUS
  • PAMAN DUDI
  • Taqorrub ilallah
Created by - Way2themes - | Distributed By Gooyaabi Templates
  • HOME
  • CONTACT