Matanya liar. Mengincar para
pejalan kaki. Sesekali ia memanjangkan leher. Menoleh ke belakang. Berpaling ke
kiri juga ke kanan. Ia menemukan seorang lelaki berdiri tepat di persimpangan.
Khusuk dengan peta, mencari arah. Lelaki itu, di punggungnya menempel tas
berukuran begitu besar. Kacamata hitam melindungi dua matanya dari panas
matahari. Keringat menempel di kening. Setetes jatuh di atas peta yang sedang
dibaca. Sisanya ia seka dengan lengan kiri. Lelaki itu menghela nafas, mengarahkan
tatapannya ke jalan raya.
“Wooo…, Man… Brother…” Ia tak
menyianyiakan kesempatan. Sudah sejak tadi ia menunggu lelaki itu berpaling
dari peta. Beberapa detik saja lelaki melihat ke arah jalan raya, ia langsung
berteriak kea rah lelaki.
“Wooo… you need tuk-tuk, man?
Bro…? Sir…? Tuk-tuk?” Ia berteriak. Wajahnya mengiba. Seperti mencoba
menceritakan bahwa sepanjang hari ini belum mendapatkan penumpang. Lelaki yang
diteriaki tak hirau. Matanya kembali ke peta setelah sekali lagi menyeka
keringat.
“Sir, where you go? Tuk-Tuk?
Where you from? Wooo…. Bro?” Ia tak henti berteriak. Lelaki pembawa peta dan
tas besar di punggungnya pergi. Ia mengumpat. Umpatan yang hanya dimengerti
oleh orang-orang Khmer.
Ia masuk ke dalam tuk-tuk
miliknya. Berlindung dari panas matahari. Duduk di bagian belakang, tempat para
penumpang. Ada radio kecil tergantung di salah satu sisi tuk-tuk. Barangkali,
radio itu berusia lebih tua dibanding usianya. Disentuhnya sedikit, lagu Khmer
mengalun. Hari ini orang-orang bisa dengan bebas mendengar radio,menonton
televisi, ikut berjoget mengikuti nada dan irama Khmer, ataupun juga dentuman
music dari belahan dunia sebelah barat. Orang-orang bisa sedikit bersantai,
meski mencari uang tetap saja bukan pekerjaan gampang. Tapi kabar baiknya orang-orang
sudah tidak merasa takut lagi. Tak seperti zaman ketika Pol Pot masih hidup.
Khmer Merah. Lebih dari dua juta nyawa melayang dalam kurun waktu yang begitu
singkat. Satu lagu berakhir, ia belum juga dapat penumpang.
Ia turun dari tuk-tuk. Bersiap kembali
dengan mata yang liar. Tiba-tiba saja tiga orang perempuan yang tak lagi muda
melintas. Seorang di antaranya mengalungkan kamera dengan lensa yang begitu
panjang. Dua orang lain bercakap-cakap dalam bahasa seperti Rusia, atau mungkin
juga Kroasia.
Ia tak membuang waktu.
“Halo, where you go?”
Tiga perempuan itu menoleh.
“We just want to walk around,”
seseorang menjawab. Bahasa Inggrisnya terdengar khas dengan logat Eropa timur.
“Where you from?” Ia mencoba
bercakap-cakap
“Czech,”
“Where is that?”
Seorang perempuan mencoba
menjelaskan dengan ramah letak geografis negaranya. Seorang lagi memotret.
Merekam percakapan menjadi gambar. Ia mengangguk-angguk. Belum tentu ia
mengerti. Bisa jadi ia tak peduli. Yang ia inginkan hanyalah ketiga perempuan
itu naik ke dalam tuk-tuk, lalu dengan senang hati ia akan mengantar setelah
ada kesepakatan harga.
“Tuk-tuk, madam?” akhirnya.
Setelah perempuan berhenti berbicara, ia menawarkan jasa.
“Where you go? Angkor Wat? Cheap,
very cheap madam,” wajahnya kembali mengiba.
Tiga perempuan meminta maaf. Lalu
pergi.
Ia kembali mengumpat dalam bahasa
Khmer. Pol Pot sudah mati. Khmer merah tinggal sejarah. Turisme semakin
merajalela. Pub Street tak pernah sepi. Selalu gemuruh. Ia, juga orang-orang
lain, masih tetap miskin. Akan selalu miskin?
Ia kembali masuk ke dalam
tuk-tuk. Merebahkan diri. Menutup mata. Barangkali bermimpi tentang anaknya
yang sekolah hingga tingkat yang paling tinggi. Sangat tinggi.
“Hallo, tuk-tuk.” Seseorang
mengagetkannya. Seorang perempuan kulit putih. Sepertinya mabuk berat. Hari
masih siang. Perempuan ini begitu mabuk. Ia melompat. Bersemangat. Penumpang
pertama hari ini.
“Where you go?” ia bertanya.
“Can you take me to heaven?”
Siem Reap, Februari 2015
mati mang dah
ReplyDeleteYup. Sudah mati
ReplyDeleteYup. Sudah mati
ReplyDeletesemoga semangat orang kamboja tak pernah mati
ReplyDelete