Pengembara Muslim | writer - traveler - coffee drinker

catatan perjalanan dari seseorang yang telah menyerahkan hidupnya untuk Islam

  • Home
  • Buku Saya
  • Works
  • Features
  • Tentang Saya

Konser di Dalam Kereta

Pay Jarot Sujarwo Thursday, 12 March 2015 1 Comment
Seorang tua duduk menguasai kursi yang sedianya untuk dua orang. Sesuai dengan nomor yang tertera di dalam tiket, seharusnya aku duduk di sebelahnya. Tapi dia diam saja. Kakinya duduk bersila sehingga kursi terlihat penuh. Aku tersenyum kepadanya. Lelaki tua itu tersenyum balik sambil mengarahkan matanya mengikuti aku yang menyimpan backpack ke atas kabin. Kuputuskan untuk tidak mengganggunya. Aku duduk di depannya yang kebetulan saat itu masih kosong. Jam keberangkatan masih setengah jam. Tak lama, dua lelaki kulit putih berjalan ke arahku. Memperhatikan tiket yang ia pegang. Kutanyakan, apakah mereka duduk di kursi yang sedang kududuki? Mereka mengiyakan, tapi tak menyuruhku untuk pindah. Masih ada kursi kosong di belakangku, mereka menempati kursi tersebut. satu per satu penumpang yang lain berdatangan. Dua lelaki muda bermata sipit. Dari China. Menggendong backpack yang begitu besar. Beberapa orang lokal. Para traveler berbadan tinggi besar. Dua perempuan berwajah cantik. Seorang lelaki muda dari Jepang berbadan mungil. Wajahnya senantiasa tersenyum. Di ujung gerbong, seorang lelaki duduk dengan santai. Sebuah gitar diam membisu di sebelahnya.

Kereta ini akan menempuh perjalanan yang begitu panjang. 15 jam kalau tidak delay. Aku membeli tiket kelas tiga, tiket dengan harga paling murah. Beberapa jam sebelumnya, seorang perempuan Amerika terkejut ketika aku memilih tiket kelas tiga. Dia meragukan aku bisa tertidur di gerbong dengan kursi keras, jendela terbuka, kipas angin, bau toilet, berhimpitan dengan penumpang lain, serta perjalanan yang begitu panjang. Kukatakan, di negaraku, kondisi angkutan kereta api jauh lebih parah dibanding di sini. Dan aku sudah pernah melewati kondisi yang paling buruk. Tidak akan ada masalah.

Pukul lima sore, terdengar lengking peluit. Rel berderit. Dua orang kulit putih di belakangku berkeluh kesah tentang kaki mereka yang terlalu panjang  sehingga tidak bisa duduk dengan tenang. Kereta berjalan. Seorang petugas mulai memeriksa satu per satu kercis penumpang. Dua orang China setelah memastikan backpack yang mereka bawa aman di kabin, berjalan menuju belakang gerbong. Sibuk mengambil gambar dari kamera seluler dan juga DSLR. Sepasang suami istri membuka tas, mengeluarkan persediaan makanan. Bagi orang-orang  Thai, dengan kondisi ekomomi yang serba pas-pas-an, membeli makanan di atas kereta bukanlah ide yang cerdas. Sepasang suami istri ini terlihat bahagia. Sesekali mereka bercanda. Melupakan perjalanan panjang. Barangkali juga melupakan kemiskinan yang mereka derita. Di Bangkok, mungkin mereka akan mengadu nasib, mencari kehidupan yang lebih layak. Seperti jutaan manusia lainnya di seantero Thailand yang bertumpuk di ibukota yang semakin hari semakin penuh dengan manusia dari seluruh dunia.

Senja lewat. Di luar gelap. Dari Chiang Mai, kereta sudah melewati beberapa stasiun. Jumlah penumpang bertambah. Entah di stasiun ke berapa, kereta berhenti agak lama. Mereka menambah gerbong. Melihat gerbong kosong, beberapa orang pindah. Termasuk dua lelaki kulit putih yang berkeluh kesah tentang posisi duduk yang tidak nyaman. Beberapa penumpang pulas. Sebagian yang lain merokok di sela gerbong. Tiba-tiba aku mendengar dawai gitar dipetik. Lelaki di ujung gerbong. Sebelumnya terdengar dia bercakap-cakap dengan penumpang lain dengan bahasa Inggris yang patah-patah. Denting gitar bercampur dengan suara roda kereta. Aku mencoba memejamkan mata.
Lelaki itu tak bersuara. Hanya jemarinya yang terus memainkan nada. Aku sangat kenal dengan melodi itu. Hotel California. Beberapa pasang mata mengarah kepadanya. Beberapa penumpang terlihat menikmati petik gitarnya. Bisa jadi ada penumpang lain yang merasa terganggu. Aku tak tau. Mataku sudah terpejam ketika tiba-tiba kudengar lelaki itu berhenti memetik gitar. Seseorang menghampirinya. Mereka bercakap-cakap. Tak terlalu jelas apa yang dipercakapkan. Aku membuka mata. Memanjangkan leher sedikit. Gitar sudah berpindah tangan. Seorang lelaki bertubuh jangkung. Rambutnya ikal dengan brewok yang sebagian sudah memutih. Ada tato di kedua lengannya. Aku mencoba mendengarkan percakapan mereka. Gagal. Padahal jarak kami tak terlalu jauh. Barangkali suara mereka begitu pelan sedangkan suara kereta lebih mendominasi. Kucoba lagi menutup mata, tapi cepat kubuka kembali. Lelaki jangkung dengan brewok yang sebagian memutih mulai memetik gitar. Suaranya halus enak didengar.

Gitar berhenti mengalun. Dua lelaki bercakap-cakap. sekarang terdengar lebih jelas. Lelaki jangkung memberi tahu tentang kondisi gitar yang sedang dipegangnya. Dijelaskan oleh si pemilik, bahwa dia membelinya di Chiang Mai dengan harga yang murah. “Untuk harga yang murah, gitar ini cukup bagus,” kata lelaki jangkung, “Cuma mungkin kamu perlu melakukan beberapa perbaikan agar posisi senar lebih pas sehingga suaranya bisa terdengar lebih halus,” lelaki jangkung tersebut sepertinya seorang musisi. Kembali dia bermain. Blues. Jemarinya lincah menari bersama dawai. Sesekali dia tersenyum. Kakinya menghentak di lantai kereta mengiringi musik. Asik. Lelaki jangkung menoleh ke arahku. Aku tersenyum. Dia tersenyum. Aku mendekat. Mengeluarkan DSLR dari dalam tas. Minta izin untuk merekam “konser di dalam kereta” tersebut. permintaan izin dikabulkan. Dia bermain lebih bersemangat. Kameraku merekam. Lelaki China yang sejak tadi merokok di ujung gerbong juga mendekat. Seorang temannya pulas tertidur. Jumlah pasang mata yang menoleh ke arah “konser” bertambah.

Satu lagu selesai. Aku mematikan kamera kemudian bertepuk tangan. Lelaki pemilik gitar tampak bahagia. Kami berkenalan. Lelaki Jangkung bernama Karim. Berasal dari Perancis. Si pemilik gitar menyebut namanya sebagai Ni, dari Hongkong. Si lelaki China, ah, aku lupa namanya. Terlalu susah disebut. Percakapan selanjutnya adalah soal musik. Karim bercerita bahwa Gitar sudah seperti hidupnya. Dia belajar sejak kecil. Belajar otodidak. Juga belajar membaca nada dari buku-buku teori. Dia bisa memainkan blues, pop, alternative, dan berbagai aliran musik lainnya. Tapi favoritnya adalah rock. Di Perancis, Karim memiliki sebuah group band. Mereka rutin bermain di sebuah kafe setiap minggunya. Tapi semenjak menikah dan memiliki seorang anak, Karim menyadari bahwa hidup dari musik saja tak cukup. Dia harus memiliki sebuah pekerjaan tetap. Ketika masih membujang, dia bisa makan apa saja. Tapi pernikahan membuat dia harus berkompromi dengan idealismenya. Sekarang dia bekerja sebagai engineer di pesawat terbang. Pernikahannya gagal. Bercerai. Namun sampai kapanpun dia akan tetap mencintai anak perempuannya.

Kami bercerita banyak. Kami tertawa. Kami bermain musik. Lelaki China tak terlalu lancar berbahasa Inggris, dia sering diam. Tapi ikut tertawa jika ada percakapan yang lucu. Ni, mendaulat Karim sebagai gurunya. Dia meminta Karim mengajarkannya teknik bermain blues. Karim bermain, Ni merekam dengan selulernya. Ini adalah konser luar biasa, batinku. Musik membuat pejalan yang tak saling kenal, kemudian menjadi akrab. Percakapan melebar tak hanya soal nada. Kuceritakan kepada Karim aku berasal dari Borneo. Mendengar Borneo dia antusias. Mengeluarkan selulernya, membuka aplikasi peta. Dia tertarik untuk ke Borneo suatu hari. Ni, suka dengan gitar meski mengaku bukan pemain yang professional. Dari Hongkong seorang diri dia menjelajahi Thailand. Kemana arah tujuannya, dia tak tau. Yang penting berjalan. Si lelaki China akan berada di Bangkok untuk beberapa hari, temannya sudah bangun. Bergabung bersama kami. Bercerita bahwa setelah dari Bangkok, dia akan melanjutkan perjalanan ke India. Aku sendiri akan pulang setelah satu bulan berjalan. Phnom Penh, Siem Reap, Chiang Mai, Chiang Rai, Mae Chan. Di Bangkok nanti aku akan menginap dua hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Malaysia dan pulang ke Indonesia.

Karim menyerahkan gitar ke Ni, lalu minta izin merokok. Aku juga merokok. Lelaki China juga merokok. Di sela gerbong kami melanjutkan percakapan. Banyak hal. Betapa luar biasanya perjalanan. Kami berbagi alamat email. Berfoto bersama. Berteman di facebook. Kemudian kembali ke bangku masing-masing.

photo by: Karim
Seorang teman Amerika di Chiang Mai meragukan apakah aku bisa tertidur di gerbong kelas tiga. Tapi alunan musik Karim dan Ni, percakapan dan keakraban yang kami ciptakan, membuat aku begitu pulas tanpa beban. Hari sudah pagi. Para penumpang sibuk mengabadikan matahari terbit dengan kamera. Di Ayuthaya kereta berhenti. Karim berkemas. Dia menyalamiku. Dia akan turun di sini, kemudian akan pergi ke pantai, beristirahat sehari dua hari, kemudian akan pergi ke sebuah pulau. Menyelam. Beberapa saat setelah Karim pergi, Ni terbangun. Dia mencari Karim. Kukatakan Karim sudah turun. “Apakah kita sudah sampai di Ayuthaya?” Tanya Ni. Aku mengiyakan. Ni bergegas. Barang bawaannya tidak banyak. Kutanyakan dia mau kemana?

“Menyusul Karim, aku ingin belajar gitar dengannya!” teriak Ni sambil melompat keluar kereta yang sudah bersiap-siap berjalan menuju Bangkok. Di kepalaku, alunan Blues dari Karim masih mengalun.

Bangkok, Maret 2015

https://www.youtube.com/watch?v=i8GJ9TW0WdE

Pay Jarot Sujarwo

You May Also Like

Posted by Pay Jarot Sujarwo at 12:40:00
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

1 comment:

  1. Memflasback smantika 202019 November 2015 at 18:59

    Keren...

    ReplyDelete
    Replies
      Reply
Add comment
Load more...

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Blogroll

Author

Like Us

Labels

backpacker belanda catatan kembara catatan perjalanan champa delft islam komunis madrid traveling catatan pernajalan melayu traveling vietnam yukngaji

Popular Posts

  • SMS DARI BUMBUNAN SITORUS
    “Buku dan motivator. Mau tau siapa teman paling setia, tidak cerewet, gampang ditemui, sekaligus guru nan bijak dan sabar? Dialah BUKU! 1...
  • Backpacker Anti Mainstream | Pol Pot Sudah Mati
    Matanya liar. Mengincar para pejalan kaki. Sesekali ia memanjangkan leher. Menoleh ke belakang. Berpaling ke kiri juga ke kanan. Ia menem...
  • Melayu Champa; Tak Ada Bom, Tak ada Pembunuhan
    Pay Jarot Sujarwo Catatan Kembara Vietnam Malam sebelum keberangkatan, saya berdiskusi sepanjang malam dengan seorang teman. Seorang k...
  • Pol Pot is Dead
    His eyes stared wildly, lurking for the walkers. Sometimes he craned his neck, twisted it back, left, right. He saw a man standing in a c...
  • Kisah Barista
    Puisi Pay Jarot Sujarwo kisah apa lagi yang hendak kau ceritakan kali ini, barista. tentang hemingway yang tak pernah berpindah meja d...
  • Perjumpaan
    Hal yang menggembirakan dalam perjalanan adalah perjumpaan. Kau baca saja kisah heroik Agustinus Wibowo menelusuri negeri-negeri berakhi...
  • PAMAN DUDI
    “Lelaki tengah malam terkulai di tepi malam. Orang sisa-sisa menangis. Air matanya api.” Dari sebuah kamar kecil, lebih kecil dibanding...
  • Islamic Trip, Malaysia, Vietnam, Kamboja, 6 Hari 5 Malam, 6,5 Juta Saja
    Bismillahirrahmanirrahiim Islamic Trips South East Asia (Asia Tenggara) Kuala Lumpur | Ho Chi Minh | Phnom Penh | Kampong Champ | Kuchi...
  • Taqorrub ilallah
    Seandainya kita hidup di masa kejayaan Islam, tentu tidak perlu bersusah payah menghitung kurs mata uang yang harus ditukarkan jika in...
  • PERTEMUAN SINGKAT DENGAN BUDI P. HATEES
    Sungai kapuas punye cerite Bile kite minom aeknye Biarpon pegi jaoh kemane Sunggoh susah nak melupekannye (Salah satu bait Lagu ...

THE BLOG THEME

jarotsujarwo@yahoo.com

jarotsujarwo@gmail.com


Tel. 081256918507 (whatsApp)

Pin BlackBerry: 25B5DAFD

Twitter: @jarotsujarwo

Flickr

Popular Posts

  • Islamic Trip, Malaysia, Vietnam, Kamboja, 6 Hari 5 Malam, 6,5 Juta Saja
  • PERTEMUAN SINGKAT DENGAN BUDI P. HATEES
  • SMS DARI BUMBUNAN SITORUS
  • PAMAN DUDI
  • Taqorrub ilallah
Created by - Way2themes - | Distributed By Gooyaabi Templates
  • HOME
  • CONTACT