Seorang tua duduk menguasai kursi yang sedianya untuk dua
orang. Sesuai dengan nomor yang tertera di dalam tiket, seharusnya aku duduk di
sebelahnya. Tapi dia diam saja. Kakinya duduk bersila sehingga kursi terlihat
penuh. Aku tersenyum kepadanya. Lelaki tua itu tersenyum balik sambil
mengarahkan matanya mengikuti aku yang menyimpan backpack ke atas kabin. Kuputuskan
untuk tidak mengganggunya. Aku duduk di depannya yang kebetulan saat itu masih
kosong. Jam keberangkatan masih setengah jam. Tak lama, dua lelaki kulit putih
berjalan ke arahku. Memperhatikan tiket yang ia pegang. Kutanyakan, apakah
mereka duduk di kursi yang sedang kududuki? Mereka mengiyakan, tapi tak
menyuruhku untuk pindah. Masih ada kursi kosong di belakangku, mereka menempati
kursi tersebut. satu per satu penumpang yang lain berdatangan. Dua lelaki muda
bermata sipit. Dari China. Menggendong backpack yang begitu besar. Beberapa orang
lokal. Para traveler berbadan tinggi besar. Dua perempuan berwajah cantik. Seorang
lelaki muda dari Jepang berbadan mungil. Wajahnya senantiasa tersenyum. Di ujung
gerbong, seorang lelaki duduk dengan santai. Sebuah gitar diam membisu di
sebelahnya.
Kereta ini akan menempuh perjalanan yang begitu panjang. 15
jam kalau tidak delay. Aku membeli tiket kelas tiga, tiket dengan harga paling
murah. Beberapa jam sebelumnya, seorang perempuan Amerika terkejut ketika aku
memilih tiket kelas tiga. Dia meragukan aku bisa tertidur di gerbong dengan
kursi keras, jendela terbuka, kipas angin, bau toilet, berhimpitan dengan
penumpang lain, serta perjalanan yang begitu panjang. Kukatakan, di negaraku,
kondisi angkutan kereta api jauh lebih parah dibanding di sini. Dan aku sudah
pernah melewati kondisi yang paling buruk. Tidak akan ada masalah.
Pukul lima sore, terdengar lengking peluit. Rel berderit. Dua
orang kulit putih di belakangku berkeluh kesah tentang kaki mereka yang terlalu
panjang sehingga tidak bisa duduk dengan
tenang. Kereta berjalan. Seorang petugas mulai memeriksa satu per satu kercis
penumpang. Dua orang China setelah memastikan backpack yang mereka bawa aman di
kabin, berjalan menuju belakang gerbong. Sibuk mengambil gambar dari kamera
seluler dan juga DSLR. Sepasang suami istri membuka tas, mengeluarkan
persediaan makanan. Bagi orang-orang Thai, dengan kondisi ekomomi yang serba pas-pas-an,
membeli makanan di atas kereta bukanlah ide yang cerdas. Sepasang suami istri
ini terlihat bahagia. Sesekali mereka bercanda. Melupakan perjalanan panjang. Barangkali
juga melupakan kemiskinan yang mereka derita. Di Bangkok, mungkin mereka akan
mengadu nasib, mencari kehidupan yang lebih layak. Seperti jutaan manusia
lainnya di seantero Thailand yang bertumpuk di ibukota yang semakin hari
semakin penuh dengan manusia dari seluruh dunia.
Senja lewat. Di luar gelap. Dari Chiang Mai, kereta sudah
melewati beberapa stasiun. Jumlah penumpang bertambah. Entah di stasiun ke
berapa, kereta berhenti agak lama. Mereka menambah gerbong. Melihat gerbong
kosong, beberapa orang pindah. Termasuk dua lelaki kulit putih yang berkeluh kesah
tentang posisi duduk yang tidak nyaman. Beberapa penumpang pulas. Sebagian yang
lain merokok di sela gerbong. Tiba-tiba aku mendengar dawai gitar dipetik. Lelaki
di ujung gerbong. Sebelumnya terdengar dia bercakap-cakap dengan penumpang lain
dengan bahasa Inggris yang patah-patah. Denting gitar bercampur dengan suara
roda kereta. Aku mencoba memejamkan mata.
Lelaki itu tak bersuara. Hanya jemarinya yang terus
memainkan nada. Aku sangat kenal dengan melodi itu. Hotel California. Beberapa pasang
mata mengarah kepadanya. Beberapa penumpang terlihat menikmati petik gitarnya. Bisa
jadi ada penumpang lain yang merasa terganggu. Aku tak tau. Mataku sudah
terpejam ketika tiba-tiba kudengar lelaki itu berhenti memetik gitar. Seseorang
menghampirinya. Mereka bercakap-cakap. Tak terlalu jelas apa yang
dipercakapkan. Aku membuka mata. Memanjangkan leher sedikit. Gitar sudah
berpindah tangan. Seorang lelaki bertubuh jangkung. Rambutnya ikal dengan
brewok yang sebagian sudah memutih. Ada tato di kedua lengannya. Aku mencoba
mendengarkan percakapan mereka. Gagal. Padahal jarak kami tak terlalu jauh. Barangkali
suara mereka begitu pelan sedangkan suara kereta lebih mendominasi. Kucoba lagi
menutup mata, tapi cepat kubuka kembali. Lelaki jangkung dengan brewok yang
sebagian memutih mulai memetik gitar. Suaranya halus enak didengar.
Gitar berhenti mengalun. Dua lelaki bercakap-cakap. sekarang
terdengar lebih jelas. Lelaki jangkung memberi tahu tentang kondisi gitar yang
sedang dipegangnya. Dijelaskan oleh si pemilik, bahwa dia membelinya di Chiang
Mai dengan harga yang murah. “Untuk harga yang murah, gitar ini cukup bagus,”
kata lelaki jangkung, “Cuma mungkin kamu perlu melakukan beberapa perbaikan agar
posisi senar lebih pas sehingga suaranya bisa terdengar lebih halus,” lelaki
jangkung tersebut sepertinya seorang musisi. Kembali dia bermain. Blues. Jemarinya
lincah menari bersama dawai. Sesekali dia tersenyum. Kakinya menghentak di
lantai kereta mengiringi musik. Asik. Lelaki jangkung menoleh ke arahku. Aku tersenyum.
Dia tersenyum. Aku mendekat. Mengeluarkan DSLR dari dalam tas. Minta izin untuk
merekam “konser di dalam kereta” tersebut. permintaan izin dikabulkan. Dia bermain
lebih bersemangat. Kameraku merekam. Lelaki China yang sejak tadi merokok di
ujung gerbong juga mendekat. Seorang temannya pulas tertidur. Jumlah pasang
mata yang menoleh ke arah “konser” bertambah.
Satu lagu selesai. Aku mematikan kamera kemudian bertepuk
tangan. Lelaki pemilik gitar tampak bahagia. Kami berkenalan. Lelaki Jangkung
bernama Karim. Berasal dari Perancis. Si pemilik gitar menyebut namanya sebagai
Ni, dari Hongkong. Si lelaki China, ah, aku lupa namanya. Terlalu susah
disebut. Percakapan selanjutnya adalah soal musik. Karim bercerita bahwa Gitar
sudah seperti hidupnya. Dia belajar sejak kecil. Belajar otodidak. Juga belajar
membaca nada dari buku-buku teori. Dia bisa memainkan blues, pop, alternative,
dan berbagai aliran musik lainnya. Tapi favoritnya adalah rock. Di Perancis,
Karim memiliki sebuah group band. Mereka rutin bermain di sebuah kafe setiap
minggunya. Tapi semenjak menikah dan memiliki seorang anak, Karim menyadari
bahwa hidup dari musik saja tak cukup. Dia harus memiliki sebuah pekerjaan
tetap. Ketika masih membujang, dia bisa makan apa saja. Tapi pernikahan membuat
dia harus berkompromi dengan idealismenya. Sekarang dia bekerja sebagai engineer
di pesawat terbang. Pernikahannya gagal. Bercerai. Namun sampai kapanpun dia
akan tetap mencintai anak perempuannya.
Kami bercerita banyak. Kami tertawa. Kami bermain musik. Lelaki
China tak terlalu lancar berbahasa Inggris, dia sering diam. Tapi ikut tertawa
jika ada percakapan yang lucu. Ni, mendaulat Karim sebagai gurunya. Dia meminta
Karim mengajarkannya teknik bermain blues. Karim bermain, Ni merekam dengan
selulernya. Ini adalah konser luar biasa, batinku. Musik membuat pejalan yang
tak saling kenal, kemudian menjadi akrab. Percakapan melebar tak hanya soal
nada. Kuceritakan kepada Karim aku berasal dari Borneo. Mendengar Borneo dia
antusias. Mengeluarkan selulernya, membuka aplikasi peta. Dia tertarik untuk ke
Borneo suatu hari. Ni, suka dengan gitar meski mengaku bukan pemain yang professional.
Dari Hongkong seorang diri dia menjelajahi Thailand. Kemana arah tujuannya, dia
tak tau. Yang penting berjalan. Si lelaki China akan berada di Bangkok untuk
beberapa hari, temannya sudah bangun. Bergabung bersama kami. Bercerita bahwa
setelah dari Bangkok, dia akan melanjutkan perjalanan ke India. Aku sendiri
akan pulang setelah satu bulan berjalan. Phnom Penh, Siem Reap, Chiang Mai,
Chiang Rai, Mae Chan. Di Bangkok nanti aku akan menginap dua hari, lalu
melanjutkan perjalanan ke Malaysia dan pulang ke Indonesia.
Karim menyerahkan gitar ke Ni, lalu minta izin merokok. Aku juga
merokok. Lelaki China juga merokok. Di sela gerbong kami melanjutkan
percakapan. Banyak hal. Betapa luar biasanya perjalanan. Kami berbagi alamat
email. Berfoto bersama. Berteman di facebook. Kemudian kembali ke bangku
masing-masing.
![]() |
photo by: Karim |
“Menyusul Karim, aku ingin belajar gitar dengannya!” teriak
Ni sambil melompat keluar kereta yang sudah bersiap-siap berjalan menuju
Bangkok. Di kepalaku, alunan Blues dari Karim masih mengalun.
Bangkok, Maret 2015
https://www.youtube.com/watch?v=i8GJ9TW0WdE
Keren...
ReplyDelete