Pertama kali mengetahui tentang Uighur, saat
saya membaca catatan perjalanan Agustinus Wibowo. Perjalanan tersebut
dilakukannya (jika saya tidak salah) sekitar tahun 2008 atau mungkin sebelum
2008, namun saya baru membacanya antara 2012-2013. Baru kemudian tahun 2014
kisah perjalanan seorang pengembara dari Lumajang ini terbit dalam bentuk buku
berjudul Titik Nol. Dalam buku ini cerita tentang Uighur juga tertera.
Meskipun Agustinus menyentil sedikit perkara
politik dalam tulisannya-China, Tibet, Xinjiang, dan beberapa wilayah lainnya
khususnya terkait garis batas- tapi bagaimanapun juga tulisan itu tetap saja
merupakan catatan perjalanan. Penulis ini lihai menghadirkan paragraf
deskriptif yang pada akhirnya memiliki nilai jual cukup berharga dari
keseluruhan isi catatan. Deskripsi yang memukau dari Agustinus membuat banyak
pembaca terpukau, termasuk saya.
Begitulah, kemudian saya mengetahui bahwa di dunia
ini ada kawasan bernama Uighur. Secara politik, wilayah ini berada di bawah
kekuasaan negara China. Diambil secara paksa. Sebelumnya ini sebuah negara
independent bernama Turkistan Timur. Secara geografis, wilayah ini sejatinya sudah
masuk ke kawasan Asia Tengah. Fisik manusia-manusianya lebih terlihat seperti
orang-orang Asia Tengah, bahkan Eropa. Mata mereka tak sipit, melainkan lebar.
Tak jarang yang memiliki mata kehijauan atau kebiruan. Rambut pirang pun banyak
ditemukan. Sama sekali tak tergambar fisik seperti orang China.
Keindahan deskripsi Agustinus Wibowo saat
bercerita tentang Uighur kemudian menarik minat saya untuk juga bisa berkunjung
ke sana. Sebagai travelbook, Titik Nol adalah buku yang berhasil.
Cuplikan-cuplikan peristiwa politik, meski tak terlalu detil diceritakan, juga menjadi
daya tarik tersendiri bagi orang-orang untuk lebih banyak mengetahui tentang
Uighur. Apalagi ketika mendapatkan fakta bahwa mereka seakidah dengan kita,
kemudian hidup dalam ketertindasan pemerintahan komunis China.
Cukup sampai di situ. Selebihnya tak ada lagi
yang saya ketahui tentang Uighur.
Waktu merambat. Tahun 2015 saya bertemu dengan
Islam. Maksudnya, saya memang dilahirkan dari orangtua yang beragama Islam,
namun baru tahun 2015 lah saya merasa benar-benar bertemu dengan Islam. Mempelajarinya.
Mengikuti kajian Islam cukup intensif. Membaca buku-buku mengenai sejarah
Islam. Sirah Nabawiyah, sejarah sahabat, juga tentang bagaimana Islam kemudian
mampu tersebar hingga ke seluruh penjuru dunia, komplit dengan segala
pernak-perniknya; ketangguhan militer, kedidayaan ilmu pengetahuan, keindahan
seni, keluhuran akhlak, kesempurnaan sistem sosial, politik, ekonomi dan lain
sebagainya.
Pada periode ini kembali saya dipertemukan
dengan Uighur. Lewat bacaan. Kalau pergi ke sana, belum kesampaian. Dokumen
yang saya baca adalah kisah Ibn Fadlan saat menjadi duta Islam dimasa
kekhilafahan Abbasiyah. Waktu itu Ibn Fadlan menjadi juru dakwah di wilayah
Sungai Volga. Ini adalah sungai yang menjadi tempat perlintasan berbagai sukubangsa sub
Mongolia, Turk, Huns, bahkan Jerman. Berbagai macam peradaban juga terjadi di
aliran sungai Volga. Di sepanjang sungai Volga yang bermuara di Laut Kaspia
pernah berdiri negeri Islam Volga-Bolgar pada abad ke-7 hingga ke-11 Masehi.
Dokumen yang lain adalah buku karya sejarawan yang banyak menganalisa soal
Timur Tengah, Eamonn Gearon. Buku itu berjudul Turning Points in Middle Eastern
History. Di chapter ketujuh, Eamonn menulis tentang Battle of Talas, kisah
pertempuran dua adidaya besar yakni dinasti Tang dari China berhadapan dengan
pasukan kaum muslimin dari Khilafah Abbasiyah.
Pertempuran di Sungai Talas ini (saat ini
adalah wilayah perbatasan Khazakstan dan kirgiztan) adalah pertempuran terjauh
dari ibukota negara dari kedua belah pihak. Abbasiyah berpusat di Baghdad
Dinasti Tang berpusat di Chang’an, hari ini berada di wilayah Provinsi Xi’an,
negara China. Kedua belah pihak harus menempuh jarak ribuan kilometer hingga
akhirnya mereka bertemu di sungai Talas.
Meskipun kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sudah begitu tersohor,
dua kekuatan adidaya, tapi tetap saja tentara bayaran punya peran signifikan
dalam pertempuran kali ini. Pasukan Abbasiyah menggunakan jasa tentara Tibet yang
memang sedang dalam kondisi bermusuhan dengan Dinasti Tang. Sedang Dinasti Tang
menggunakan jasa suku Karluk yang merupakan ¾ dari total jumlah pasukan Dinasti Tang.
The Karluks were Turkic, nomads who made up
part of a large, prominent, nomadic confederacy that hailed from Central Asia.
Their descendants are the modern-day Uighers and Uzbeks. Begitu ditulis Eamonn Gearon dalam bukunya. Orang-orang
Karluk merupakan bagian dari bangsa Turk bangsa nomaden yang begitu terkenal.
Dalam pertempuran Talas, kemenangan berpihak
bagi kaum muslimin. Tak ada yang menduga sebelumnya, pertempuran yang nyaris
luput dari catatan para sejarawan ini malah menjadi turning poin perseberan
Islam. Pertempuran ini tak menghasilkan dendam bagi kedua belah pihak. Tak ada
catatan yang menceritakan pertempuran ulang. Situasi malah berbalik. Kedua
belah pihak malah menjalin hubungan. Islam menyebar nyaris tanpa hambatan.
Bahkan tak lama setelah pertempuran Talas, Dinasti Tang meminta bantuan kepada
pasukan Abbasiyah untuk memadamkan pemberontakan yang terjadi di China.
Ada orang-orang Turk di peristiwa pertempuran
Talas, mereka kemudian memeluk Islam dan menjadi pendukung setia bani
Abbasiyah, nanti keturunan Turk ini menjadi kekuatan besar yang pada akhirnya
mengganti kekuasaan Abbasiyah. Pun menjadi kekuatan adidaya. Tak tertandingi
selama berabad-abad, mengemban dakwah Islam hingga ke ⅔ penjuru dunia. Dikenal dengan sebutan
khilafah Utsmaniyah. Muhammad sang penakluk, merupakan bagian dari keturunan orang-orang
Karluk (Turk).
Begitu juga di sungai Volga, sekarang
posisinya berada dalam wilayah negara Rusia. Islam berkembang pesat di sana.
Orang-orang Turk menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan. Dakwah yang
disampaikan Ibn Fadlan membuat mereka tak hanya memeluk Islam secara individu,
namun juga menerapkan Islam dalam komunitas masyarakat, bahkan dalam
pemerintahan negara. Negara yang cukup terkenal di sana bernama kerajaan
Volga-Bulgar. Mereka tunduk terhadap kekuasaan Abbasiyah yang menerapkan sistem
kenegaraan dengan bersandar kepada syariat Allah.
Orang-orang sungai Volga dari suku Bolgar yang
tidak mau memeluk Islam kemudian menyingkir. Mereka kemudian kawin mawin dengan
orang-orang Slavic, bermukim di suatu tempat, memeluk agama kristen Ortodok,
namun tidak mau melepaskan nama suku mereka. Bolgar. Bulgar. Wilayah mereka
hari ini bernama Bulgaria.
Tak ada yang menduga sebelumnya, bahwa
kemenangan kaum muslimin pada pertempuran Talas adalah awal mula revolusi
dunia. Setelah pertempuran singkat tersebut, banyak orang dari Dinasti Tang
yang dibawa ke Baghdad. Ada yang menjadi tawanan perang, ada pula yang sukarela
ikut setelah mendengar popularitas Baghdad. Mereka berasal dari suku Tibet,
Mongol, Uyghur, Khazak, Turkic.
Di Baghdad, mereka membantu pemerintah dengan
mengembangkan teknologi kertas. Ya, 4 – 5 abad ke belakang, di China kertas
sudah berkembang terlebih dahulu. Orang-orang ini, secara turun temurun
memiliki keahlian membuat kertas yang tak ada tandingannya di dunia kala itu.
Kertas dibuat, ilmu pengetahuan terdokumentasi. Mulai dari syair untuk para
raja hingga penelitian orang-orang terhadap dokumen kuno yang terpatri pada
batu, kayu, dan kulit binatang.
Boom! Khalifah Harun Al Rasyid mendirikan
Baitul Hikmah, perpustakaan tempat menyimpan ratusan ribu buku. Ilmu
pengetahuan meledak. Dilanjutkan oleh anaknya, Khalifah Al Ma’mun, hingga
kemudian Baitul Hikmah menjadi rujukan utama orang-orang dalam menuntut ilmu.
Mengembangkan teknologi canggih pada masanya. Menghasilkan penemuan-penemuan
mengagumkan. Untuk perkara ini, tentu saja jasa orang-orang yang mengembangkan
teknologi kertas terpatri dalam. Orang-orang Uighur adalah salah satu suku yang
tak boleh luput disebut.
Semakin hari Baghdad semakin tak tertandingi.
Inilah peradaban luar biasa yang menjadi satu-satunya pesaing peradaban Roma
yang berpusat di Byzantium kala itu. Bahkan tak membutuhkan waktu lama,
Byzantium redup, Baghdad terang benderang.
Kemajuan ilmu pengetahuan tersebut seiring
sejalan dengan perkembangan Islam. Ya, di dalam Islam, ilmu pengetahuan adalah
sesuatu yang tak terpisahkan. Berkomunikasi bahkan bergaul, pun merupakan
bagian dari ajaran Islam. Akhlak, kecermelangan berpikir, pengelolaan sistem
keuangan, politik, sosial, semua dilakukan dengan asas Islam. Karena itu,
perkembangannya melesat. Kemakmuran menjadi hal yang lumrah. Berkah melimpah
kemana-mana.
Dari Baghdad menuju timur, wilayah-wilayah
rata dengan Islam. Di utara, wilaya Volga – Bolgar semakin berkembang. Lanjut
ke Balkan. Lanjut ke Himalaya. India sampai nusantara. Berada di bawah satu
garis komando. Syariat! Begitu pula ke Barat. Dari Mesir, kemajuan iptek dan
ketertarikan orang terhadap Islam semakin tak terbendung. Hingga lahirlah
manusia penerus Khalid bin Walid bernama Musa bin Nusair. Gubernur Mesir ini
terkenal tak terkalahkan dalam perang, pun begitu piawai mendakwahkan Islam.
Maka peradaban agung ini pun sampailah ke ujung paling barat Afrika.
Al-Maghrib. Maroko.
Sudah selesai? Tentu saja tidak. Orang-orang
Maroko yang telah mendalami Islam setia terhadap pemerintahan Musa bin Nusair.
Salah satu kadernya, yang kemudian namanya akan terus disebut hingga kiamat,
Thoriq bin Ziyad, merangsek ke utara. Sekejab Islam rata di suluruh tanah
Andalus. Kembali, dari Andalusia ilmuan-ilmuan lahir. Kurtubi, Cordoba, menjadi
ibu kota yang membuat orang-orang barat tercengang. Istana Al-hambra, membuat
raja-raja kecil Perancis ternganga. Kemudian orang-orang ini tak mampu berbuat
banyak melainkan ikut mencemplungkan diri dalam menimba ilmu pengetahuan.
Universitas berdiri di Al Magrhib. Fatimah El Bihri pendirinya. Selanjutnya,
bisa kau bayangkan, kembali perhatian dunia hanya tertuju kepada Andalusia.
Islam. Menjadi penerus Baghdad.
Tetapi kekuasaan suatu kaum ada batas masanya.
Seperti yang sudah difirmankan. Andalusia melemah. Terjadi perpecahan besar
bagi Dinasti Islam. Reconquista terjadi. Granada, kerajaan terakhir bagi kaum
muslimin takluk. Tak lama kemudian orang-orang Eropa mendarat di Benua Amerika.
Disusul munculnya Imperium baru. Imperium Spanyol dan Portugal. Orang-orang
Eropa juga ikut merasakan kemegahan ilmu pengetahuan.
Dari Eropa, kertas dikirim ke Amerika. Mesin
cetak modern ditemukan. Produksi masal kertas tak terbantahkan. Ilmu
pengetahuan terus menyebar. Kali ini bermunculan pemikir-pemikir Barat. Ada
harapan tentang kebangkitan di Eropa. Ada harapan tentang kelahiran kembali.
Pada tahun 1762 Jean-Jacques Rousseau seorang filsuf dari Swis
menerbitkan buku Du Contrat Social (Kontrak Sosial). Buku ini dianggap sebagai
pilar revolusi besar Perancis. Rousseau menyerukan percaya kepada tuhan namun
mengingkari wahyu. Dengan kata lain Rousseau menyerukan pemisahan agama dari
kehidupan. Rousseau berpendapat bahwa para pembuat peraturan seperti para
penguasa dan raja tidak mengaitkan perundang-undangan dan peraturan tersebut
dengan tuhan kecuali demi memberikan sifat memaksa kepadanya dan menumbuhkan
rasa takut dalam hati masyarakat untuk melanggarnya. Tulisan-tulisan Rousseau
merupakan faktor penting bagi pertumbuhan sosialisme, romantisme dalam
kesusastraan, totaliterisme, serta perintis jalan ke arah pecahnya revolusi
Perancis.
Selain JJ Rousseau, ada pula
Montesquieu yang menulis Trias Politica. Pada akhirnya rakyat sebagai suatu bangsa juga menuntut pembagian kekuasaan politik
yang adil, yaitu kekuasaan raja harus dibatasi oleh undang-undang dan rakyat
harus mempunyai wakil dalam parlemen. Dalam pemerintahan pun harus ada tiga
kekuasaan yang satu sama lain terpisah, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Dari sini ide-ide mengenai persamaan hak terus
berkembang biak. Gagasan mengenai demokrasi sejak era Yunani kuno, lahir
kembali. Dibungkus dengan sesuatu yang berbau modern.
Di Perancis muncul revolusi besar, rakyat melawan raja dan gereja. Di
Inggris muncul revolusi industri yang dilandasi oleh paham liberalisme.
Kemudian lahirlah golongan kapitalis yang selanjutnya akan memunculkan tindakan
imperialisme. Tentu saja ini bertolak belakang dengan ide ingin terbebas dari penguasa.
Ketika masyarakat sudah terbebas dan punya hak politik, mereka malah melakukan
tindakan imperialisme yang mau tidak mau juga mengurangi hak kemerdekaan bagi
masyarakat yang lain. Tak hanya itu, eksploitasi ekonomi terhadap daerah
jajahan terjadi begitu masif. Pencaplokan tanah-tanah jajahan tak henti
terjadi. Muncul negara-negara adidaya. Perancis, mencaplok sebagian Eropa dan
Indocina. Sebelumnya Spanyol dan Portugal sudah keliling dunia, mulai dari
Amerika latin hingga Nusantara. Inggris dan Belanda begitu juga. Maka lahirlah
perlawanan. Orang-orang menginginkan kemerdekaan. Kita kemudian mengenalnya
dengan nasionalisme.
Sampai tahap ini, benarkah kemerdekaan hakiki terjadi? Tidak. Sebab
nasionalisme pada akhirnya hanya melahirkan batas-batas wilayah yang terikat
dalam sebuah aturan negara. Namun esensi dari penjajahan terus berlangsung.
Penjajahan tak lagi bersifat fisik. Kita kemudian mengenalnya dengan istilah
neo imperialisme. Barat telah benar-benar menguasai dunia dengan ditandai
runtuhnya musuh utama, kekhilafahan Utsmaniah. Akidah yang diemban bernama
sekulerisme dan liberalisme yang ditopang sistem perekonomian bernama
kapitalisme. Maka lahirlah demokrasi. Yang oleh sebagian orang diagung-agungkan
sedemikian rupa. Padahal ini sistem jelas-jelas hanya membahagiakan sebagian
kecil orang, menyengsarakan sebagian besar yang lain. Persamaan yang
dielu-elukan oleh demokrasi berakhir ditataran konsep bagi para penguasa dan
tak lebih dari sekadar utopia bagi jelata. Betul-betul jauh dari rahmat
ilahiyah.
Kasus yang menimpa saudara-saudara kita di Uighur adalah buah dari semua
itu. Pada abad ke-16 sampai abad ke-18, bangsa Cina
dan Rusia mulai mengerlingkan nafsu duniawinya. Ekspansi teritorial terjadi.
Cina mulai bergerak menaklukkan Turkistan Timur dan kemudian merubah namanya
menjadi Sinkiang, sementara Turkistan Barat telah lebih dahulu dicaplok Rusia.
Dengan berbagai alasan politik, Soviet menghapuskan nama Turkistan dari peta
dunia dan memancangkan nama Republik Soviet Uzbekistan, Republik Soviet
Turkmenistan, Republik Soviet Tadzhikistan, Republik Soviet Kazakestan, dan
Republik Soviet Kirgistan.
Nanti
perlawanan-perlawanan dilakukan. Tapi tidak lagi mampu menjadi perlawanan yang
berarti. Sebab semangat perlawanannya sudah berbeda. Nasionalisme. Orang-orang
khazak hanya melawan untuk suku dan wilayahnya saja. Begitu pula orang-orang
uzbek. Pun sama dengan perlawanan kirgiz dan Uighur. Kemenangan hakiki tak
diraih dari perlawanan ini. Islam yang menjadi akidah mereka tak digunakan
sebagai pemersatu. Padahal sejak dulu, selama berabad-abad begitu tersohor
kekuatan Islam di segala bidang. Militer tak terkalahkan. Ekonomi
mensejahterakan. Politik adil. Sosial terjaga kehormatannya. Inilah masalah
utama kita. Akidah.
Lihat hari ini.
Saudara-saudara kita di Uighur mengalami penindasan begitu rupa. Apa yang bisa
kita lakukan? Maksimal menghujat negara Cina. Karena kita masih punya sedikit
iman, kita berdoa siang malam demi keselamatan Uighur. Tapi ikhtiar apa yang
bisa kita lakukan? Mana kekuatan besar yang begitu dibanggakan pada masa lalu
itu? Mana?!
Beberapa kali saya
harus menahan sesak dada ketika membaca berita tentang Uighur. Orang-orang di
sana betul-betul perlu pertolongan yang nyata. Orang-orang di sana butuh
persatuan yang nyata. Persatuan yang dilandasi akidah, yang membuat kita
benar-benar bersaudara. Akidah ini akan membentuk sebuah peraturan yang akan
dijalankan sebuah institusi pemerintahan. Jika ini terjadi, maka begitu mudah
kita akan selesaikan kasus Uighur. Menyusul wilayah-wilayah yang lain seperti
Suriah, Palestina, Rohignya, Kashmir, dan lain sebagainya.
Akan muncul Mu’tasim
baru. Musa bin Nusair baru. Khalid bin Walid baru.
Sebentar lagi!
No comments:
Post a Comment