Islamic Trip, Malaysia, Vietnam, Kamboja, 6 Hari 5 Malam, 6,5 Juta Saja

Bismillahirrahmanirrahiim
Islamic Trips
South East Asia (Asia Tenggara)
Kuala Lumpur | Ho Chi Minh | Phnom Penh | Kampong Champ | Kuching
6 Hari 5 Malam | 3 Negara | Berangkat 8 Februari 2017
Hanya 6,5 Juta
- Taqorrub ilallah, menjelajahi negeri-negeri asing dengan niat mencari ridho Allah SWT
- Menikmati suasana religi di negara dengan populasi muslim minoritas
- Mengunjungi destinasi wisata menarik di Malaysia, Vietnam, dan Kamboja (3 Negara)
- Ditemani tour leader, Pay Jarot Sujarwo, traveler handal yang telah melakukan perjalanan di beberapa negara Eropa dan Asia Tenggara, travel writer yang telah mendedikasikan hidupnya untuk Islam
- Kajian singkat keislaman

Persyaratan peserta:
1. Beragama Islam, dewasa, berakal sehat, laki-laki
2. Apabila terdapat peserta perempuan diwajibkan membawa mahram
3. Memiliki paspor yang masih berlaku
4. Membawa minimal selembar layak pakai untuk disumbangkan kepada saudara sesama muslim yang membutuhkan di negara tujuan
5. Ini bukan perjalanan wisata biasa, melainkan juga berinteraksi dengan penduduk setempat (Muslim). Diharapkan peserta dapat menjaga adab seorang Muslim.
Jadwal perjalanan:

Day 1:
Kumpul di bandara Supadio pukul 10.00 wib, berangkat ke Kuala Lumpur, langsung menuju hotel, istirahat. Menikmati  suasana sore di Kota Putrajaya, Sholat Magrib dan Isya di Masjid Putra sambil menunggu jeda sholat menikmati keindahan danau dari area Masjid. Makan malam, kemudian melanjutkan perjalanan menuju menara kembar Petronas. Kembali ke hotel, istirahat. 

Day 2:
Seusai sholat subuh dan sarapan, menuju Bandara KLIA 2, berangkat ke Ho Chi Minh (Saigon), Vietnam.  Sampai sekitar pukul 10.00, drop barang-barang di hotel, istirahat. Menuju Masjid Tua di kota Ho Chi Minh, sholat zuhur, makan siang di restoran halal. Dilanjutkan dengan Ho Chi Minh City Tour, mengunjungi lokasi-lokasi wisata yang “wajib” dikunjungi di Ho Chi Minh. Di Ho Chi Minh terdapat beberapa masjid di restaurant halal, peserta tour tidak perlu khawatir kesulitan sholat di negara asing, sebab ini menjadi prioritas kita. Malam harinya acara bebas, berbelanja, bersepok-sepok ria di Ben Tanh Market (Pasar Malam di Kota Saigon). Nikmati aksi tawar-menawar dengan pedagang. Kita akan berjumpa dengan orang-orang asli Vietnam yang sok-sok-an bisa berbahasa Melayu demi menggoda kita untuk membeli.

Day 3:
Masih di kota Saigon. Pagi hari setelah sarapan, kita akan meluncur ke Cu Chi Tunnel. Terowongan Cu Chi. Di sinilah tempat pejuang-pejuang Vietnam melawan tentara Amerika. Ini tempat bersejarah yang sarat akan nilai. Tempat ini begitu luas, akan kita nikmati hingga sore. Kemudian kembali ke Kota Saigon, istirahat, sholat, mandi. Malam harinya kembali acara bebas.

Day 4:
Pagi berangkat menuju Kamboja dengan bis, melewati perbatasan Vietnam-Kamboja, sampai di tujuan kurang lebih 7 jam (Phnom Penh). Istirahat di Hotel, makan siang di warung Bali (restoran Indonesia yang sangat terkenal di Phnom Penh). Berwisata di National Museum. Lanjut menuju Masjid Besar Phnom Penh (sholat Ashar dijamak dengan Zuhur). Sungguh, di negara dengan minoritas muslim ini, masjid kota Phnom Penh terlihat begitu megah. Lanjut menikmati keindahan kota Phnom Penh (Sungai, grand palace, bendera, dll). Setelah makan malam acara bebas. Peserta bisa berbelanja di Phnom Penh Night Market atau menikmati area backpacker di Phnom Penh.

Day 5:
Pagi hari kita akan menuju kampong Cham. Wilayah muslim di Kamboja. Pernah dengar tentang kerajaan Champa? Putri Champa? Kerajaan itu memang sudah lama runtuh, tapi semangat keislaman masyarakatnya akan selalu ada. Kita akan bergaul dengan mereka. Dekat dengan masyarakat. Sebagai sesama muslim. sebagai sesama Melayu. Ini pengalaman yang jarang dirasakan oleh turis-turis biasa. Di daerah ini kita akan merasakan pengalaman dekat dengan saudara-saudara Muslim kita dari negeri jauh. Konsep negara bangsa memang telah memisahkan kita, namun bagaimana pun juga kita dipersatukan dengan kesamaan akidah. Di tempat ini kita akan belajar banyak tentang keprihatinan. Di sini kita akan diajak berkontemplasi, bahwa kebangkitan Islam akan mendatangkan kesejahteraan untuk seluruh umatnya. Di sini poin utama perjalanan kita. Puas seharian di Kampong Cham, sore harinya kita kembali ke phnom penh, langsung menuju bandara, kembali terbang ke kuala lumpur. Malam hari kita sudah berada di kuala lumpur, ada banyak pilihan berwisata di Kuala Lumpur malam hari. indah dan menyenangkan.

Day 6
Sarapan, menikmati pagi di Kuala Lumpur, kemudian menuju bandara, bersiap pulang ke Pontianak.

*Peserta diharapkan bisa sholat berjamaah di Masjid yang sudah ditentukan oleh Tour Leader.

** Kajian singkat keislaman dilaksanakan setiap harinya, ba’da sholat subuh, di tiap-tiap negara
-----------------------------------------------------------------------
Traveling identik dengan mengunjungi tempat-tempat wisata, foto-foto: bangunan tua, alam, maupun foto diri (selfie). Tentu saja hal tersebut boleh-boleh saja (mubah). Namun sayang, faktanya hal-hal mubah ini sering dibarengi dengan aktivitas-aktivitas melanggar syariat. Sebut saja misalnya, membuka aurat, pamer gambar yang mengarah ke riya’, ikhtilat, dan tak jarang para traveler dengan sengaja meninggalkan ibadah wajib seperti sholat.
Pijar Tour and Travel hadir di Pontianak untuk melayani kaum muslimin yang ingin berpergian namun tetap tidak melanggar syariat Allah. Namun demikian, bukan berarti para traveler kemudian akan kehilangan momen-momen berharga dalam perjalanan. Malah sebaliknya, memilih Pijar Tour and Travel sebagai teman perjalanan Anda adalah solusi nyata bagi anda semua. Sebab traveling itu, adalah salah satu upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wallahu’alam
Aktivitas disela Perjalanan
Kajian singkat tentang keislaman
---------------------------------------------------------------------------
Biaya 6,5 juta termasuk:
- Tiket Pesawat
- Penginapan
- Tiket masuk tempat wisata
- Transportasi lokal
- 1 kali makan siang setiap harinya di restoran halal
- Biaya Tour Leader
Harga tidak termasuk:
- Biaya sarapan dan makan malam
- Pengeluaran pribadi seperti: telepon,
room service, laundry, mini bar, dan
pengeluaran lainnya
- Tour tambahan (optional) yang mungkin
diadakan selama perjalanan
- Kelebihan bagasi masing-masing peserta
AKAD
DP minimal 1,5 Juta Rupiah dibayarkan paling lambat tanggal 7 Oktober 2016. Untuk selanjutnya pembayaran dapat dicicil dan dilunasi paling lambat 7 Januari 2017
Informasi Pendaftaran
081256918507 (WA/Line/SMS/Call)
email: jarotsujarwo@gmail.com
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Ali Imran: 137)





Taqorrub ilallah


Seandainya kita hidup di masa kejayaan Islam, tentu tidak perlu bersusah payah menghitung kurs mata uang yang harus ditukarkan jika ingin ke luar negeri. Dinar dirham cukup. Berlaku di seluruh wilayah Khilafah Islamiyah. Begitu juga dengan paspor yang merupakan dokumen paling nyata tentang pengkotak-kotakan umat manusia. Umat Indonesia berbeda dengan umat Malaysia berbeda dengan umat Thailand,  Kamboja, Spanyol, Belanda, berbeda pula dengan umat Bulgaria, meskipun beragama sama, Islam. Umat Indonesia tak bisa begitu saja masuk wilayah Bulgaria. Punya uang berapa di rekening? Begitu pertanyaan umum yang biasa dilontarkan petugas wawancara di kedutaan dalam rangka mengurus visa.

Ya, semenjak 1924 Islam kalah. Hari ini, 3 Maret 92 tahun lalu, Islam tunduk dan pasrah dipecah belah atas nama nasionalisme. Sistem juga tentu saja harus nurut dengan pemenang perang. Dipaksa sistem yang tak lagi menerima Dinar dirham di batas negara, akhirnya terpaksa menukar uang Dolar, Ringgit, dan Dong Vietnam. Tujuan saya adalah Vietnam dengan transit di Kuala Lumpur. Karena itu lah kedua mata uang tersebut saya miliki. Lalu bagaimana dengan dolar? Saya juga miliki meski tak berangkat ke Amerika. Tapi Amerika pemenang perang, meski kita tak suka, dolar tetap dibutuhkan. Bahkan Kamboja, mata uangnya seperti tak bernilai. Orang-orang lokal berbangga-bangga berbelanja dengan US dolar.


Baik, ini rencana awal saya. 2 Maret terbang dari Pontianak ke Kuala Lumpur, lanjut ke Ho Chi Minh. Di negara yang menerapkan sistem sosialis komunis tersebut saya akan berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lain. Motivasi utama perjalanan kali ini adalah ibadah. Ya, berbeda dengan apa yang saya lakukan pada perjalanan sebelumnya. Gagah sebab menyandang predikat backpacker, namun abai dengan perintah pencipta, adalah hal yang sangat saya sesali.

Membuat bekas jejak di salju yang membentang di kota tua Sofia. Menggenjot pedal sepeda di di jalur khusus kota Rotterdam. Masuk perpustakaan dan menemukan buku yang saya tulis sendiri di Leiden. Menyaksikan ratusan demonstran menembus dingin malam di Madrid. Apa lagi? Menyebrangi Spanyol, lintas batas, menuju ujung Protugal, pernah saya alami. Betapa bangganya saya waktu itu. Tapi apa? Selain riya’ sana sini.

Hingga akhirnya saya harus menangis menyaksikan saudara sesama muslim, yang miskin, yang minoritas, yang diabaikan negara, namun tetap berbahagia menjadi muslim. Kejadian itu saya alami di salah satu pojok kota Phnom Penh. Roti dan susu kental manis menjadi santapan kami di Masjid tak jauh dari sungai Mekong. Ada seorang yang bisa berbahasa Melayu. Belajar Islam di Malaysia. Bercerita banyak hal. Luar biasa. Kejadian lain, seorang ibu asal Surabaya, bekerja 10 tahun di Malaysia, kemudian dipercaya mengelola restoran halal di Siem Riep. Ketulusan muslimah berusia lanjut ini beberapa kali membuat jantung saya berdegup lebih kencang. Bulu kuduk merinding. Seminggu saya disuruh makan di restoran tempat ia bekerja tanpa membayar. Halal dan langka. Orang-orang itu betapa sederhana.

Suatu hari, di pedesaan Mae Chan, ujung Thailand, masuk dalam provinsi Chiang Rai, saya sudah putus asa. Tak menemukan makanan halal di sebuah tempat seperti lapangan bola yang berisi puluhan tempat makan. Seorang perempuan berkerudung di seberang jalan berteriak memanggil saya. Dia pedagang roti. Bahasanya tentu saja tidak saya mengerti. Dia juga tidak mengerti bahasa Inggris yang saya ucapkan. Pedagang roti ini mengulurkan setumpuk nasi dengan telor goreng ke saya. Nasi itu dibawanya dari rumah. Yang seharusnya masuk ke perutnya sebagai makan malam. Tapi perempuan muslimah pedagang roti ini memilih memberikan makanannya kepada saya. Saya sodorkan Bath, ia menolak. Lagi, saya terenyuh. Manusia macam apa ini? Eropa begitu mentereng. Foto sana sini sambil disebar ke sosial media agar dilihat orang-orang dari kampung halaman. Begitu tersesat, hendak bertanya ke orang yang lewat, dibalas “No!” Bahkan bertanya arah saja orang-orang Eropa enggan menjawab.

“Islam itu tidak pro dengan perempuan. Al-Qur’an itu kejam. Seenaknya saja menyuruh membunuh atau pun juga potong tangan!” kata seorang traveler Dominica berkebangsaan Amerika ketika berbicara dengan saya dan mengetahui bahwa saya seorang muslim. Waktu itu saya sudah lama tidak sholat. Waktu itu saya sudah lama sekali abai dengan apa yang diperintah dan dilarang pencipta. Tapi waktu itu darah saya mendidih.

Kalau Islam itu kejam, ibu-ibu tua di sebuah restoran halal di Siem Riep tak akan memberikan makanannya kepada saya secara gratis. Juga perempuan berkerudung yang berjualan roti di tengah puluhan pilihan aneka ragam makanan tak halal. Tapi tentu saja memang bukan itu takarannya. Kejadian-kejadian itu tak bisa pula disebut sebagai alasan utama saya kemudian memilih membersihkan diri dari segala najis kemudian mengambil air wudhu dan takbirratul ihram. Tentu saja banyak kisah lain.

Banyak sekali orang bertanya kepada saya. Hampir semua pertanyaan tersebut saya jawab, “tidak tahu.” Ada kuasa Allah yang kemudian membuat saya merasa perlu bergabung di barisan kaum muslimin pada sebuah subuh yang dingin. Kami semua teriak “Aamiin!” sesaat setelah imam berucap “waladholin”. Kenapa saya ngotot menyisihkan selimut dan memilih bercengkrama dengan dingin demi sampai di dalam masjid, tidak tahu. Begitu yang saya ucapkan ke beberapa teman. Saya merasakan kenikmatan yang jauh mengalahkan nikmatnya keju di sebuah resort mahal di kota Pamporovo, Bulgaria. Dahsyat. Seketika perjalanan saya berpindah dari satu bandara ke bandara lain, seperti tak ada apa-apanya.

Saya pernah begitu jauh dengan Tuhan lebih jauh daripada yang orang-orang bayangkan. Hari ini, jarak itu membuat saya harus akrab dengan airmata di sepertiga malam. Saya menyesal secara nasuha. Beberapa teman bilang, “Kalau sudah hijrah gini, berarti tidak traveling lagi dong?”

Ini pertanyaan tidak nyambung. Apa hubungannya antara ‘hijrah’ dengan traveling? Kita abaikan sebentar pertanyaan ini. Saya masih ingin bercerita tentang peristiwa yang lain. Ya peristiwa yang lain. Di Bangkok, sungguh ini sebuah kota yang begitu besar. Macet dimana-mana. Turis dimana mana. Banci dimana-mana. Ini kota tempat maksiat merajalela. Di beberapa lokasi seperti hotel, restoran, mall, tak susah untuk menemukan tiga bilik toilet. Bilik laki-laki, bilik perempuan, bilik transgender (lebih dikenal dengan sebutan ladyboy). Prostitusi dan pertunjukan aurat jadi dagangan yang begitu laris. Di bangkok, saya memilih untuk tidak bergabung dalam riuh rendah kemaksiatan tersebut. Tidur di sebuah rumah milik keluarga muslim yang menjadi pilihan.

MasyaAllah, keluarga ini mengingatkan saya akan kampung halaman di awal 90-an. Dimana semua orang begitu ramah. Ya, di tengah-tengah kota besar seperti Bangkok, terdapat sebuah keluarga muslim yang hidup di tengah perkampungan muslim yang masyarakatnya saling mendoakan satu sama lain, semoga selamat dan berkah. Hati saya semakin teraduk-aduk. Seberapa jauh jarakmu dengan Allah azza wa jalla? Waktu itu jarak saya begitu jauh. Waktu itu, saya tersentuh.

Sekarang saya sedang di HO Chi Minh, kota modern di Vietnam selatan. Duduk di dalam sebuah restoran halal milik pengusaha dari Malaysia. Tak jauh dari restoran ini ada masjid yang cukup besar. Sebentar lagi saya akan ke sana. Saya tak ingin jauh lagi dengan pencipta.



Teman, neraka itu bukan bualan para Ustadz untuk menakut-nakuti kita. Bukan metode atau kiat jitu meraih banyak jamaah. Keberadaannya pasti. Please, jangan memilih untuk pergi ke sana. 

Konser di Dalam Kereta

Seorang tua duduk menguasai kursi yang sedianya untuk dua orang. Sesuai dengan nomor yang tertera di dalam tiket, seharusnya aku duduk di sebelahnya. Tapi dia diam saja. Kakinya duduk bersila sehingga kursi terlihat penuh. Aku tersenyum kepadanya. Lelaki tua itu tersenyum balik sambil mengarahkan matanya mengikuti aku yang menyimpan backpack ke atas kabin. Kuputuskan untuk tidak mengganggunya. Aku duduk di depannya yang kebetulan saat itu masih kosong. Jam keberangkatan masih setengah jam. Tak lama, dua lelaki kulit putih berjalan ke arahku. Memperhatikan tiket yang ia pegang. Kutanyakan, apakah mereka duduk di kursi yang sedang kududuki? Mereka mengiyakan, tapi tak menyuruhku untuk pindah. Masih ada kursi kosong di belakangku, mereka menempati kursi tersebut. satu per satu penumpang yang lain berdatangan. Dua lelaki muda bermata sipit. Dari China. Menggendong backpack yang begitu besar. Beberapa orang lokal. Para traveler berbadan tinggi besar. Dua perempuan berwajah cantik. Seorang lelaki muda dari Jepang berbadan mungil. Wajahnya senantiasa tersenyum. Di ujung gerbong, seorang lelaki duduk dengan santai. Sebuah gitar diam membisu di sebelahnya.

Pol Pot is Dead

His eyes stared wildly, lurking for the walkers. Sometimes he craned his neck, twisted it back, left, right. He saw a man standing in a crossroad, buried his minds in the map he’s holding, looking for directions. That man, with a large backpack on his back, shades over his eyes. A drop of sweat fell on his map, he wiped the rest with his left hand. Sighing, he stared at the dusty road.

“Wooo…, Man… Brother…” he seized the moment. He waited for the man to take away his eyes from the map. Just seconds, he yelled to the man.

“Wooo… you need tuk-tuk, man? Bro…? Sir…? Tuk-tuk?” he yelled. His face told a story that he was unlucky today. No one rode in his tuk-tuk yet. The man with backpack walked passively, back to his map, wiping his sweat…again.

“Sir, where you go? Tuk-Tuk? Where you from? Wooo…. Bro?” he yelled persistently. The man with backpack walked, not caring. He swore. Curse words only the Khmer would know.

He went back to his tuk-tuk, looking for shelter from the fierce sun. He sat in the back, a small radio hanging on his left; a radio that perhaps older than him. He turned the knob, a Khmer song heave slowly. These days, people are able to enjoy radio and television. They dance to the Khmer tones and even the western beats. They can relax a bit though earning a living is still a burden. They buried their fears, unlike when Pol pot ruled the country. Khmer Rouges as the French said. Over 2 million lives taken in such a short time. One song passed no sitter yet.

He stepped down, eyes ready. Three older women passed. A camera with a very long lens hanging on one of those women’s neck. They spoke in Russian or Croatian perhaps.

He wasted no time.

“Halo, where you go?”

The three women turned.

“We just want to walk around,” seseorang menjawab. Bahasa Inggrisnya terdengar khas dengan logat Eropa timur.

“We just want to walk around,” one of them replied with a heavy east Europe accent.

“Where you from?” he tried to converse.

“Czech,”

“Where is that?”

One of them tried to explain calmly, the other taking photos, recording words into pictures. He nodded. Not sure if he understood or simply he didn’t care. All he wanted was these three women rode with his tuk-tuk. He would take them anywhere as long as they paid enough.

“Tuk-tuk, madam?” finally, he muster up after the woman stopped talking. He offered his service.

“Where you go? Angkor Wat? Cheap, very cheap madam,” he pleaded. They apologized and walked.

He cursed in Khmer. Pol pot is dead. Red Khmer is history. Tourism rising. Pub street always packed. Always noisy. He, and many others, still penniless. Will it ends?
He went back, sank himself, and closed his eyes. Possibly dreaming about his kids get high education. The highest.

“Hallo, tuk-tuk.” Someone took him back to reality. A white woman. Looked like she was drunk. Drunk  in the middle of the day. He jumped vibrantly. His first sitter of the day.

“Where you go?” he asked.

“Can you take me to heaven?”

Siem Reap, Februari 2015



Backpacker Anti Mainstream | Pol Pot Sudah Mati

Matanya liar. Mengincar para pejalan kaki. Sesekali ia memanjangkan leher. Menoleh ke belakang. Berpaling ke kiri juga ke kanan. Ia menemukan seorang lelaki berdiri tepat di persimpangan. Khusuk dengan peta, mencari arah. Lelaki itu, di punggungnya menempel tas berukuran begitu besar. Kacamata hitam melindungi dua matanya dari panas matahari. Keringat menempel di kening. Setetes jatuh di atas peta yang sedang dibaca. Sisanya ia seka dengan lengan kiri. Lelaki itu menghela nafas, mengarahkan tatapannya ke jalan raya.

“Wooo…, Man… Brother…” Ia tak menyianyiakan kesempatan. Sudah sejak tadi ia menunggu lelaki itu berpaling dari peta. Beberapa detik saja lelaki melihat ke arah jalan raya, ia langsung berteriak kea rah lelaki.

“Wooo… you need tuk-tuk, man? Bro…? Sir…? Tuk-tuk?” Ia berteriak. Wajahnya mengiba. Seperti mencoba menceritakan bahwa sepanjang hari ini belum mendapatkan penumpang. Lelaki yang diteriaki tak hirau. Matanya kembali ke peta setelah sekali lagi menyeka keringat.

Madrid: Dari Zero Kilometer Menuju Istana Para Raja

“Welcome to Madrid.” Sergio memeluk saya cukup erat di Barajas Airport, Madrid. Sudah sejak sebulan lalu lelaki asli Spanyol ini menunggu kedatangan saya semenjak dirinya mengetahui bahwa saya berada di Belanda. Saya bertemu dengan Sergio November tahun lalu di Pontianak, Kalimantan Barat. Dan ketika dia mengetahui saya akan mengunjungi Eropa, dia langsung membikin janji. “Kalau kau sampai di Madrid akan kubawa kemana kau mau, seperti kau membawaku ke berbagai tempat eksotik di tanah Borneo.”
Desember 2011, rencana saya ke Eropa terwujud. Tempat yang saya tuju adalah Rotterdam, Belanda. Dan sejak itu Sergio tak henti mengirimi saya email dan bertanya kapan saya bisa ke Madrid. 31 Januari 2012, pukul 14.15 dari Schipol Amsterdam, pesawat yang saya tumpangi mendarat di Madrid, Spanyol. Berpelukan erat dengan Sergio, mengabadikan pertemuan kami dengan kamera, kemudian meluncur ke kediaman Sergio dengan Metro. 50 menit kemudian kami sampai di flat milik Sergio. Kami bercakap-cakap melepas kerinduan. Makan siang dan, “Lets go jalan-jalan to the center of Madrid.” Ajaknya tak sabar.