Tiga lampu senter menyala menembus gelap. Aroma lumpur
dari parit kering merambat di hidung. Sebagian orang masih terlelap. Tengah
malam baru saja lewat. Beberapa lelaki di Desa Kubu telah bersiap. Menembus
dingin musim barat. Sigap. Membuka temali perahu, merayap menelusuri parit
menuju sungai bakau sarat dengan aroma misteri.
Bersama mitos tentang orang bulian atau yang lebih
dikenal dengan panggilan Orang Kebenaran, serta kecemasan hutan bakau milik
nenek moyang yang semakin hari semakin berkurang dibabat perusahaan kayu milik
pengusaha Singapura, para lelaki pencari kepiting tetap setia dengan bubu dan
perahunya.
Alkisah, sejak ratusan tahun silam, Orang Kebenaran
hidup bersama-sama masyarakat di Desa Kubu, Kalimantan Barat. Orang Kebenaran
adalah makhluk kasat mata. Hanya orang-orang yang kejujurannya mencapai tingkat
Dewa yang bisa melihat keberadaan mereka. Entah jin entah setan, tapi
masyarakat percaya bahwa jika mereka tidak mengganggu kediaman Orang Kebenaran,
maka masyarakat juga tidak akan diganggu.
“Orang Kebenaran tinggal di Gunung Radak, yang masih
merupakan wilayah Desa Kubu,” kata Herman, warga asli Kubu yang sempat mengenyam
pendidikan di Perguruan Tinggi di Pontianak. Keluarga Herman adalah nelayan
penangkap kepiting. Herman yang mengajak saya dan Demanhuri untuk ikut bersama
keluarganya selama tiga hari dua malam mencari kepiting di hutan bakau yang
mengelilingi desa Kubu.
Karena masyarakat betul-betul menjaga kediaman Orang
Kebenaran, otomatis hutan, sungai, bebukitan di Kubu masih terjaga.
Keuntungannya, hasil kepiting yang mereka tangkap cukup memuaskan, bahkan di
ekspor hingga Eropa. Tapi sejak orang pusat, bahkan orang Singapura bawa surat
izin bikin perusahaan kayu, lalu tebang-tebang kayu sejak tahun delapan
puluhan, muncul banyak bencana. Buaya mulai menyerang manusia. Kepiting
berkurang. Orang-orang di kampung konflik soal lahan. Banjir di beberapa
tempat. Raut wajah Herman muram dan murka ketika bercerita.
Orang Kebenaran adalah mitos. Tapi mitos itu membuat
masyarakat hidup rukun bahagia. Perusahaan kayu adalah realitas. Dan realitas
itu semakin hari semakin membuat orang-orang Kubu memendam dendam yang dalam.
Kapal klotok sudah melewati lekuk kelok parit kecil.
kapal ini menggunakan tenaga mesin dompeng. Suaranya gemuruh memecah sunyi. Di
kiri kanan gelap. Tiga sampan kecil tertambat di sisi kapal. Dua di kanan. Satu
di kiri.
“Sampan-sampan ini berfungsi untuk menerobos hutan
bakau tempat nelayan menebar bubu,” kata Herman. Kapal klotok yang biasanya hanya diawaki
oleh tiga nelayan, kali ini ditambah tiga orang lagi. Saya, Herman, dan
Demanhuri. Demanhuri sengaja datang ke Desa Kubu untuk membuat film dokumenter
tentang dampak kerusakan hutan terhadap perekonomian para nelayan. Saya datang
untuk menikmati keindahan hutan bakau di Kubu yang sempat menjadi hutan bakau
terluas di Indonesia setelah Papua. Tapi itu dulu sebelum perusahaan kayu
masuk. Sekarang, entah. Sedangkan tiga orang yang lain adalah bapak, abang, dan
adik Herman. Mereka adalah nelayan tangguh dari Kubu yang menggantungkan
hidupnya dari kepiting, udang, dan ikan.
Hampir dua jam kapal klotok merayapi gulita. Bau
lumpur dari parit kering berganti dengan bau amis ikan sembilang yang digunakan
untuk umpan kepiting. Pukul tiga pagi. Kapal klotok ditambat oleh kapten kapal,
sang ayah ke salah satu pohon bakau di tepian. Kemudian ketiga anak beranak
sigap memasukkan belasan kilo ikan sembilang yang sudah dicacah ke dalam bubu.
Herman dan Demanhuri terlelap.
“Total semuanya ada berapa bubu, bang?” Tanya saya kepada Hamdani, adik Herman.
“Kalau semuanya lebih dari 300 bubu. Satu orang 100an
bubu.” Hamdani menjawab
tanpa memalingkan wajahnya. Lampu senter yang diikat dikepalanya hanya terfokus
kepada umpan dan bubu.
“Dulu, sekali kita turun ke bakau, apalagi saat musim
barat seperti ini, seminggu kita naik ke darat, satu kapal klotok sebesar ini
bisa membawa lebih dari setengah ton. Tapi sekarang? Perusahaan kayu itu telah
membuat kepiting kami pergi.” Sang kapten sejak tadi tak berhenti meracaukan dosa
besar perusahaan kayu. Barangkali karena sepanjang jalan, sebelum memutuskan
untuk tidur sejenak, Demanhuri tak berhenti bertanya tentang aktivitas
penebangan kayu yang dilakukan oleh perusahaan.
Hampir dua jam, 300an bubu telah terisi dengan umpan.
Ketiga nelayan beristirahat sebentar. Menunggu terang. Demanhuri dan Herman
terjaga, demi mengintip dari jendela klotok semburat jingga matahari yang mulai
menghiasi langit.
“Luar biasa.” Saya mendesis. Cahaya kemerahan semakin banyak
bertebaran di langit. Gulita lenyap. Jelas sudah. Di seberang bentang bakau
kokoh menemani matahari terbit. Kicau burung menyergap telinga. Membawa damai
tanpa umpama. Seekor elang melayang rendah. Melengkapi pagi yang begitu indah.
“Saya tak mau pulang. Saya ingin tetap di sini saja
bercengkrama bersama pagi.” Kata saya kepada Demanhuri yang telah berdiri gagah
di depan kapal. Fokus dengan handycam di tangannya.
Desa Kubu terletak di Kabupaten Kubu Raya, kabupaten
termuda di Kalimantan Barat hasil dari pemekaran Kabupaten Pontianak.
Perjalanan menuju desa Kubu dari Kota Pontianak memakan waktu kurang lebih
empat jam. Satu jam mengendarai sepeda motor roda dua hingga ke dermaga
Kecamatan Rasau Jaya dilanjutkan dengan motor air yang disebut klotok selama
tiga jam. Sebenarnya perjalanan bisa lebih singkat jika kita menggunakan speed
boat. Namun jika menggunakan speedboat para penumpang tidak bisa membawa serta
sepeda motornya.
Jingga di timur hilang. Tapi tak menghilangkan suasana
damai. Sesekali lewat sampan bermesin dari nelayan. Dari kejauhan awak sampan
melambaikan tangan dan berteriak menyapa. Lambaian tangan dan teriakan kami
balas. Bapak, sang kapten Kapal, bersama kedua anaknya Bujang dan Hamdani mulai
berkemas. Memindahkan bubu yang telah terisi umpan ke dalam sampan. Di antara
tiga sampan tersebut ada satu yang berukuran agak besar. Bisa dimuati satu
penumpang lagi. Demanhuri melompat ke sampan agak besar tersebut. Hamdani yang
memegang sauh. Sebentar saja, ketiga nelayan bersama Demanhuri sudah tak
terlihat. Mereka berpencar di tiga tempat berbeda. Masuk ke dalam rimba bakau.
Saya dan Herman menunggu di kapal. Memersiapkan sarapan.
Selama musim melaut, kapal klotok adalah rumah para
nelayan. Jika ingin mandi, cukup naik di atas sampan, dan mandi air sungai.
Handuk, sabun dan sikat gigi tersedia. Di bagian belakang kapal, tersimpan
dengan rapi kompor, panci, piring, lengkap dengan garam, kecap, kopi dan gula.
Juga ada persediaan beras. Lauk pauknya apa? Apalagi kalau bukan kepiting,
udang, dan ikan hasil memancing. Tak ada signal seluler, tak ada listrik, tak
ada hiruk pikuk kebisingan. Terselip di sisi kapal sebuah radio tua. Antenanya
kabel panjang yang dijatuhkan ke dalam air. Dahsyat. Suaranya jernih. Tapi
alunan musik ataupun gurauan merdu penyiar radio yang jernih itu bukan berasal
dari pemancar radio Indonesia, melainkan dari Negara tetangga Malaysia. Ketika
frekuensi dipindahkan, mencari gelombang radio Indonesia, suara kemeresek mulai
memenuhi kapal klotok yang pagi itu semerbak dengan aroma beraneka seafood
buatan Herman.
Kurang lebih satu setengah jam berikutnya Demanhuri
dan Hamdani kembali. Disusul oleh Bujang dan terakhir sang Kapten kapal.
Makanan sudah siap. Aku tak sabar menyantap. Ini kepiting segar. Ini ikan
segar. Yang jika tersedia di restoran, ratusan ribu harus kita rogoh hanya
untuk memakan dua atau tiga ekor saja. Sembari makan, Demanhuri gegap gempita
menceritakan pengalamannya masuk ke dalam hutan bakau.
“Seperti di Amazon!” Katanya bersemangat sambil memerlihatkan rekaman
gambar di handycamnya. Hamdani geleng-geleng kepala. Mengerti dengan tabiat
orang kota yang tak pernah masuk hutan. Mendengar cerita Demanhuri, saya
penasaran. Setahun lalu saya pernah datang ke Desa Kubu bersama backpacker dari
Spanyol dan Denmark ditemani beberapa orang jurnalis. Tapi kami tidak sampai
masuk ke dalam hutan. Hanya menyusuri lekak liku bakau dengan kapal klotok.
Jonas Patterson, orang Denmark yang sekolah di bidang kehutanan di negaranya,
berakting seperti Rambo di depan kapal. Senjatanya adalah kamera berlensa
panjang. Siap membidik kera, burung, bahkan buaya. Pada kunjungan tahun lalu
tersebut, kami menjumpai gerombolan pesut, lumba-lumba air payau yang menjelma
cerita luar biasa ketika kami kembali ke kota.
“Hutan bakau ini adalah Surga!” Kata Jonas “Rambo” Patterson waktu itu.
Kunjungan kali ini kata ‘surga’ kembali keluar dari mulut Demanhuri. Saya
mengakuinya. Tak habis-habis kami bersyukur atas kuasa Tuhan terhadap alam
ciptaannya satu ini. Hutan bakau inilah benteng terakhir penyangga banjir. Jika
habis, maka kota juga akan habis. Tsunami Aceh salah satu buktinya. Kalau saja
bakau di Aceh tidak ditebangi barangkali tsunami yang merenggut ratusan ribu
nyawa tidak terjadi pada waktu itu.
“Jika nanti film dokumenter ini jadi, semoga bisa
menjadi salah satu bentuk perlawanan kita demi menjaga kelestarian surga bakau
di Kalimantan Barat ini.”
Kata Demanhuri kepada para nelayan. Mendengar cerita dari Demanhuri tentang
tsunami di Aceh yang salah satu penyebabnya adalah ditebanginya hutan bakau,
kapten kapal kembali murka dan kembali mengutuk keberadaan perusahaan kayu.
“Orang-orang kayu itu akan terkena tulah Orang
Kebenaran!”
Kata sang kapten menyumpah.
Sarapan selesai. Ketiga nelayan beristirahat.
Mempersiapkan energi baru untuk mengangkat bubu. Herman naik ke atas sampan,
mengambil jarak sedikit dari kapal, kemudian mandi pagi.
“Apakah hanya laki-laki yang pergi ke laut?” Tanya saya kepada Herman tak lama setelah dia
menyelesaikan ritual paginya.
“Tentu tidak, sebentar lagi kita akan melihat perempuan
berkayuh sampan mencari siput.”
Herman tak berbohong. Tak lama kemudian, di seberang,
kami melihat sampan dikayuh oleh tiga orang perempuan. Herman berteriak
memanggil. Teriakan berbalas. Untuk sekejab kemudian ketiga perempuan tersebut
menghilang ditelan rimba bakau.
“Mau menyusul?” Ajak Herman yang melompat ke sampan. Saya tidak
menyia-nyiakan waktu. Begitu juga dengan Demanhuri. Bertiga kami membelah
sungai berair payau menyusul tiga perempuan pencari siput. Herman mengendalikan
kemudi di belakang, Demanhuri gagah di depan dengan kameranya, saya duduk di
tengah. Sampai di tepian seberang, merayap pelan, menerabas belukar, masuk ke
dalam keteduhan surga bakau.
Ini amazon. Saya menyetujui ketakjuban Demanhuri
terhadap hutan bakau di Desa Kubu. Cahaya matahari menyusup di celah dedaunan.
Suara burung dan kera. Lebih ke dalam, kami menyaksikan lebat rimba yang luar
biasa. Sesekali Herman harus menancapkan sauhnya ke dasar air sebab sampan tak
bergerak karena terlalu dangkal. Tapi kami tak menemukan tiga perempuan pencari
siput. “Apakah kita tersesat?” Tanya saya ke Herman. Yang ditanya menggeleng.
Demanhuri fokus dengan kameranya.
Ternyata tak sulit menemukan yang kami cari. Herman
berteriak. Seperti Tarzan. Teriakan berbalas. Sampan kami kemudian mengikuti
suara teriakan. Dan benar, kami menemukan mereka. Tiga perempuan penangkap
siput. Satu menunggu di atas sampan, dua orang masuk ke dalam air. Merayap,
berenang, meraba dasar air, memungut siput yang menempel di pepohonan.
Ketiga perempuan tersebut kenal dengan Herman.
Kemudian Herman memperkenalkan kami. Sekejab kemudian Demanhuri melakukan
wawancara. Lalu kembali ke klotok setelah singgah ke beberapa spot untuk
membiarkan Demanhuri mengambil gambar.
Hari sudah siang. Sekembalinya kami ke kapal, ketiga
nelayan kemudian kembali memasuki ‘amazon’. Memungut bubu. Kemudian pulang dengan bubu yang
sebagian besar terisi kepiting. Demanhuri terlihat girang. Saya juga.
Menyaksikan ketiga nelayan mengeluarkan kepiting dari bubu. Pertempuran
dimulai. Kepiting-kepiting mencoba melawan dengan memekarkan capit mereka. Tapi
ketiga nelayan sudah melakukan hal ini semenjak puluhan tahun lalu. Bahkan
Hamdani sudah menjadi pemburu kepiting ketika dia masih berumur Sembilan tahun.
Tak susah untuk mengalahkan para kepiting. Sebentar saja mereka sudah masuk ke
dalam karung untuk ditimbang keesokan harinya.
Seusai makan siang, ketiga nelayan kembali menebar
bubu. Saya, Herman, dan Demanhuri beristirahat. Menunggu sore. Kembali
bercengkrama dengan jingga yang kali ini bersemayam di sebelah barat.
Senja lenyap. Berganti gelap. Kami berisitirahat di
bagan, tempat para nelayan menimbang kepiting. Membakar ikan hasil memancing.
Bercerita banyak hal. Menikmati banyak hal. Bahkan di malam hari pun, surga bakau
di negeri mitos Orang Kebenaran ini masih saya rasakan. Aroma mistis kembali
menyeruak. Menemani kami menghabiskan malam bersama cahaya lentera.
Juara Tulis NUsantara...... Keren sidi me....
ReplyDeleteterima kasih
ReplyDeleteBoleh aq di ajarkan untuk menulis seperti mu.. Jj
ReplyDelete