Seandainya kita
hidup di masa kejayaan Islam, tentu tidak perlu bersusah payah menghitung kurs
mata uang yang harus ditukarkan jika ingin ke luar negeri. Dinar dirham cukup.
Berlaku di seluruh wilayah Khilafah Islamiyah. Begitu juga dengan paspor yang merupakan
dokumen paling nyata tentang pengkotak-kotakan umat manusia. Umat Indonesia
berbeda dengan umat Malaysia berbeda dengan umat Thailand, Kamboja,
Spanyol, Belanda, berbeda pula dengan umat Bulgaria, meskipun beragama sama,
Islam. Umat Indonesia tak bisa begitu saja masuk wilayah Bulgaria. Punya uang
berapa di rekening? Begitu pertanyaan umum yang biasa dilontarkan petugas
wawancara di kedutaan dalam rangka mengurus visa.
Ya, semenjak
1924 Islam kalah. Hari ini, 3 Maret 92 tahun lalu, Islam tunduk dan pasrah dipecah belah atas nama nasionalisme. Sistem juga tentu saja harus nurut dengan pemenang perang. Dipaksa sistem yang tak
lagi menerima Dinar dirham di batas negara, akhirnya terpaksa menukar uang
Dolar, Ringgit, dan Dong Vietnam. Tujuan
saya adalah Vietnam dengan transit di Kuala Lumpur. Karena itu lah kedua mata
uang tersebut saya miliki. Lalu bagaimana dengan dolar? Saya juga miliki meski
tak berangkat ke Amerika. Tapi Amerika pemenang perang, meski kita tak suka,
dolar tetap dibutuhkan. Bahkan Kamboja, mata uangnya seperti tak bernilai.
Orang-orang lokal berbangga-bangga berbelanja dengan US dolar.
Baik, ini
rencana awal saya. 2 Maret terbang dari Pontianak ke Kuala Lumpur, lanjut ke Ho
Chi Minh. Di negara yang menerapkan sistem sosialis komunis tersebut saya akan
berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lain. Motivasi utama perjalanan
kali ini adalah ibadah. Ya, berbeda dengan apa yang saya lakukan pada
perjalanan sebelumnya. Gagah sebab menyandang predikat backpacker, namun abai
dengan perintah pencipta, adalah hal yang sangat saya sesali.
Membuat bekas
jejak di salju yang membentang di kota tua Sofia. Menggenjot pedal sepeda di di
jalur khusus kota Rotterdam. Masuk perpustakaan dan menemukan buku yang saya
tulis sendiri di Leiden. Menyaksikan ratusan demonstran menembus dingin malam
di Madrid. Apa lagi? Menyebrangi Spanyol, lintas batas, menuju ujung Protugal,
pernah saya alami. Betapa bangganya saya waktu itu. Tapi apa? Selain riya’ sana
sini.
Hingga akhirnya
saya harus menangis menyaksikan saudara sesama muslim, yang miskin, yang
minoritas, yang diabaikan negara, namun tetap berbahagia menjadi muslim.
Kejadian itu saya alami di salah satu pojok kota Phnom Penh. Roti dan susu
kental manis menjadi santapan kami di Masjid tak jauh dari sungai Mekong. Ada seorang
yang bisa berbahasa Melayu. Belajar Islam di Malaysia. Bercerita banyak hal. Luar
biasa. Kejadian lain, seorang ibu asal Surabaya, bekerja 10 tahun di Malaysia,
kemudian dipercaya mengelola restoran halal di Siem Riep. Ketulusan muslimah
berusia lanjut ini beberapa kali membuat jantung saya berdegup lebih kencang.
Bulu kuduk merinding. Seminggu saya disuruh makan di restoran tempat ia bekerja
tanpa membayar. Halal dan langka. Orang-orang itu betapa sederhana.
Suatu hari, di
pedesaan Mae Chan, ujung Thailand, masuk dalam provinsi Chiang Rai, saya sudah
putus asa. Tak menemukan makanan halal di sebuah tempat seperti lapangan bola
yang berisi puluhan tempat makan. Seorang perempuan berkerudung di seberang
jalan berteriak memanggil saya. Dia pedagang roti. Bahasanya tentu saja tidak
saya mengerti. Dia juga tidak mengerti bahasa Inggris yang saya ucapkan.
Pedagang roti ini mengulurkan setumpuk nasi dengan telor goreng ke saya. Nasi
itu dibawanya dari rumah. Yang seharusnya masuk ke perutnya sebagai makan
malam. Tapi perempuan muslimah pedagang roti ini memilih memberikan makanannya
kepada saya. Saya sodorkan Bath, ia menolak. Lagi, saya terenyuh. Manusia macam
apa ini? Eropa begitu mentereng. Foto sana sini sambil disebar ke sosial media
agar dilihat orang-orang dari kampung halaman. Begitu tersesat, hendak bertanya
ke orang yang lewat, dibalas “No!” Bahkan bertanya arah saja orang-orang Eropa
enggan menjawab.
“Islam itu tidak
pro dengan perempuan. Al-Qur’an itu kejam. Seenaknya saja menyuruh membunuh
atau pun juga potong tangan!” kata seorang traveler Dominica berkebangsaan
Amerika ketika berbicara dengan saya dan mengetahui bahwa saya seorang muslim.
Waktu itu saya sudah lama tidak sholat. Waktu itu saya sudah lama sekali abai
dengan apa yang diperintah dan dilarang pencipta. Tapi waktu itu darah saya
mendidih.
Kalau Islam itu
kejam, ibu-ibu tua di sebuah restoran halal di Siem Riep tak akan memberikan
makanannya kepada saya secara gratis. Juga perempuan berkerudung yang berjualan
roti di tengah puluhan pilihan aneka ragam makanan tak halal. Tapi tentu saja
memang bukan itu takarannya. Kejadian-kejadian itu tak bisa pula disebut
sebagai alasan utama saya kemudian memilih membersihkan diri dari segala najis
kemudian mengambil air wudhu dan takbirratul ihram. Tentu saja banyak kisah
lain.
Banyak sekali
orang bertanya kepada saya. Hampir semua pertanyaan tersebut saya jawab, “tidak
tahu.” Ada kuasa Allah yang kemudian membuat saya merasa perlu bergabung di
barisan kaum muslimin pada sebuah subuh yang dingin. Kami semua teriak
“Aamiin!” sesaat setelah imam berucap “waladholin”. Kenapa saya ngotot menyisihkan selimut dan memilih
bercengkrama dengan dingin demi sampai di dalam masjid, tidak tahu. Begitu yang
saya ucapkan ke beberapa teman. Saya merasakan kenikmatan yang jauh mengalahkan
nikmatnya keju di sebuah resort mahal di kota Pamporovo, Bulgaria. Dahsyat.
Seketika perjalanan saya berpindah dari satu bandara ke bandara lain, seperti
tak ada apa-apanya.

Ini
pertanyaan tidak nyambung. Apa hubungannya antara ‘hijrah’ dengan traveling? Kita
abaikan sebentar pertanyaan ini. Saya masih ingin bercerita tentang peristiwa
yang lain. Ya peristiwa yang lain. Di Bangkok, sungguh ini sebuah kota yang
begitu besar. Macet dimana-mana. Turis dimana mana. Banci dimana-mana. Ini kota
tempat maksiat merajalela. Di beberapa lokasi seperti hotel, restoran, mall,
tak susah untuk menemukan tiga bilik toilet. Bilik laki-laki, bilik perempuan,
bilik transgender (lebih dikenal dengan sebutan ladyboy). Prostitusi dan
pertunjukan aurat jadi dagangan yang begitu laris. Di bangkok, saya memilih
untuk tidak bergabung dalam riuh rendah kemaksiatan tersebut. Tidur di sebuah
rumah milik keluarga muslim yang menjadi pilihan.
MasyaAllah,
keluarga ini mengingatkan saya akan kampung halaman di awal 90-an. Dimana semua
orang begitu ramah. Ya, di tengah-tengah kota besar seperti Bangkok, terdapat
sebuah keluarga muslim yang hidup di tengah perkampungan muslim yang
masyarakatnya saling mendoakan satu sama lain, semoga selamat dan berkah. Hati saya
semakin teraduk-aduk. Seberapa jauh jarakmu dengan Allah azza wa jalla? Waktu
itu jarak saya begitu jauh. Waktu itu, saya tersentuh.
Sekarang
saya sedang di HO Chi Minh, kota modern di Vietnam selatan. Duduk di dalam
sebuah restoran halal milik pengusaha dari Malaysia. Tak jauh dari restoran ini
ada masjid yang cukup besar. Sebentar lagi saya akan ke sana. Saya tak ingin
jauh lagi dengan pencipta.
Teman,
neraka itu bukan bualan para Ustadz untuk menakut-nakuti kita. Bukan metode
atau kiat jitu meraih banyak jamaah. Keberadaannya pasti. Please, jangan
memilih untuk pergi ke sana.
Menjadi Islam yang kaffah itu tidak semudah memasang keterangan agama Islam dalam KTP. Selama ini banyak orang Islam, ya mungkin termasuk saya sendiri, merasa belum bisa melakukan seperti apa yang diperintahkan Sang Pencipta melalui junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Jika saya melihat keadaan Bang Pay dulu, Masya Allah... Itulah yang dinamakan hidayah. Dan Alhamdulillah Bang Pay termasuk salah satu diantara jutaan umat muslim yang mendapatkan hidayah tersebut. :-)
ReplyDelete