“Welcome to Madrid.” Sergio memeluk saya cukup erat di Barajas Airport, Madrid.
Sudah sejak sebulan lalu lelaki asli Spanyol ini menunggu kedatangan saya
semenjak dirinya mengetahui bahwa saya berada di Belanda. Saya bertemu dengan
Sergio November tahun lalu di Pontianak, Kalimantan Barat. Dan ketika dia
mengetahui saya akan mengunjungi Eropa, dia langsung membikin janji. “Kalau kau
sampai di Madrid akan kubawa kemana kau mau, seperti kau membawaku ke berbagai
tempat eksotik di tanah Borneo.”
Desember 2011,
rencana saya ke Eropa terwujud. Tempat yang saya tuju adalah Rotterdam,
Belanda. Dan sejak itu Sergio tak henti mengirimi saya email dan bertanya kapan
saya bisa ke Madrid. 31 Januari 2012, pukul 14.15 dari Schipol Amsterdam,
pesawat yang saya tumpangi mendarat di Madrid, Spanyol. Berpelukan erat dengan
Sergio, mengabadikan pertemuan kami dengan kamera, kemudian meluncur ke kediaman
Sergio dengan Metro. 50 menit kemudian kami sampai di flat milik Sergio. Kami
bercakap-cakap melepas kerinduan. Makan siang dan, “Lets go jalan-jalan to the
center of Madrid.” Ajaknya tak sabar.
Dua jam penerbangan
dari Amsterdam ke Madrid tidak membuat saya lelah. Sayapun setuju saja ketika
diajak keluar rumah. Berbicara tentang Madrid tentu kita akan kembali dibawa ke
masa-masa silam. Peperangan dan penaklukan demi penaklukan dari berbagai bangsa
terjadi di tempat ini. Bangunan-bangunan tua yang berusia ratusan bahkan ada
yang mencapai ribuan tahun merupakan bukti tak terbantahkan bahwa sejarah
tersebut benar-benar terjadi, bukan sekadar cerita yang kita dengar dari para
guru di sekolah.
Kata Madrid sendiri
dipercayai berasal dari sebuah sungai yang terletak di tengah-tengah kota.
Sungai ini bernama Manzaret al-Magrit yang berarti sumber air. Sebuah sungai
yang diduduki oleh orang-orang Muslim pada abad pertengahan yang oleh
orang-orang Kristen Iberia mereka disebut bangsa Moor. Daerah di sekitar sungai
disebut sebagai Mayrit dan kemudian hari ini bernama Madrid, kota terbesar yang
sekaligus menjadi ibukota Spanyol.
Baru lima menit
keluar dari flat Sergio, mata saya sudah menabrak sebuah benteng besar yang
begitu kokoh. Sergio mengatakan di balik benteng tersebut terdapat sebuah taman
yang merupakan area dari Palacio Real de Madrid. Pikiran saya langsung menuju
kesalah satu club sepak bola terbesar di dunia, Real Madrid. Namun baru saja
saya hendak bertanya guna memastikan apa sebenarnya Palacio Real de Madrid
tersebut, Sergio tiba-tiba saja berkata, “Nanti kita akan masuk ke sana. Tapi
sekarang aku akan membawamu ke titik mula dimana kakimu melangkah untuk
menelusuri lorong-lorong di Madrid.” Kembali saya bertanya dalam hati, tempat
apakah gerangan. Tapi pertanyaan tersebut tak sempat terlontar sebab saya harus
mengikuti langkah cepat Sergio menyebrang jalan.
Walaupun cuaca
cukup dingin, namun matahari bersinar cukup cerah. Bias cahayanya menembus
kaca-kaca jendela bangunan klasik yang kalau tidak kita amati dengan seksama,
mata Indonesia kita tak akan pernah mengira bahwa bangunan-bangunan dengan
arsitektur menawan tersebut merupakan restoran ataupun juga pusat perbelanjaan.
Beberapa pejalan tampak tergesa, barangkali mereka harus sampai di suatu tujuan
tepat waktu, namun banyak pejalan yang lain terlihat santai menikmati suasana
kota. Dua orang turis dari Asia tampak terkesima dengan sebuah bangunan dan
tentu saja, beberapa jepretat kamera mampir di bangunan tersebut.
Saya dan Sergio
terus berjalan. Hingga beberapa menit kemudian kami sampai di sebuah alun-alun
yang dipadati manusia. Mata saya tak berhenti memperhatikan sekeliling. Tempat
ini begitu sibuk. Tak terlihat mobil selain sebuah mobil patroli polisi.
Sisanya manusia. Tiba-tiba Segio menghentikan langkah kami. “Here we are. The
centre of Madrid.” Katanya sambil menyuruh saya melihat ke bawah.
Origen De Las
Carreteras Radiales. Yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang
lebih berarti, asal jalan radial. Tulisan tersebut terpampang di sebuah lempengen
logam yang menempel di jalan tepat di depan kaki saya berpijak. Selain tulisan
tersebut juga terdapat tulisan Km. 0, gambar peta negara spanyol, penunjuk arah
ke barat dan timur, serta di bagian bawah terdapat dua buah Simbol: perisai
Madrid dan civil engineers. Lokasi Madrid Km. 0 tersebut bernama Puerto de Sol
yang berarti Gerbang Matahari. Di Madrid tempat ini adalah tempat yang harus
didatangi siapa saja. Baik mereka yang berasal dari Spanyol, maupun dari
seluruh penjuru dunia.
Belum ke Madrid
kalau belum ke Puerto de Sol. Selain lempengen Km. 0, di puerta de sol terdapat bangunan dan monumen penting yang
tidak bisa dilepaskan dari sejarah Madrid maupun Spanyol secara keseluruhan. Kantor
Pos tua yang berfungsi sebagai Kantor Presiden untuk komunitas Madrid, terletak
tepat berada di depan lempengan Km. 0, merupakan bangunan tertua di komplek
Puerta de Sol yang berdiri pada abad kedelapanbelas. Orang-orang Spanyol
menyebut bangunan tersebut dengan nama Casa de Correos. Di atas bangunan terdapat
menara jam yang cukup terkenal. Di mana pada setiap pergantian tahun lonceng
jam tersebut berbunyi sebanyak 12 kali dan orang-orang yang berkumpul memakan
12 buah anggur di setiap sela detang lonceng. Ini adalah tradisi yang masih
dijaga dan dilestarikan bangsa Spanyol sampai hari ini. Tak jauh dari situ
terdapat sebuah patung Charles III, Raja Spanyol sejak 1759 sampai 1788. Dan di
sebelah timur terdapat patung Beruang dan pohon stroberi yang merupakan simbol
Kota Madrid.
Kalau ditanya
apakah saya sudah puas berada di Puerta de Sol, di pusat Madrid dan Spanyol,
tentu saja jawabannya saya tidak akan pernah puas. Tempat ini begitu menawan.
Jika di zaman dahulu banyak sejarah penting terjadi di tempat ini, hari ini,
nyaris 24 jam puerta de sol tak pernah sepi. Tapi di madrid tidak hanya
terdapat lempengen 0 Km. Itu hanyalah sebuah awal dari perjalanan. Berikutnya
lelaki bernama lengkap Sergio Roche Castro ini membawa saya melangkah ke
beberapa tempat yang tak kalah fantastis di sekitar Km. 0.
Hanya beberapa blok
dari plaza Puerta de Sol kami memasuki gerbang yang lain. “Kalau plaza Puerta
de Sol merupakan pusat kota Madrid, sekarang kita berada di Plaza Mayor, yang
merupakan pusat alun-alun di Madrid.” Kata Sergio. Kembali saya terkesima.
Membayangkan betapa luarbiasanya arsitek abad pertengahan ketika mendirikan
sebuah bangunan. Bangunan ini berbentuk persegi panjang seluas 129 x 94 meter.
Selama abad
pertengahan tempat ini merupakan sebuah pasar yang berada di luar tembok kota.
Hingga kemudian pada tahun 1560 Raja Philip II memerintahkan seorang arsitek
klasik terkenal bernama Juan de Herrera untuk merubah pasar menjadi alun-alun.
Namun alun-alun tersebut tidak sepenuhnya selesai. Hingga kemudian pada masa
pemerintahan Philip III, 1617 pengerjaan alun-alun ini diteruskan oleh Juan
Gomes de la Mora namun masih di bawah pengarahan Juan de Herrera dan selesai
dua tahun kemudian. Dari masa ke masa banyak sekali perubahan di tempat ini.
Tercatat dalam sejarah sebanyak 3 kali api menghanguskan semua bangunan di
sekitar Plaza Mayor, yakni 1631,
1672 and 1790. Dan setiap bangunan tersebut rusak karena perang, pemerintah
terus membangun kembali tempat ini. Hingga akhirnya, rekonstruksi terakhir yang
bisa dilihat sampai hari ini diselesaikan oleh Arsitek Juan de Villanueva.
Semenjak pertama kali dibangun, Plaza Mayor
sering digunakan berbagai macam festival dan perayaan. Perkelahian banteng,
penobatan raja dan juga berbagai macam eksekusi yang selalu dihadiri lebih dari
50.000 orang. Dan sampai sekarang Plaza Mayor masih sering digunakan untuk
berbagai macam perayaan publik khususnya event-event yang berkaitan dengan
kebudayaan.
Matahari hampir tenggelam di sebelah barat
kota Madrid. Cuaca semakin dingin. Semakin sore, pusat kota Madrid bukannya
semakin sepi, namun sebaliknya. Banyak orang berlalu-lalang. Mata saya tak
henti dengan sengaja menabrak wajah-wajah hispanik yang begitu eksotik. Cantik.
Mempesona. Dari zaman dahulu hingga hari ini orang-orang Spanyol dikenal
sebagai orang-orang yang memiliki daya pikat tak terbantahkan. Kulit mereka
lebih gelap dari orang eropa kebanyakan. Lelaki macho dan flamboyan. Perempuan
sensual dan mendebarkan. Dan hari itu, saya melihat langsung dengan mata kepala
sendiri, tidak lewat layar televisi maupun film-film di DVD. Dari kejauhan
terdengar sayup-sayup suara gitar dengan melodi has espanyola yang mengalun
dari sebuah cafe di pojok jalan.
Kami melangkah pulang sebab hari mulai gelap.
Tapi tentu saja langkah tersebut lagi-lagi harus terhenti sebab Madrid kembali
menyuguhkan pesonanya yang begitu megah yang membuat siapa saja betah tinggal
berlama-lama. “The Royal Palace. Di sinilah kediaman resmi dari raja Spanyol di
Madrid.” Belum sempat saya bertanya bangunan apakah yang begitu menawan di
depan mata, Sergio sudah lebih dulu memberitahu. Sambil mendengar Sergio
bercerita, kaki saya melangkah pelan, sambil kepala mendongak ke atas sebab
terkesima dengan betapa megahnya bagunan tersebut.
“Royal Palace merupakan bangunan terbesar dan
barangkali terindah di seantero Kota Madrid.” Saat mengatakan itu, Sergio
terlihat bangga. Betapa tidak, dia melanjutkan ceritanya, Madrid’s Royal
Palace, atau orang-orang Spanyol lebih senang menyebutnya dengan nama Palacio Real
de Madrid tidak hanya bangunan terbesar di kota Madrid tapi juga merupakan
Royal Palace terbesar di Eropa Barat. Bangunan ini awalnya didirikan sebagai
benteng pasukan Muslim dari bangsa Moor yang menguasai daerah di sekitar sungai
Manzaret al-Magrit pada abad ke-10. Selama berabad-abad
bangsa Moor tidak hanya menguasai daerah sekitar al-Magrit, namun juga hampir
seluruh wilayah Spanyol dan Portugal yang pada masanya disebut Andalusia.
“Saat ini Royal Palace hanya digunakan untuk
upacara kenegaraan.” Sergio melanjutkan. Sebenarnya kami bisa masuk ke dalam
untuk melihat halaman gedung yang dikeliling tembok dengan cara membeli tiket,
tapi sayang kami terlambat. Royal Palace dibuka untuk umum dari pukul 09.00
pagi sampai pukul 18.00. Meskipun kami tak bisa masuk ke dalam, melihat
kemegahan bangunan ini dari luar ditambah tidak harus membayar alias gratis
merupakan rejeki tersendiri bagi saya. Sebab saya masih bisa menikmati Plaza de
Oriente sebuah alun-alun yang cukup luas yang masih merupakan bagian dari
istana dan terletak persis di sebelah timur Royal Palace. Dimana di sisi
alun-alun terdapat patung raja-raja Gothic yang dibangun untuk didedikasikan
kepada semua raja Spanyol dan dibuat pada masa pemerintahan Ferdinand VI diabad
ke-18.
“Ok, barangkali cukup untuk hari ini, saya
lapar dan saya yakin, kamu juga. Mari kita pulang dan menyiapkan makan malam.” Saya
tidak ingin mendengar kalimat tersebut. Saya ingin tetap berada di luar.
Menikmati Madrid. Tapi Sergio benar. Kami harus pulang dan makan malam. Lagi
pula, saya akan berada di Spanyol selama kurang lebih 2 minggu. Masih banyak
waktu untuk menikmati Ibukota negara matador ini.
Saya mengikuti Sergio melangkah menuju arah
utara Royal Palace. Melewati taman yang begitu indah. Di tengah-tengah taman terdapat
sebuah patung yang ketika saya dekati bertuliskan Alonso 6, Rei de Castilla Y
Leon dan juga terdapat angka 1109. Menyaksikan saya kembali berhenti untuk
melihat sekeliling, Sergio yang sepertinya sudah tak sabar untuk pulang
mengatakan kepada saya bahwa patung tersebut adalah patung Raja Alfonso VI of
Leon dan Castille yang memerintah dari tahun dari tahun 1040-1109 Masehi. “Dan
taman ini bernama Sabatini Garden. Diberi nama Sabatini sebagai dedikasi
terhadap arsitek Italia Fransesco Sabatini yang menyelesaikan proyek
pembangunan Palace setelah sebelumnya dikerjakan oleh Juan Baustita Sacchetti
pada tahun 1737. Sekarang mari kita pulang.” Lelaki itu menarik tangan saya.
“Tapi tunggu dulu,” saya bertahan. “Saya masih
ingat ketika kamu berada di Indonesia, kamu pernah mengatakan bahwa tidak
menyukai pelajaran sejarah. Lalu bagaimana kamu bisa tau semua ini dengan
detil?” Tanya saya.
Sergio tersenyum kecil kemudian menepuk pundak
saya sambil berkata, “Man, I have
internet in my pocket.” Dia mengeluarkan sebuah telpon genggam, yang
ternyata ketika saya sibuk memperhatikan sekeliling, dia mencari informasi di
internet lewat telpon genggamnya. Kali ini kami benar-benar pulang, dari
Sabatini Garden kami menuruni anak tangga dan menyeberang jalan raya. Saya menoleh
ke belakang, masih belum puas berada di lingkungan istana Raja-Raja Spanyol
tersebut. Oh, ternyata ini adalah benteng besar yang begitu kokoh yang saya
lihat ketika pertama kali keluar dari jalan di kediaman Sergio. Benar, karena
tak lama kemudian, kami benar-benar sampai di rumah.
Langkah demi langkah yang dimulai dari Madrid
kilometer nol hingga kemudian membawa kaki saya menuju Istana para raja yang
penuh dengan nilai-nilai sejarah adalah pengalaman yang tak akan pernah saya
lupakan. Terima kasih Sergio. Sampai berjumpa lagi pada pengembaraan
berikutnya.
Madrid, 3 February 2012
Luar biasa..
ReplyDeletegoresan tintanya membuat inspirasi..
thanks kak pay..
salam saya....anak FIM